Wednesday, November 25, 2015

pemikiran pendidikan islam menurut ibnu al ghazali

BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang Masalah

Pendidikan Islam sesungguhnya telah tumbuh dan berkembang sejalan dengan adanya dakwah Islam yang telah dilakukan Nabi Muhammad SAW. Berkaitan dengan itu pula pendidikan Islam memiliki corak dan karakteristik yang berbeda sejalan dengan upaya pembaharuan yang dilakukan secara terus – meneruskan pascagenerasi nabi. Pembaharuan-pembaharuan dalam islam telah  mengalami kemajuan yang sangat pesat pada zaman dinasti Umayyah dan Abbasiyah.Namun sayang kemajuan tersebut tidak dapat dipegang erat oleh umat islam saat ini, hingga pada akhinya kemajuan dari dunia baratlah yang kini menjadi kiblat ilmu pengetahuan padahal mereka bersumber dari khazanah ilmu pengetahuan dan metode berfikir islam yang rasional pada massa klasik.

Dalam makalah singkat ini, kami  akan menyusuri bagaimana sistem pendidikan pada masa klasik dan  pemikiran para tokoh islam dalam mengembangkan pendidikan islam seperti al-Ghazali.

Kami mengharapkan dari makalah ini dapat meningkatkan kesadaran umat islam akan pentingnya pendidkan dan akan lahir kontribusi pemikiran mengapresiasi sosok pemikir pada zaman klasik yang karyanya membanjiri "ladang-ladang pengetahuan" dan menyentuh seluruh aspek keilmuan ini.


2.      Rumusan Masalah

a.       Biografi dari Al-Ghozali ?
b.      Apa saja Karya-karya dari Al-Ghozali ?
c.       Apa saja konsep pemikiran pendidikan islam menurut Al-Ghozali ?

3.      Tujuan dari penulisan

a.       Untuk mengetahui biografi dan riwayat hidup dari Al-Ghozali.
b.      Untuk mengetahui karya-karya dari Al-Ghozali.
c.       Untuk mengetahui konsep pemikiran pendidikan islam menurut Al-Ghozali.












BAB II
PEMBAHASAN

1.      Biografi Al-Ghozali

Bahwa nama lengkapnya adalah, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad  Al-Ghazali Ath-Thusi An-Naysa buri. Ia lahir dikota Thus, yang merupakan kota kedua setelah Naysabur yang terletak di wilayah Khurasan, pada tahun 450 H atau 1058 M. ayahnya adalah seorang sufi yang sangat wara’. Yang hanya makan dari usaha tangannya sendiri. Kerjanya adalah memintal wool dan menjualnya sendiri. Ia meninggal sewaktu anaknya itu masih kecil dan sebelum meninggal ia menitipkan anaknya pada seorang sufi lain untuk mendapat bimbingan dan pendidikan.[1]

Al-Ghazali mempunyai seorang saudara yang bernama Ahmad. ketika ayahnya meninggal, sahabatnya segera melaksanakan wasiat ayah al-Ghazali. Kedua anak ini dididik dan disekolahkan, dan setelah harta pusaka peninggalan ayah mereka habis, mereka dinasehati agar meneruskan mencari ilmu semampu-mampunya.

Sejak kecil al-Ghazali dikenal sebagai anak yang senang menuntut ilmu pengetahuan dan penggandrung mencari kebenaran, maka tidaklah mengherankan jika sejak masa kanak-kanak ia telah belajar dengan sejumlah guru dari kota kelahirannya. Masa kecilnya dimulai dengan belajar Fiqh.[2] Pada ulama terkenal yang bernama Ahmad Ibn Muhammad Ar-Razakani di Thus kemudian belajar kepada Abu Nashr al-Ismaili di Jurjan dan akhirnya ia kembali ke Thus lagi.[3] Sebagai gambaran kecintaannya akan ilmu pengetahuan, dikisahkan pada suatu hari dalam perjalanan pulangnya ke Thus, beliau dan teman-temannya dihadang oleh sekawanan pembegal yang kemudian merampas harta dan kebutuhan yang mereka bawa. Para pembegal merebut tas al-Ghazali yang berisi buku-buku yang ia senangi, kemudian ia meminta dengan penuh iba pada kawanan pembegal itu agar sudi kiranya mengembalikan tasnya, karena beliau ingin mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan yang terkandung didalamnya. Kawanan itupun merasa iba dan kasihan padanya sehingga mengembalikan tas itu. Dan setelah peristiwa itu, ia menjadi semakin rajin mempelajari dan memahami kandungan kitab-kitabnya dan berusaha mengamalkannya. Bahkan beliau selalu menyimpan kitab-kitab itu disuatu tempat khusus yang aman.

