BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Era
globalisasi dewasa ini dapat mempengaruhi perkembangan sosial budaya masyarakat
muslim Indonesia pada umumnya, atau pendidikan Islam khususnya pesantren.
Argumen panjang lebar tidak perlu dikemukakan lagi, bahwa masyarakat muslim
tidak bisa menghindarkan diri dari arus globalisasi tersebut, apalagi jika
ingin survive dan berjaya di tengah perkembangan dunia yang kian
kompetitif.[1] Menurut Fazlur Rahman, pembaruan
Islam dalam bentuk apapun yang berorientasi pada realisasi Islam yang asli dan
modern harus bermula dari pendidikan.[2] Dengan demikian, pendidikan Islam
harus dijadikan sebagai salah satu tema sentral dari agenda rekonstruksi
pemikiran ke depan.
Menurut ahli
sosiologi, kemajuan dunia pendidikan dapat dijadikan cermin kemajuan
masyarakat, dan dunia pendidikan yang amburadul juga dapat menjadi cermin
terhadap kondisi masyarakatnya yang juga penuh persoalan.[3] Mulyana menyatakan, bahwa pendidikan memberikan kontribusi
yang sangat besar terhadap kemajuan suatu bangsa dan merupakan wahana dalam
menerjemahkan pesan-pesan konstitusi serta sarana dalam membangun watak bangsa
(Nation Character Building).[4]
Memasuki abad ke 21, isu tentang perbaikan sektor pendidikan di Indonesia
mencuat ke permukaan, tidak hanya dalam jalur pendidikan umum, tapi semua jalur
dan jenjang pendidikan, termasuk pendidikan Islam. Karena kelemahan proses dan
hasil pendidikan dari sebuah jalur pendidikan akan mempengaruhi indeks
keberhasilan pendidikan secara keseluruhan.[5]
Memang
harus diakui bahwa, hingga kini pendidikan Islam masih berada dalam posisi
problematik. Di satu sisi, pendidikan Islam belum sepenuhnya bisa keluar dari
idealisasi kejayaan pemikiran dan peradaban Islam masa lampau yang hegemonik;
sementara di sisi lain, pendidikan Islam juga “dipaksa” untuk mau menerima
tuntutan-tuntutan masa kini, khususnya yang datang dari Barat, dengan orientasi
yang sangat praktis. Kenyataan tersebut acap kali menimbulkan dualisme dan
polarisasi sistem pendidikan.[6]
Kenyataan
yang demikian, menurut Azyumardi Azra perlu segera dicarikan solusinya.
Menurutnya, dalam pendidikan Islam perlu dikembangkan strategi pendekatan ganda
dengan tujuan untuk memadukan pendekatan-pendekatan situasional jangka pendek
dengan pendekatan konseptual jangka panjang. Sebab, pendidikan Islam adalah
suatu usaha mempersiapkan muslim agar dapat menghadapi dan menjawab tuntutan
kehidupan dan perkembangan zaman secara manusiawi. Karena itu, hubungan usaha
pendidikan Islam dengan kehidupan dan tantangan itu haruslah merupakan hubungan
yang parsial dan bukan hubungan insidental dan tidak menyeluruh. Di sini letak pentingnya sebuah
upaya pembenahan dalam sistem pendidikan.
Adapun
dalam makalah ini, akan membahas
mengenai pemikiran pendidikan islam menurut tokoh pemikir kontemporer Prof. Dr.Azyumardi Azra, M.A, sebagai salah satu
tokoh dalam dunia pendidikan Indonesia banyak mengungkap permasalahan
pendidikan Islam.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
biografi tokoh Azumardi Azra ?
2.
Apa
saja karya - karya Azumardi Azra ?
3.
Bagaimana
konsep pemikiran pendidikan menurut tokoh Azumardi Azra ?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui biografi tokoh Azunardi Azra.
2.
Untuk
mengetahui karya – karya Azmardi Azra.
3.
Untuk
mengetahui konsep pemikiran Azumardi Azra.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Tokoh
Azyumardi Azra lahir di Lubuk Alung, Sumatera Barat, pada
tanggal 4 Maret 1955. Terlahir sebagai anak ketiga dari keluarga yang
sangat agamis. Sejak kecil, Azra dididik kedua orang tuanya untuk mencintai
ilmu pengetahuan. Meskipun secara finansial kondisi keuangan keluarga Azra
termasuk pas-pasan, keluarga ini tetap mementingkan pendidikan anak-anaknya
hingga kejenjang yang lebih tinggi. Berkat kerja keras sang ayah dan gaji yang
diperoleh oleh sang ibunda, Ramlah, yang berprofesi sebagai guru agama pada
waktu itu, sejak kecil Azra mendapat kesempatan mengenyam pendidikan. Melalui
ayahnya pula ia belajar mencintai ilmu. Kedua orang tuanya menyadari betul
bahwa mereka tidak dapat mewariskan dan membekali harta benda kepada
anak-anaknnya, selain dorongan untuk menuntut ilmu pengetahuan.
Pendidikan awal Azra dimulai dari Sekolah Dasar yang berada
didekat rumahnya. Sejak kecil, Azra telah dikenal sebagai anak yang rajin dan pandai,
bahkan ia sudah dapat menbaca sebelum memasuki sekolah dasar.