Setelah belajar di Thus, ia lalu melanjutkan belajar di Naysabur, tempat dimana ia menjadi murid Al-Juwaini Imam Al-Haramain hingga gurunya itu wafat.[4]Dari beliau, dia belajar Ilmu Kalam, Ushul Fiqh dan Ilmu Pengetahuan Agama lainnya.Pada periode ini, ia berusaha dengan sungguh-sungguh sehingga dapat menamatkan pelajarannya dengan singkat. Gurunya membanggakan dan mempercayakan kedudukannya padanya. Ia membimbing murid-murid mewakili gurunya sambil menulis buku.Dengan kecerdasan dan kemauan belajarnya yang luar biasa serta kemampuannya dalam mendebat segala sesuatu yang tidak sesuai dengan penalaran yang jernih, Al-Juwaini kemudian memberikan predikat bahrun mughriq (laut yang dalam nan menenggelamkan).[5]
Dari Naysabur, pada tahun 478 H/1085 M, al-Ghazali kemudian menuju Mu’askar. Untuk bertemu dengan Nidzam al-Mulk, yang merupakan perdana menteri Sultan Bani Saljuk.Dengan semakin mencuatnya nama al-Ghazali, Nidzam al-Mulk kemudian memerintahkannya pergi ke Bagdad untuk mengajar di Al-Madrasah An-Nidzamiyyah, dimana semua orang mengagumi pandangan-pandangannya yang pada akhirnya ia menjadi Imam bagi penduduk Irak setelah sebelumnya menjadi Imam di Khurasan. Namun, ditengah ketenarannya sebagai seorang ulama, disisi lain pada saat ini ia mengalami fase skeptisisme. Yang membuat keadaannya terbalik. Ia kemudian meninggalkan Bagdad dengan segala kedudukan dan fasilitas kemewahan yang diberikan padanya untuk menyibukkan dirinya dengan ketakwaan.

Perjalanannya kemudian berlanjut menuju Damaskus dimana ia banyak menghabiskan waktunya untuk berkhalwah, beribadah dan beri’tikaf. Dari sini ia kemudian menuju Baitul Maqdis untuk menunaikan ibadah haji. Setelah itu, ia kemudian kembali ke Naysabur atas desakan Fakhrul Mulk, anak Nidzam Al-Mulk untuk kembali mengajar.Hanya saja, ia menjadi guru besar dalam bidang studi lain, tidak seperti dahulu lagi. Selama periode mengajarnya yang kedua ini, ia juga menjadi Imam ahli agama dan tasawuf serta penasehat spesialis dalam bidang agama.

Setelah mengajar diberbagai tempat seperti Bagdad, Syam dan Naysaburi, Pada tahun 500 H/1107 M, al-Ghazali kemudian kembali kekampung halamannya, banyak bertafakkur, menanamkan ketakutan dalam kalbu sambil mengisi waktunya dengan mengajar pada madrasah yang ia dirikan disebelah rumahnya untuk para penuntut ilmu dan tempat khalwat bagi para sufi. Dan pada hari senin, 14 jumadal akhirah 505 H/18 desember 1111 M, Imam al-Ghazali berpulang ke rahmatullah ditanah kelahirannya, Thus dalam usia 55 tahun.






2.      Karya – karya Al-Ghozali

Sebagaimana disebutkan bahwa Al Ghazali merupakan kontributor terbesar pada masanya yang meliputi berbagai disiplin ilmu, di antaranya :

 a. Bidang Teologi

1)    Al-Munqidh min adh-Dhalal
2)    Al-Iqtishad fi al-I`tiqad
3)    Al-Risalah al-Qudsiyyah
4)    Kitab al-Arba'in fi Ushul ad-Din
5)    Mizan al-Amal
6)    Ad-Durrah al-Fakhirah fi Kasyf Ulum al-Akhirah

b.  Tasawuf

1)    Ihya Ulumuddin (Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama) merupakan karyanyayang terkenal
2)    Misykah al-Anwar (The Niche of Lights)
3)    Kimiya as-Sa'adah (Kimia Kebahagiaan)

c.    Filsafat

1)  Maqasid al-Falasifah
Tahafut al-Falasifah, buku ini membahas kelemahan-kelemahan para filosof masa itu, yang kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rushdi dalam buku Tahafut al-Tahafut (The Incoherence of the Incoherence)

d.  Fiqih

1)      Al-Mushtasfa min `Ilm al-Ushul

e.  Logika

1) Mi`yar al-Ilm (The Standard Measure of Knowledge) al- Qistas al Mustaqim (The Just Balance)
 2) Mihakk al-Nazar fi al-Manthiq (The Touchstone of Proof in Logic)

            Yang termasuk karya monumental Al-Ghozali yaitu “Ihya Ulum al-Din” (menghidupkan kembali Ilmu Agama)[6] Al-Ghozali sangat berpengaruh dalam dunia Islam, sehingga tidak mengherankan jika ada yang mengatakan bahwa ia adalah salah seorang tokoh terpenting setelah nabi Muhammad SAW, ditinjau dari segi pengaruh dan perannya dalam menata dan mengukuhkan ajaran keagamaan. Adapun karya-karya monumental Al-Ghozali yang lain yaitu: Mizanu al-A’mal, al-Arba’in, al-Tabru Masbuk Fi Nashah al-Mulk,dll.

            Konteks senada dipaparkan oleh Abdul Fattah Muhammad Sayyid Ahmad, bahwa kitab-kitab karya Al-Gho pada perkembangan pemikiran Islam secara khusus, dan secara umum pada pemikiran humanisme. Karya monumental Al-Ghozali adalah kitabnya yang berjudul “ Ihya Ulum al-Din “. Kitab ini membuat pemikiran orsinil Al-Ghozali , yang berisi ilmu pengetahuan, cahaya petunjuk, sendi-sendi keimanan, dan ma’arifat. Dalam kitabnya Ihya. Al-Ghozali kedudukan ihsan.[7]


3.      Konsep Pemikiran Pendidikan Al-Ghozali

Dalam pandangan Al-Ghazali yang dikutipoleh Mahmud dalam bukunya pemikiran pendidikan islam mengatakan bahwa sentral dalam pendidikan adalah hati sebab hati adalah esensi dari  manusia. Menurutnya subtansi manusia bukanlah terletak pada unsure-unsur yang ada pada fisiknya melainkan berada pada hatinya sehingga pendidikan diarahkan pada pembentukan akhlak yang mulia.[8]

Tugas guru tidahhanya mencerdaskan pikiran, melainkan membimbing, mengarahkan,meningkatkan dan menyucikan hati untuk mendekatkan diri kepada Allah.Jadi peranan guru disini tidak hanyamentransfer ilmu melainkan mendidik.
a.                Tujuan pendidikan menurut Al-Ghozali
Menurut Al Ghazali, puncak kesempurnaan manusia ialah seimbangnya peran akal dan hati dalam membinaruh manusia. Jadi sasaran inti dari pendidikan adalah kesempurnaan akhlak manusia, dengan membinaruhnya. Secararingkas, tujuanpendidikan Islam menurut Al Ghazali dapat di klasifikasikan kepada tiga, yaitu :
1)      Tujuan mempelajari ilmu adalah membentu kinsan kamil
( manusiasempurna) dengan tedensimen dekatkan diri kepada Allah.
2)      Tujuan pendidikan Islam adalah mengantarkan peserta didik mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
3)      Tujuan utama pendidikan Islam adalah pembentukan Akhlakul Karimah.