SMPnya dilanjukan di Sekolah Pendidikan Guru Agama Negeri
(PGAN) Padang. Disekolah menengah ini, bakat Azra sebagai seorang yang cerdas
sudah kelihatan, yakni dibidang ilmu hitung atau matematika. Bakat kemahirannya
inilah pada saat itu dia mendapat sebutan dari teman-temannya “Pak Karniyus”
nama guru Aljabar dan Ilmu Ukur di sekolahnya. Kalau Pak Karniyus tidak hadir
maka Azra yang menggantikan mengajar di depan kelas. Sedangkan dibidang ilmu
keagaamam, Azra banyak mendapatkan dan bersentuhan dengan nilai-nilai Islam
modernis dan tradisional yang didapat di luar sekolah.[7]
Pendidikan yang ditempuhnya berikutnya meliputi Fakultas Tarbiyah IAIN
Jakarta pada tahun 1982, Saat Kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Azra sudah
dikenal sebagai seorang aktivis, baik diorganisasi intra maupun ekstra universitas.
Pertama-tama, dia terpilih sebgai Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan terpilih sebagai Ketua Umum Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat periode 1981-1982. Sebagai bukti dari
aktivitas intelektualisme yang digeluti Azra dalah keterlibatannya di dunia
Jurnalistik atau tulis menulis dimedia masa. Saat itu, dia telah bergabung di
Majalah Panji Masyarakat sebagai wartawan. Sambil melaksanakan tugasnya sebagai
wartawan, rupanya sejak saat itu dia mengasah kepiawaiannya dalam mengolah kata
dalam bentuk karya tulis.
Kemudian
pendidikan Azra berikunya yaitu Master of Art (M.A.) pada Departemen Bahasa dan Budaya
Timur Tengah, Columbia University tahun 1988, Master of Philosophy (M.Phil.)
pada Departemen Sejarah, Columbia University tahun 1990, dan Doctor of
Philosophy Degree (Ph.D) tahun 1992, dengan disertasi berjudul The
Transmission of Islamic Reformism to Indonesia : Network of Middle Eastern and
Malay-Indonesian ‘Ulama in the Seventeenth and Eighteenth Centuries.[8]sejak 2007 sampai sekarang, sebagai
guru besar sejarah; dan Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Sebelumnya dia adalah Rektor IAIN/UIN Syarif
Hidayatullah selama dua periode (IAIN, 1998-2002, dan UIN, 2002-2006).[9]
Azyumari Azra ialah doctor dan guru besar sejarah, namun
pemikirannnya tentang pendidikan Islam tidak diragukan. Ketika menjadi rector
universitas Islam paling bergengsi di Indonesia, Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta, selama dua periode dengan perkembangan yang
mencengangkan, pemikiran pendidikannya hampir tidak pernah dipertanyakan orang.
Azyumari Azra, Putra Lubuk Alung, Padang Pariaman, Sumatra Barat ini merupakan
tokoh intelektual dan tokoh pembaharuan pendidikan Islam Indonesia. Sebagai
seorang pemikir dan actor pendidikan sekaligus, dia bahkan dianggap sebagai
salah satu penopang gerbong bagi lahirnya kaum intelektual muslim di Indonesia.[10]
Kehidupan rumah tangga Azra dimulia ketika ia menyunting
gadis idaman, Ipah Farihah, kelahiran Bogor 19 Agustus 1959, setelah
menyelesaikan pendidikan sarjananya pada 13 Maret 1983. Dan pernikahnya
dikarunia empat orang anak : Raushanfikri Usada, Firman El-Amny Azra, Muhammad
Subhan Azra, Emily Sakina Azra.
Secara singkat, paparan riwayat hidup diatas bahwa Azra tidak
hanya seorang ahli di bidang sejarah, melainkan juga mahir dibidang lain,
seperti keagaman, filsafat, teologi, tasawuf, aliran modern, polotik dan
pendidikan. Dengan keluasan keilmuan yang dimilikinya, kini Azra telah menulis
lebih dari 30 buku tentang Islam. Ia pun telah mengoleksi buku sekitar 25.000
judul buku yang kini tertata rapi diperpustakkan pribadinya. Sehingga Azra
dikenal sebagai pemikir dan pembaharu pendidikan di Indonesia.
B.
Karya-Karyanya
Pada tahun
1999, Azra menerbitkan enam buku terbarunya sekaligus, dan diluncurkan pada 21
September 1999. Keenam buku itu adalah Pendidikan Islam : Tradisi dan
Modernisasi Menuju Melenium Baru, dan Esei-esei Intelektual Muslim dan
Pendidkan Islam (Jakarta: Logos Wacana ilmu), Islam reformasi : Dinamika
Intelektual dan Gerakan (Jakarta: Rajawali Pers), Konteks Berteologi di
Indonesia : Pengalaman Islam (Jakarta : Paramadina), Menuju Masyarakat
Madani : Gagasan, Fakta, dan Tantangan : dan Renaisans Islam Asia
Tenggara : Sejarah Wacana dan Kekuasaan (Bandung : Rosdakarya). Buku
terakhir ini terpilih sebagai buku terbaik humaniora dan ilmu-ilmu sosial,
Yayasan Buku Utama 1999.