b.                Materi pendidikan menurut Al-Ghozali
Adapun mengenai materi pendidikan, Al Ghazali berpendapat bahwa Al Qur’an beserta kandungannya adalah merupakan ilmu pengetahun. Dalam hal ini Al Ghazali membagi ilmu pada dua macam, yaitu : Pertama, Ilmu Syar’iyyah; semua ilmu yang berasal dari para nabi. Kedua, Ilmu Ghair Syar’iyyah; semua ilmu yang berasal dari hasil ijtihad ulama atau intelektual muslim.
Al Ghazali membagi isi kurikulum pendidikan Islam menurut kuantitas yang mempelajarinya kepada dua macam, yaitu:
a)      Ilmu Fardlu Kifayah, yaitu ilmu yang cukup dipelajari oleh sebagian muslim saja, seperti ilmu yang berkaitan dengan masalah duniawi misalnya ilmu hitung, kedokteran, teknik, pertanian, industri, dan sebagainya.
b)      Ilmu Fardlu ‘Ain, yaitu ilmu yang harus diketahui oleh setiap  muslim yang bersumber dari kitabullah.

Sedangkan ditinjau dari sifatnya, ilmu pengetahuan terbagi kepada dua, yaitu : ilmu yang terpuji (mahmudah) dan ilmu yang tercela (mazmumah). Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan masalah aqidah dan ibadah wajib, misalnya, termasuk ilmu yang fardhu ‘ain. Secara ringkas, ilmu yang fardhu ‘ain adalah ilmu yang diperlukan untuk mengamalkan kewajiban. Untuk orang-orang yang dikarunai akal yang cerdas, maka beban dan kewajiban untuk mengkaji keilmuan itu tentu lebih berat. Mereka seharusnya lebih mendalami ilmu-ilmu yang fardhu ‘ain, lebih daripada orang lain yang kurang kadar kecerdasan akalnya.




c.                Metode pendidikan menurut Al-Ghozali
Menurut al-Ghazali metode perolehan ilmu dapat dibagi berdasarkan jenis ilmu itu sendiri, yaitu ilmu kasbi dan ilmu ladunni. (1) Ilmu kasbi dapat diperoleh melalui metode atau cara berfikir sistematik dan metodik yang dilakukan secara konsisten dan bertahap melalui proses pengamatan, penelitian, percobaan dan penemuan, yang mana memperolehnya dapat menggunakan pendekatan ta’lim insani. (2) Ilmu ladunni dapat diperoleh orang-orang tertentu dengan tidak melalui proses perolehan ilmu pada umumnya tetapi melalui proses pencerahan oleh hadirnya cahaya ilahi dalam qalbu, yang mana memperolehnya adalah menggunakan pendekatan ta’lim rabbani.
Selain itu, al-Ghazali juga memakai pendekatan behavioristik dalam pendidikan yang dijalankan. Hal ini terlihat dari pernyataannya, jika seorang murid berprestasi hendaklah seorang guru mengapresiasi murid tersebut, dan jika melanggar hendaklah diperingatkan, bentuk apresiasi gaya al-Ghazali tentu berbeda dengan pendekatan behavioristik dalam Eropa modern yang memberikan reward dan punishment-nya dalam bentuk kebendaan dan simbol-simbol materi. Al- Ghazali menggunakan tsawab (pahala) dan uqubah (dosa) sebagai reward and punishment-nya. Disamping itu, ia juga mengelaborasi dengan pendekatan humanistik yang mengatakan bahwa para pendidik harus memandang anak didik sebagai manusia secara holistik dan menghargai mereka sebagai manusia. Bahasa al-Ghazali tentang hal ini adalah bagaimana seorang guru harus bersikap lemah lembut dan penuh kasih sayang pada murid selayaknya mereka adalah anak kandung sendiri.
 Dengan ungkapan seperti ini tentu ia menginginkan sebuah pemanusiaan anak didik oleh guru. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah sebagai kerja yang memerlukan hubungan yang erat antara dua pribadi, yaitu guru dan murid. Dengan demikian, faktor keteladanan merupakan metode pengajaran yang utama dan sangat penting dalam pandangannya.
Menurut al-Ghazali, pendidikan tidak semata-mata sebagai suatu proses yang dengannya guru menanamkan pengetahuan yang diserap oleh siswa, yang setelah proses itu masing-masing guru dan murid berjalan di jalan mereka yang berlainan. Lebih dari itu, ia adalah interaksi yang saling mempengaruhi dan menguntungkan antara guru dan murid dalam tataran sama, yang pertama mendapatkan jasa karena memberikan pendidikan dan yang terakhir dapat mengolah dirinya dengan tambahan pengetahuan yang didapatkannya.
d.                Pendidik menurut Al-Ghozali
Dalam pandangan al-Ghazali, pendidik merupakan orang yang berusaha membimbing, meningkatkan, menyempurnakan dan mensucikan hati sehingga menjadi dekat dengan Khaliqnya. Ia juga memberikan perhatian yang sangat besar pada tugas dan kedudukan seorang pendidik. Hal ini tercermin dalam tulisannya:
“Sebaik-baik ikhwalnya adalah yang dikatakan berupa ilmu pengetahuan. Hal itulah yang dianggap keagungan dalam kerajaan langit. Tidak selayaknya ia menjadi seperti jarum yang memberi pakaian kepada orang lain sementara dirinya telanjang, atau seperti sumbu lampu yang menerangi yang lain sementara dirinya terbakar. Maka, barang siapa yang memikul beban pengajaran, maka sesungguhnya ia telah memikul perkara yang besar, sehingga haruslah ia menjaga etika dan tugasnya.Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pendidik yang dapat diserahi tugas mengajar adalah seorang pendidik yang selain memiliki kompetensi dalam bidang yang diajarkan yang tercermin dalam kesempurnaan akalnya, juga haruslah yang berakhlak baik dan memiliki fisik yang kuat.
Disamping syarat-syarat umum ini, ia juga memberikan kriteria-kriteria khusus, yaitu:
1.      Memperlakukan murid dengan penuh kasih saying.
2.      Meneladani Rasulullah dalam mengajar dengan tidak meminta upah.
3.      Memberikan peringatan tentang hal-hal baik demi mendekatkan diri pada Allah SWT.
4.      Memperingati murid dari akhlak tercela dengan cara-cara yang simpatik, halus tanpa cacian, makian dan kekerasan. Tidak mengekspose kesalahan murid didepan umum.
5.      Menjadi teladan bagi muridnya dengan menghargai ilmu-ilmu dan keahlian lain yang bukan keahlian dan spesialisasinya.
6.      Menghargai perbedaan potensi yang dimiliki oleh muridnya dan memperlakukannya sesuai dengan tingkat perbedaan yang dimilikinya itu.
7.      Memahami perbedaan bakat, tabi’at dan kejiwaan murid sesuai dengan perbedaan usianya.
8.      Berpegang teguh pada prinsip yang diucapkannya dan berupaya merealisasikannya sedemikian rupa.

e.                Peserta didik menurut Al-Ghozali
Dalam kaitannya dengan peserta didik atau dengan kata lain yaitu murid, lebih lanjut al-Ghazali menjelaskan bahwa mereka adalah makhluk yang telah dibekali dengan potensi atau fitrah untuk beriman kepada Allah SWT. Fitrah itu sengaja disiapkan oleh Allah SWT sesuai dengan kejadian manusia yang tabi’at dasarnya adalah cenderung kepada agama tauhid (islam). Untuk itu, seorang pendidik betugas mengarahkan fitrah tersebut agar dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan tujuan penciptaannya sebagai manusia.