Pada 2000,
ia menerbikan dan meluncurkan buku kumpulan wawancaranya di beberapa media
massa nasional dan intenasional, Islam Substantif : Agar Umat Tidak Jadi
Buih (Bandung: Mizan). Dua tahun kemudian, pada 2002, ia kemudian
menerbitkan dan meluncurkan buku-buku terbarunya, antara lain : Historiografi
Islam Kontemporer, Pendidikan Baru Pendidikan Nasional, Menggapai Solidaritas,
Konflik Baru Antar-Peradaban dan Islam Nusantara.
Pada tahun
2003, Azra menerbitkan buku, yang merupakan terjemahan tesis MA-nya di Columbia
Unversity, 1988. Buku itu adalah Surau : Pendidikan Islam Tradisional di Tengah Modernisasi dan Transisi (Ciputat : Logos Wacana Ilmu), yang mengulas
dan menganalisa surau sebagai lembaga adat, agama, dan pendidikan di Sumatera
Barat. Satu tahun kemudian, pada tahun 2004, Azra menerbitkan buku edisi revisi
yaitu “Jaringan Ulama : Timur Tengah
dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Akar Pembaruan Islam di
Indonesia”, diterbitkan Kencana,
Jakarta. Tidak hanya itu, ditahun yang sama, Azra menerbitkan “The Origins of Islamic reformism in
Southeast Asia : Network of Malay-Indonesia and Middle Eastern ‘Ulama in the
Seventeenth and Eighteenth Centuries”,
diterbitkan Asian Studies Association of Australia in Association with Allen
& Unwin and Unversity of Pers, Hanolulu.
Pada tahun 2005, Azra kembali menerbitkan
buku berjudul : “Dari Hardvard
Hingga Makkah”. Buku ini diedit
Idris Thaha dan diterbitkan Republika.
Pada tahun 2006, Azra kembai
menulis buku dalam bahas Inggris, “Indonesia, Islam dan Democracy: Dynamics in
a Global Context” yang diterbitkan The Asia Foundation, Solistice (Jakarta,
Singapore) and ICIP (International Centre for Islam and Pluralism).
Penghargaan yang di peroleh, yaitu :
a.
Doktor Honoris Cuasa dari Amerika Serikat, tepatnya
dari Carrol College pada 7 Mei 2005. Gelar tersebut didasarkan pada keputusan
dewan penyantun Carrol College dengan sejumlah pertimbangan, di antaranya Azra
dinilai sebagai ilmuan dan pribadi yang berkomitmen pada pengembangan saling
pengertian dan perdamaian berbasis pada ide mulitrikulturalisme. Selian itu,
dia juga dinilai senantiasa mendorong kaum muslimin, untuk menciptakan hubungan
multinasional dengan menempatkan perdamaian sebagai motif utama.
b. Menerima penghargaan
Bintang Mahapura dari Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono pada 15 Agustus
2005. Azra dinilai sebagai salah satu putra Indonesia yang turut berjasa dalam
mengembangkan pemikirannya terhadap pembanguan bangsa dan demokrasi.
c. Memperoleh “30th
Mizan Award” sebgai penulis paling produktif 2003.
d. Mendapatkan “50th Anniversary Award” dari The Asia Foundation
(TAF) pada 7 April 2005, di Jakarta.
C. Konsep Pemikiran
Pendidikan Islam Menurut Azumardi Azra
1. Tujuan
Pendidikan Islam
Azyumardi Azra mengerucutkan tujuan pendidikan menjadi dua
bagian, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Menurut Azra, tujuan pendidikan
Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu untuk
menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertakwa kepada-Nya, dan
dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan di akhirat. Dalam konteks
sosial-masyarakat, bangsa dan negara, maka pribadi yang bertakwa ini menjadi rahmatan
lil ‘alamin, baik dalam skala kecil maupun besar. Tujuan hidup manusia
dalam Islam inilah yang dapat disebut juga sebagai tujuan umum atau akhir
pendidikan Islam.[11]
Adapun
tujuan khusus, menurut Azra lebih praxis sifatnya, sehingga konsep
pendidikan Islam jadinya tidak sekedar idealis ajaran-ajaran Islam dalam bidang
pendidikan. Sehingga dapat dirumuskan harapan-harapan yang ingin dicapai dalam
tahap-tahap penguasaan kognitif, afektif, dan psikomotorik, sekaligus dapat
pula dinilai hasil-hasil yang telah dicapai. Dari tahapan-tahapan inilah
kemudian dapat dicapai tujuan-tujuan yang lebih terperinci.[12]
Dengan
demikian dapat disimpulkan, bahwa tujuan pendidikan secara esensial adalah
terwujudnya peserta didik yang memahami ilmu-ilmu keislaman dan mengamalkannya
dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, terwujudnya insan kamil, yakni
manusia yang kembali kepada fitrahnya dan kepada tujuan kehidupannya
sebagaimana ia berikrar sebagai manusia yang datang dari Allah dan kembali
kepada Allah.
2. Kurikulum Pendidikan Islam
Istilah kurikulum pada awal mulanya digunakan dalam dunia
olahraga pada zaman Yunani Kuno. Curriculum berasal dari kata currir,
artinya pelari; dan curere, artinya tempat berpacu. Curriculum diartikan
jarak yang harus ditempuh oleh pelari.[13] Kurikulum adalah
perangkat mata pelajaran yang diajarkan pada lembaga pendidikan.[14] Kurikulum merupakan alat
untuk mencapai tujuan pendidikan dan sekaligus sebagai pedoman dalam
pelaksanaan pengajaran pada semua jenis dan tingkat pendidikan.[15]
Kemudian
lebih detail Azyumardi Azra menyatakan, bahwa kurikulum merupakan pencapaian
tujuan-tujuan yang lebih terperinci lengkap dengan materi, metode, dan sistem
evaluasi melalui tahap-tahap penguasaan peserta didik terhadap berbagai aspek;
kognitif, afektif, dan psikomotorik.[16] Pengertian ini sejalan
dengan pendapat Crow yang dikutip oleh Abuddin Nata, bahwa kurikulum adalah
rancangan pengajaran yang isinya sejumlah mata pelajaran yang disusun secara
sistematik yang diperlukan sebagai syarat untuk menyelesaikan suatu program
pendidikan tertentu.[17] Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
kurikulum merupakan sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh peserta didik
untuk memperoleh gelar atau ijazah.
Jika
diaplikasikan dalam kurikulum pendidikan Islam, maka kurikulum berfungsi
sebagai pedoman perencanaan yang digunakan oleh pendidik untuk membimbing
peserta didiknya ke arah tujuan tertinggi pendidikan Islam, yaitu mengacu pada
konseptualisasi manusia paripurna (insan kamil).
Perencanaan pendidikan bagi peserta didik muslim baik di
Negara mayoritas Islam maupun minoritas memerlukan perombakan radikal dalam
bidang kurikulum menyangkut struktur dan mata pelajaran (subject matter). Oleh
karena itu, perencanaan pendidikan Islam harus berlandaskan dua nilai pokok dan
permanen, yakni; persatuan fundamental masyarakat Islam tanpa dibatasi ruang
dan waktu, dan persatuan masyarakat internasional berdasarkan kepentingan
teknologi dan kebudayaan bersama atas nilai-nilai kemanusiaan. Dengan kata
lain, setiap materi yang diberikan kepada peserta didik harus memenuhi dua
tantangan pokok: pertama, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi; kedua,
penanaman pemahaman pengalaman ajaran agama.
Dengan
demikian, untuk membahas kurikulum pendidikan Islam seyogianya diarahkan pada:
a.
Orientasi
pada perkembangan peserta didik.
b. Orientasi pada lingkungan sosial.
Dalam
hal ini, pengembangan kurikulum harus memberikan arah dan pedoman untuk
memenuhi kebutuhan peserta didik yang disesuaikan dengan bakat, minat, dan
kemampuannya. Selain itu, orientasi kurikulum diarahkan juga untuk memberi
kontribusi pada perkembangan sosial, sehingga output-nya mampu menjawab
dan mengejawantahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Demikian juga,
pendiidikan Islam harus berorientasi terhadap ilmu pengetahuan yang memuat
sejumlah mata pelajaran dari berbagai disiplin ilmu, termasuk teknologi.
Azra
menegaskan, bahwa kurikulum pendidikan Islam jelas selain mesti berorientasi
kepada pembinaan dan pengembangan nilai agama dalam diri peserta didik, kini
harus pula memberikan penekanan khusus pada penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Hanya dengan cara ini, pendidikan Islam bisa fungsional dalam
menyiapkan dan membina SDM seutuhnya, yang menguasai iptek dan berkeimanan
dalam mengamalkan agama. Hanya dengan cara ini pula, secara sistematis dan
programatis dapat melakukan pengentasan kemiskinan secara bertahap namun pasti.[19]
Oleh
karena itu, sudah saatnya untuk lebih serius dalam menangani sistem pendidikan
Islam. Dengan berusaha mencapai tujuan pendidikan Islam yang berdasarkan
kurikulum pendidikan Islam, yang secara ideal berfungsi membina dan menyiapkan
peserta didik yang berilmu, berteknologi, berketerampilan tinggi, dan sekaligus
beriman dan beramal saleh.
3. Demokratisasi Pendidikan Islam
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, dati kata “demos”
berarti rakyat dan “crato” berarti pemerintah. Maka demokrasi adalah
pemerintahan di tangan rakyat. Jika dihubungkan dengan pendidikan, maka
demokrasi pendidikan merupakan suatu pandangan yang mengutamakan persamaan hak,
kewajiban dan perlakuan oleh tenaga kependidikan terhadap peserta didik dalam
proses pendidikan.[20]
Menurut
Azyumardi Azra, demokratisasi adalah proses menuju demokrasi. Sedangkan
demokratisasi pendidikan menurut Azra, proses menuju demokrasi di bidang
pendidikan. Dengan demikian, demokratisasi pendidikan adalah proses menuju
demokrasi pendidikan Islam. Menurut Azra, demokratisasi pendidikan Islam
bertujuan akhir pembentukan masyarakat Indonesia yang demokrasi, bersih,
bermoral, dan berakhlak serta berpegang teguh pada nilai keadaban. Selain itu,
Azra juga mengemukakan beberapa ciri demokratisasi pendidikan Islam, yaitu:
a.
Adanya
kurikulum yang dinamis dan memberikan ruang bagi terwujudnya kreatifitas
peserta didik, mempunyai semangat untuk melakukan perubahan sosial.
b. Perubahan paradigma pendidikan
Islam, merubah paradigma dari otoriter
ke demokratis, tertutup ke keterbukaan, doktiner ke partisipatoris.
c. Adanya sinkronisasi antara
lembaga-lembaga pendidikan Islam dengan lingkungan masyarakat.
4. Modernisasi Pendidikan Islam
Azyumardi Azra menyebutkan, bahwa gagasan dan program modernisasi pendidikan Islam
memiliki akar-akarnya dalam gagasan dan program modernisasi pemikiran dan
institusi Islam secara keseluruhan. Baginya, modernisasi pemikiran dan kelembagaan merupakan
prasyarat kebangkitan kaum muslimin di masa modern. Karena itu, pemikiran dan
kelembagaan Islam termasuk pendidikan haruslah dimodernisasi dan diperbaharui
sesuai dengan kerangka modernitas.[21]
Bagi Azra gagasan modernisasi pendidikan Islam tidak
hanya menjadi wacana, melainkan juga harus menjadi kenyataan dan dipraktekan.
ide dan kenyataan harus dibangun bersama-sama, karena dengan cara inilah sebuah
ide dapat dirasakan manfaatnya.[22]
Azra menekankan perlunya kerangka
berpikir selayaknya mengalami perubahan dan penyesuaian terhadap perkembangan
zaman. Diperlukan pemikiran yang terbuka dengan wawasan yang luas dan adaptif
agar mampu menyeleksi trend dan perkembangan gaya hidup.
Hubungan
antara modernisasi dan pendidikan menurut Azra, pada satu segi pendidikan
dipandang sebagai suatu variabel modernisasi yang merupakan prasyarat dan
kondisi yang mutlak bagi masyarakat untuk menjalankan program dan mencapai
tujuan-tujuan modernisasi. Tetapi pada segi lain, pendidikan sering dianggap
sebagai objek modernisasi. Dalam hal ini, pendidikan negara-negara yang tengah
menjalankan program modernisasi pada umumnya dipandang masih terbelakang dalam
berbagai hal, dan karena itu, sulit diharapkan bisa memenuhi dan mendukung
program modernisasi. Karena itu, pendidikan harus diperbarui atau
dimodernisasi, sehingga dapat memenuhi harapan dan fungsi yang dipikulnya.[23]
Secara garis besar melihat dari input-uotput dunia
pendidikan Islam yang kemudian perlu disentuh dengan "modernisasi"
secara umum Azyumardi Azra menggambarkan:
a.
Input dari masyarakat ke dalam sistem pendidikan.
1)
Ideologis-normatif:
Orientasi-orientasi ideologis tertentu yang diekspresikan dalam norma-norma
nasional (Pancasila, misalnya) menuntut sistem pendidikan untuk memperluas dan
memperkuat wawasan nasional peserta didik.
2)
Mobilisasi
politik: Kebutuhan bagi modernisasi dan pembangunan menuntut sistem pendidikan
untuk mendidik, mempersiapkan dan menghasilkan kepemimpinan modernitas dan
inovator yang dapat memelihara dan bahkan meningkatkan momentum pembangunan.
3)
Mobilisasi ekonomi: Kebutuhan akan tenaga kerja yang handal menuntut sistem
pendidikan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi SDM yang unggul dan mampu
mengisi berbagai lapangan kerja yang tercipta dalam proses pembangunan. Dalam hal ini, lembaga-lembaga pendidikan Islam tidak
sekedar menjadi lembaga transfer dan transmissi ilmu-ilmu Islam, tetapi
sekaligus juga harus dapat memberikan keterampilan (skill) dan keahlian (abilities).
4)
Mobilisasi
sosial: Peningkatan harapan bagi mobilitas sosial dalam modernisasi menuntut
pendidikan untuk memberikan akses dan venue ke arah tersebut. Dengan
demikian, pendidikan Islam bukan sekedar untuk memenuhi kewajiban menuntut ilmu
belaka, tetapi harus juga memberikan modal sehingga kemungkinan akses bagi
peningkatan sosial.
5)
Mobilisasi
kultur: Modernisasi yang menimbulkan perubahan-perubahan kultur menurut sistem
pendidikan untuk mampu memelihara stabilitas dan mengembangkan warisan
cultural yang kondusif bagi pembangunan.
b.
Output bagi masyarakat
1)
Perubahan
sistem nilai: dengan memperluas peta kognitif peserta didik, maka pendidikan
menanamkan nilai-nilai yang merupakan alternatif bagi sistem nilai
tradisional.
2)
Output
politik: Kepemimpinan modernitas dan innovator yang secara langsung dihasilkan
sistem pendidikan dapat diukur kekuatan dan intelektual yang direkrut dari lembaga-lembaga pendidikan.
3)
Output
ekonomi: dapat diukur dari tingkat ketersediaan SDM atau tenaga kerja yang
terlatih dan siap pakai, baik white collar maupun blue collar.
4)
Output
sosial: Dapat dilihat dari tingkat integrasi sosial dan mobilitas peserta didik
ke dalam masyarakat secara keseluruhan.
5)
Output
kultural: Tercermin dari upaya-upaya pengembangan kebudayaan ilmiah, rasional
dan inovatif, peningkatan peran integratif agama dan pengembangan bahasa
pendidikan.[24]
Dengan kerangka modernisasi di atas, pendidikan Islam
diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dunia modern. Dengan bermodalkan lahirnya
lembaga pendidikan Islam yang beronrientasi pada modernisme, melahirkan SDM
yang profesional, dan mampu memberikan akses ke arah mobiltas sosial.
Dasar-dasar pendidikan Islam, secara prinsipil diletakkan pada dasar-dasar
ajaran Islam dan seluruh perangkat kebudayaannya, yaitu :
- Dasar pendidikan Islam pertama
adalah, al-Quran dan Sunnah.
- Dasar pendidikan Islam kedua
adalah, nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan
ajaran al-Quran dan Sunnah atas prinsip mendatangkan kemanfaatan dan
menjauhkan kemudharatan bagi manusia.
- Dasar pendidikan Islam ketiga
adalah, warisan pemikiran Islam. Dalam hal ini hasil pemikiran para ulama,
filosof, cendekiawan muslim, khususnya dalam pendidikan.
Dari dasar-dasar pendidikan Islam itulah kemudian
dikembangkan suatu sitem pendidikan yang mempunyai karakteristik tersendiri
yang berbeda dengan sistem-sistem pendidikan lainnya. Secara singkat
karakteristik pendidikan Islam adalah sebagai berikut:[25]
1)
Karakteristik Pertama pendidikan Islam, adalah
penekanan bahwa pencarian ilmu pengetahuan, penguasaan dan pengembangan
atas dasar ibadah kepada Allah.
2)
Karakteristik Kedua pendidikan Islam, adalah pengakuan
akan potensi dan kemampuan seseorang untuk berkembang dalam saauatu
kepribadian. Setiap pencari ilmu dipandang sebagai makhluk tuhan yang perlu
dihormati dan disantuni agar potensi-potensi yang dimilikinya dapat teraktualisasi
dengan sebaik-baiknya.
3)
Karakteristik ketiga pendidikan Islam, adalah pengamalan
ilmu pengetahuan atas dasar tanngung jawab kepada tuhan dan masyarakat manusia.
Disini pengetahuan bukan hanya untuk diketahui dan dikembangkan, melainkan
sekaligus dipraktekkan dalam kehidupan nyata.
Perbincangan
tentang Islamisasi ilmu dan teknologi, bukan tidak bermanfaat. Ia dapat
merupakan langkah awal untuk membangun paradigma lebih Islami, bukan hanya pada
tingkat mayarakat muslim tetapi juga pada tingkat global.
Azumardi
Azra mengidentifikasi masalah-masalah pokok seputar pengembangan sains dalam
pendidikan Islam, yakni :
- Lemahnya masyarakat ilmiah
- Kurang integralnya
kebijaksanaan sains nasional
- Tidak memadainya anggaran
penelitian
- Kurangnya kesadaran dikalangan
sektor ekonomi tentang pentingnya penelitian ilmiah
- Kurang memadainya fasilitas
perpustakaan, dokumentasi dan pusat informasi
- Isolasi ilmuwan
- Birokrasi, restriksi dan
kurangnya insentif.[26]
Konsep
yang melatarbelakangi beragamnya keberadaan studi Islam di lembaga pendidikan
tinggi menimbulkan perbincangan menyangkut susunan mata kuliah, kurikulum,
silabus, pengadaan staf pengajar yang baik.
Namun
demikian, setelah perbincangan mengenai tantangan era milenium. Terlepas dari
perkembangan ilmu dan teknologi yang pesat, setidaknya dalam beberapa dekade
terakhir, semakin banyak orang tertarik untuk melihat kembali agama-agama dan
ajaran-ajaran spiritual.
BAB III
Relevansi Pemikiran Pendidikan Islam Menurut Azumardi Azra dengan
Pendidikan Masa Kini
Kata kunci untuk memahami pemikiran Azra adalah bagaimana
menempatkan permasalahan abad 21 sebagai tantangan pendidikan Islam Indonesia
secara keseluruhan. Pada abad ini diperlukan upaya pembaharuan pemikiran
pendidikan Islam dengan restrukturisasi sistem dan kelembagaan. Salah satunya
adalah mengubah cara pandang yang menganaktirikan ilmu pengetahuan dan
teknologi.[27]
Azyumardi menjelaskan pengertian dasar pendidikan Islam yaitu untuk menciptakan kepribadian manusia secara total untuk
memenuhi pertumbuhan dalam segala aspeknya sesuai dengan yang diidamkan Islam.
Ini mempunyai arti sebagai realisasi taqwa kepada Allah. Dan taqwa sebagai kata
kunci sering tidak terjabarkan secara operasional sehingga mudah dalam
menentukan alat evaluasi pendidikan.
Maka
upaya Pengembangan materi pendidikan Islam sejak mula perkembangannya
senantiasa meletakkan pandangan filosofisnya kepada sasaran sentralnya yaitu
peserta didik sebagai makhluk Tuhan yang memiliki potensi fitrah dimana
religiusitas Islami menjadi intinya, dikembangkan secara vertikal dan
horisontal menuju kehidupan lahir dan batin yang bahagia.[28]
Sehubungan
dengan peningkatan “peran serta” pemberdayaan masyarakat dalam pendidikan Islam
kiranya perlu ditindak lanjuti secara konseptual yang lebih praktice. Misalnya
saja peningkatan peran serta masyarakat dalam pemberdayaan manajemen
pendidikan. Karena pada kenyataanya penerapan manajemen di lembaga Islam
menghadapi berbagai kendala baik yang bersifat teologis, politik, dan
ekonomi financial.[29]
Sementara
itu berkaitan dengan pemikirannya bahwa lembaga pendidikan Islam “harus
diperbaharui sesuai dengan kerangka “modernitas”, mempertahankan pemikiran
kelembagaan Islam “tradisional” hanya akan memperpanjang nestapa
ketidakberdayaan kaum muslim dalam berhadapan dengan kemajuan dunia modern”.
Menurut kami sangat dipengaruhi oleh idealisme beliau dalam rangka
menghapus pen-dikotomi-an ilmu pengetahuan. Gagasan Azra mengenai pentingnya
modernisasi pesantren dan madrasah merupakan upaya untuk mengintagrasikan
pendidikan Islam kedalam Mainstream sistem pendidikan Nasional.
Bagi
Azra gagasan modernisasi pendidikan Islam tidak hanya menjadi wacana, melainkan
juga harus menjadi kenyataan dan dipraktekan. Bagi Azra ide dan kenyataan harus
dibangun bersama-sama, karena dengan cara inilah sebuah ide dapat dirasakan
manfaatnya.[30]
Itulah
sebabnya, ketika beliau menjabat yang dilakukan adalah yang menginginkan
lulusan IAIN haruslah orang yang berpikiran rasional, modern, demokratis dan
toleran. Lulusan yang tidak memisahkan ilmu agama dengan ilmu umum, tidak
memahami agama secara literer, menjadi Islam yang rasional bukan Islam yang
madzhabi atau terikat pada satu mazhab tertentu saja.Untuk mencapai ide
tersebut institusinya harus di benahi agar ilmu umum dan agama bisa saling
berinteraksi. Dan satu-satunya cara adalah mengembangkan IAIN menjadi
Universitas sehingga muncullah Fakultas Sains, Ekonomi, Teknologi, MIPA,
Komunikasi, Matematika, dan lain-lain.
Disisi
lain ketika Azyumardi menggagas pengembangan kampusnya, disampaikan bahwa
“agar supaya wawasan keIslaman akademik yang dikembangkannya harus mempunyai
wawasan keIndonesiaan sebab hidup kampusnya di Indonesia. “Jadi, keIslaman yang
akan kita kembangkan itu adalah keIslaman yang kontekstual dengan Indonesia
karena tantangan umat muslim di sini adalah tantangan Indonesia”. Pendekatannya
terhadap agama adalah pendekatan yang tidak berdasarkan fanatisme dalam
bermazhab dan memahami agama.
Namun
demikian dengan segala upaya dan perubahan yang telah dilakukan, masih banyak
kritikan yang mengatakan bahwa hingga saat ini IAIN/UIN belum mampu mengubah
sikap dasar kebanyakan mahasiswanya. Realitanya lingkungan kampus dan
pengajarannya belum memiliki kaitan yang erat dengan masyarakatnya. Hal ini
dapat dilihat dari masih rendahnya angka partisipasi dari mahasiswa dan lulusan
IAIN/UIN dalam membuka kesempatan kerja dan kemandirian sosialnya. Padahal,
tatkala pendidikan memiliki kaitan yang erat dengan hubungan sosial, maka
situasi ini menjelaskan pendidikan dapat memberikan pengaruh yang signifikan
bagi perubahan sosial yang ada.[31]
Selain
hal tersebut, pembahasan Azra tentang problematika IAIN, ada kesamaan dalam pembahasan
yang ditulis oleh Amrullah Achmad dalam buku Pendidikan Islam di Indonesia
antara Cita dan Fakta.
Berkaitan dengan perkembangan mutakhir yang dialami
agama-agama didunia, sebenarnya tidak perlu menghawatirkan masa depan lembaga
pendidikan Islam. Namun sistem dan muatan pendidikan Islam itu sendiri
harus ditingkatkan, sehingga dapat memenuhi kebutuhan dunia modern. Dengan
mengembangkan aspek-aspek tertentu, pendidikan Islam dapat diharapkan
memberikan sumbangan yang lebih baik bagi umat manusia.
Sementara
itu keberadaan pendidikan Islam dan pengembangan SDM dalam era globalisasi
masih dibahas pada bab pertama ini. Dilihat dari tuntutan internal dan
tantangan eksternal global tadi, amaka diantara keunggulan yang mutlak dimiliki
bangsa dan negara Indonesia adalah penguasaan sains dan keunggulan kualitas
sumberdaya manusia (SDM). Selain itu diungkapkan juga beberapa dilema pesantren
dalam menyiapkan calon ulama yang berwawasan luasPeningkatan kualitas SDM
melalui pendidikan merupakan salah satu cara paling efektif untuk mengentaskan
kemiskinan, walaupun ini mungkin memerlukan waktu yang panjang.
Pendidikan
dalam masyarakat modern atau masyarakat yang tengah bergerak kearah modern
(modernizing) pada dasarnya berfungsi untuk memberikan kaitan antara anak didik
dan lingkungan sosio kulturalnya yang terus berubah. Dalam banyak hal
pendidikan secara sadar digunakan sebagai instrumen untuk perubahan dalam
sistem politik dan ekonomi. Kemunculan modernisasi pendidikan Islam di
Indonesia berkaitan erat dengan gagasan modernisme Islam di kawasan ini. gagasan
modernisme Islam pada lapangan pendidikan direalisasikan dengan pembentukan
lembaga-lembaga pendidikan modern yang mengadopsi sistem pendidikan kolonial
belanda. Pemrakarsa pertama dalam hal ini adalah organisasi-organisasi
“modernis” Islam seperti Jami’at Khair, al-Irsyad, Muhammadiyah dan lain-lain.
Menurutnya
sistem lembaga pendidikan tinggi Islam harus diperbaharui, kurikulum harus
ditingkatkan dengan memasukkan topik-topik beragam dan menarik. Beberapa aspek
ajaran dan warisan Islam dapat dipandang sebagai cabang pokok ilmu-ilmu
humaniora yang wilayah studinya mencakup agama, falsafah, etika, spiritualitas,
satra, seni, arkeologi, sejarah. Adalah mungkin untuk mengembangkan bidang
studi Islam kepada bidang ilmu-ilmu sosial lainnya.
Kerangka
dasar modernisasi pendidikan Islam secara keseluruhan adalah bahwa modernisasi
pemikiran dan kelembagaan Islam, merupakan prasyarat bagi kebangkitan kaum
muslim dimasa modern.
Bertahannya
pesantren sampai saat ini mengisyaratkan bahwa dunia Islam tradisi dalam segi-segi
tertentu masih tetap relevan ditengah deru modernisasi.[32] Dengan kata lain beliau mengungkapkan
bahwa pesantren mampu bertahan bukan hanya karena kemampuannya untuk melakukan
adjusment dan reajdusment, tetapi juga karena karakter essensialnya, sebagai
lembaga yang tidak hanya identik dengan makna keIslaman, tetapi juga mengandung
makna keaslian Indonesia (indigenous). Namun gelombang santrinisasi yang
terus berlangsung mengakibatkan harapan kepada pesantren semakin meningkat.
Sebuah diskursus tentang eksisitensi
perguruan tinggi Islam (dalam perspektif ini IAIN). Sebagai sebuah lembaga yang
diasumsi sebagai pencetak kaum intelektual Islam, hingga saat ini masih banyak
kekurangan dan kelemahan.
Selain
itu sistem pendidikan dan perkuliahan yang berlangsung kebanyakan masih
menggunakan the banking concept of education (pendidikan ala bank),
bukan problem posing education (pendidikan yang kritis).[33] Selanjutnya, pentingnya studi Islam.
IAIN sebagai perguruan tinggi khusus agama yang terpisah dari universitas
umum, sangat tidak berlebihan jika IAIN memposisikan dirinya sebagai pusat
studi Islam yang memadukan kajian keIslaman pada ketiga kawasan (Barat Eropa,
Timur Tengah dan Asia), yang memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Meski
hal itu adalah upaya berat, tetapi amat baik untuk menciptakan pakar-pakar
muslim yang benar-benar mumpuni dalam melihat, memahami dan menjelaskan Islam
dengan berbagai aspeknya guna menjawab kebutuhan dunia modern.
BAB IV
KESIMPULAN
Pendapat Azyumardi Azra hakikat pemikiran pendidikan
Islam adalah suatu proses pembentukan individu berdasarkan ajaran-ajaran Islam
yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, agar dapat mencapai derajat yang
tinggi supaya ia mampu menunaikan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi, dan berhasil mewujudkan kebahagiaan di
Dunia dan Akhirat. Dan pendidikan bukan hanya proses
transfer ilmu pengetahuan dari orang yang tidak tahu menjadi tahu saja namun
pendidikan juga di identikan dengan bimbingan serta penanaman nilai-nilai
karakter yang ada di dalam setiap mata pelajaran.
Sumber-sumber
pendidikan Islam menurut Azyumardi Azra adalah adalah Al-quran, Sunnah Nabi,
Ijtihad sahabat, Kemaslahatan Masyarakat, Nilai- nilai adat istiadat dan
kebiasaan sosial, dan hasil pemikiran pemikir Islam. Pendapat Azymumardi
Azra tentang modernisasi adalah Islam merupakan upaya untuk mengaktualisasikan
ajaran Islam agar sesuai dengan perkembangan sosial yang terjadi.
[1] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi
dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Cet. IV; Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
2002), hal 43.
(Yogyakarta :
Ar-ruzz, 2008). hal, 13.
[6] Mahmud Arif, Pendidikan
Islam Transformatif (Cet. I; Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara Yogyakarta,
2008), hal 6-7.
[7] Ibid,
hal 48.
[8] Azyumardi
Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia (Cet.
IV; Bandung: Mizan, 1998), h. 5.
[9] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi
dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III (Cet. I; Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2012), h. 323.
[10]
Siti Napsiyah Ariefuzzaman, Pemikir Pendidikan Islam, (Jakarta : PT.
Pena Citasatria, 2007), hal 45.
[14] Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. III; Jakarta:
Balai Pustaka, 2003), h. 617.
[16] Azyumardi Azra,
Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, 2012,
h. 9.
[17] Abuddin Nata, Pemikiran
Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam (Cet.
III; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), h. 70.
[21]Azyumardi Azra,
Op. Cit, hal 31.
[23]Azyumardi Azra,
Op. Cit, hal 32.
makasihhhhh
ReplyDelete