Dalam pandangan al-Ghazali, murid memiliki etika dan tugas yang sangat banyak, yang dapat disusun dalam tujuh bagian, yaitu:
1.      Mendahulukan kesucian jiwa daripada kejelekan akhlak.
2.      Mengurangi hubungan keluarga dan menjauhi kampung halamannya sehingga hatinya hanya terikat pada ilmu.
3.      Tidak bersikap sombong terhadap ilmu dan menjauhi tindakan tidak terpuji kepada guru, bahkan ia harus menyerahkan urusannya kepadanya.
4.      Menjaga diri dari mendengarkan perselisihan diantara manusia.
5.      Tidak mengambil ilmu terpuji selain mendalaminya hingga ia dapat mengetahui hakikatnya.
6.      Mencurahkan perhatian terhadap ilmu yang terpenting, yaitu ilmu akhirat.
7.      Hendaklah tujuan murid itu ialah untuk mnghiasi batinnya dengan sesuatu yang akan mengantarkannya kepada Allah SWT.








BAB III
RELEVENSI PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT AL-GHOZALI DENGAN PENDIDIKAN MASA TERKINI
1.      Tujuan Pendidikan Islam. Dari hasil studi terhadap pemikiran al-Ghazali, diketahui dengan jelas bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan yaitu: a) Tercapainya kesempurnaan insan yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah dan b) Kesempurnaan insan yang bermuara pada kebahagiaan dunia akhirat. Dengan demikian, keberadaan pendidikan bagi manusia yang meliputi berbagai aspeknya mutlak diperlukan bagi kesempurnaan hidup manusia dalam upaya membentuk mausia paripurna, berbahagia didunia dan akhirat kelak. Hal ini berarti bahwa tujuan yang telah ditetapkan oleh imam al-Ghazali memiliki koherensi yang dominan denga upaya pendidikan yang melibatkan pembentukan seluruh aspek pribadi manusia secara utuh.

2.      Materi Pendidikan Islam. Imam al-Ghazali telah mengklasifikasikan meteri (ilmu) dan menyusunnya sesuai dengan dengan kebutuhan anak didik juga sesuai dengan nilai yang diberikan kepadanya. Dengan mempelajari kurikulum tersebut, jelaslah bahwa ini merupakan kurikulum atau materi yang bersifat universal, yang dapat dipergunakan untuk segala jenjang pendidikan. Hanya saja al-Ghazali tidak merincinya sesuai dengan jenjang dan tingkatan anak didik.

Jadi relevansi pandangan al-Ghazali dengan kebutuhan pengembangan dunia pendidikan Islam dewasa ini sangan bertautan dengan tuntutan saat ini, baik dalam pengertian spesifik maupun secara umum. Secara spesifik misalnya pengembangan studi akhlak tampak diperlukan dewasa ini. Sangat disanyangkan, materi ini telah hilang dilembaga-lembaga pendiidkan. Jangankan disekolah yang berlabel umum, disekolah yang berlambang Islam saja bidang studi yang satu ini sudah tidak ada. Dengan demikian pula secara umum, pandangan Al-Ghazali tentang pendidikan Islam tampak perlu dicermati. Keutuhan pandangan Al-Ghazali tentang Islam misalnya tampak tidak dikotomi seperti sekarang ini, ada ilmu agama dan ilmu umum, sehingga dari segi kualitas intelektual secara umum umat Islam jauh tertinggal dari umat yang lain. Hal ini barang kali merupakan salah satu akibat sempitnya pandangan umat terhadap ilmu pengetahuan yang dikotomi seperti itu.

3.      Metode pendidikan Islam. Pandangan Al-Ghazali secara spesifik berbicara tentang metode barang kali tidak ditemukan namun secara umum ditemukan dalam karya-karyanya. Metode pendidikan agama menurut Al-Ghazali pada prinsipnya dimulai dengan hafalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran setelah itu penegakkan dalil-dalil dan keterangan yang menunjang penguatan akidah

Pendidikan agama kenyataanya lebih sulit dibandingkan dengan pendidikan lainnya karena, pendidikan agama menyangkut masalah perasaan dan menitik beratkan pada pembentukan kepribadian murid. Oleh karena itu usaha Al-Ghazali untuk menerapkan konsep pendidikannya dalam bidang agama dengan menanamkan akidah sedini mungkin dinilai tepat. Menurut Al-Ghazali bahwa kebenaran akal atau rasio bersufat sempurna maka agama, bagi murid dijadikan pembimbing akal.

Dari uraian singkat diatas dapat dipahami bahwa makna sebenarnya dari metode pendidikan lebih luas daripada apa yang telah dikemukakan diatas. Aplikasi metode pendidikan secara tepat guna tidak hanya dilakukan pada saat berlangsungnya proses pendidikan saja, melainkan lebih dari itu, membina dan melatih fisik dan psikis guru itu sendiri sebagai pelaksana dari penggunaan metode pendidikan. Nana Sudjana dan Daeng Arifin mengemukakan bahwa proses kependidikan akan terjalin dengan baik manakala antara pendidik dan anak didik terjalin interaksi yang komunikatif.

Dengan demikian prinsip-prinsip penggunaan yang tepat sebagaimana diungkapkan oleh imam Al-Ghazali memiliki relevansi dan koherensi dengan pemikiran nilai-nilai pendidikan kontemporer pada masa kini. Hal ini berarti bahwa nilai-nilai kependidikan yang digunakan oleh imam Al-Ghazali dapat diterapkan dalam dunia pendidikan dalam dunia global.



















BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian diatas berikut ini akan dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:

a.       Keutuhan pribadi Al-Ghazali dapat diketahui dengan memahami hasil karyanya disemua bidang dan disiplin ilmu yang telah diselaminya dan bukan pada satu segi saja misalnya segi tasawuf, dengan deniukian kesan Al-Ghazali hanya sebagai sufi yang skeptis, hanya bergerak dibidang ruhani dan perasaan jiwa.
b.       
c.       Pendidikan Islam menurut imam Al-Ghazali adalah sarana perekayasaan social bagi umat Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk menuju kesempurnaan hidup manusia hingga mencapai insane kamil yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah dan kesempurnaan manusia yang bertujuan meraih kebahagiaan didunia dan diakhirat kelak. Pencapaian lesempurnaan hidup melalui proses pendidikan juga merupakan tujuan dari pendidikan Islam itu sendiri.

d.      Materi pendidikan isalam menurut al-Ghazali yang berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah ialah berisiskan berbagai ilmu pengetahuan sebagai sarana yang menghubungkan hamba dengan Tuhannya, sehingga ia mendekatkan diri secara kualitatif kepada-Nya. Dan dengan begitu sipenuntut ilmu dapat mencapai kebahagiaan didunia dan akhirat kelak.




DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000).
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1989).
Al-Ghazali, Mutiara (Bandung: Mizan, 2003).
Chairul Anwar, Reformasi Pemikiran (epistemologi pemikiran Al-Ghozali), (Bandar Lampung: 2007).
M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, (Bandung: Mizan, 2002).
Mahmud, PemikiranPendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2011).
Nurcholish Madjid, et.al., Ensiklopedia Islam Untuk Pelajar, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001).
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis,  (Jakarta: Ciputat Pers, 2002).



[1]Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1989), hlm. 97
[2]Al-Ghazali, Mutiara (Bandung: Mizan, 2003), hlm.
[3] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), hlm. 82
[4]M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam,(Bandung: Mizan, 2002), hlm. 28
[5]Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hlm. 87

[6] Nurcholish Madjid, et.al., Ensiklopedia Islam Untuk Pelajar, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), hlm. 57
[7] Chairul Anwar, Reformasi Pemikiran (epistemologi pemikiran Al-Ghozali), (Bandar Lampung: 2007), hlm. 9-10
[8]Mahmud, PemikiranPendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hlm. 245

7 comments: