BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Masalah
Pendidikan Islam sesungguhnya telah tumbuh dan berkembang
sejalan dengan adanya dakwah Islam yang telah dilakukan Nabi Muhammad SAW. Berkaitan dengan itu pula
pendidikan Islam memiliki corak dan karakteristik
yang berbeda sejalan dengan upaya pembaharuan
yang dilakukan secara terus –
meneruskan pascagenerasi nabi.
Pembaharuan-pembaharuan dalam islam telah
mengalami kemajuan yang sangat pesat pada zaman dinasti Umayyah dan
Abbasiyah.Namun sayang kemajuan tersebut tidak dapat dipegang erat oleh umat
islam saat ini, hingga pada akhinya kemajuan dari dunia baratlah yang kini
menjadi kiblat ilmu pengetahuan padahal mereka bersumber dari khazanah ilmu
pengetahuan dan metode berfikir islam yang rasional pada massa klasik.
Dalam makalah singkat ini, kami akan menyusuri bagaimana sistem pendidikan
pada masa klasik dan pemikiran para
tokoh islam dalam mengembangkan pendidikan islam seperti al-Ghazali.
Kami mengharapkan dari makalah ini dapat meningkatkan
kesadaran umat islam akan pentingnya pendidkan dan akan lahir kontribusi
pemikiran mengapresiasi sosok pemikir pada zaman klasik yang karyanya
membanjiri "ladang-ladang pengetahuan" dan menyentuh seluruh aspek
keilmuan ini.
2.
Rumusan Masalah
a. Biografi
dari Al-Ghozali ?
b. Apa
saja Karya-karya dari Al-Ghozali ?
c. Apa
saja konsep pemikiran pendidikan islam menurut Al-Ghozali ?
3.
Tujuan dari
penulisan
a. Untuk
mengetahui biografi dan riwayat hidup dari Al-Ghozali.
b. Untuk
mengetahui karya-karya dari Al-Ghozali.
c. Untuk
mengetahui konsep pemikiran pendidikan islam menurut Al-Ghozali.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Biografi
Al-Ghozali
Bahwa nama lengkapnya adalah, Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad Al-Ghazali Ath-Thusi An-Naysa
buri. Ia lahir dikota Thus, yang merupakan kota kedua setelah Naysabur yang
terletak di wilayah Khurasan, pada tahun 450 H atau 1058 M. ayahnya adalah
seorang sufi yang sangat wara’. Yang hanya
makan dari usaha tangannya sendiri. Kerjanya adalah memintal wool dan
menjualnya sendiri. Ia meninggal sewaktu anaknya itu masih kecil dan sebelum
meninggal ia menitipkan anaknya pada seorang sufi lain untuk mendapat bimbingan
dan pendidikan.[1]
Al-Ghazali mempunyai seorang saudara yang bernama
Ahmad. ketika ayahnya meninggal, sahabatnya segera melaksanakan wasiat ayah
al-Ghazali. Kedua anak ini dididik dan disekolahkan, dan setelah harta pusaka
peninggalan ayah mereka habis, mereka dinasehati agar meneruskan mencari ilmu
semampu-mampunya.
Sejak kecil al-Ghazali dikenal sebagai anak yang
senang menuntut ilmu pengetahuan dan penggandrung mencari kebenaran, maka
tidaklah mengherankan jika sejak masa kanak-kanak ia telah belajar dengan
sejumlah guru dari kota kelahirannya. Masa kecilnya dimulai dengan belajar Fiqh.[2] Pada ulama terkenal yang bernama Ahmad Ibn Muhammad
Ar-Razakani di Thus kemudian belajar kepada Abu Nashr al-Ismaili di Jurjan dan
akhirnya ia kembali ke Thus lagi.[3]
Sebagai gambaran kecintaannya akan ilmu pengetahuan, dikisahkan pada suatu hari
dalam perjalanan pulangnya ke Thus, beliau dan teman-temannya dihadang oleh
sekawanan pembegal yang kemudian merampas harta dan kebutuhan yang mereka bawa.
Para pembegal merebut tas al-Ghazali yang berisi buku-buku yang ia senangi,
kemudian ia meminta dengan penuh iba pada kawanan pembegal itu agar sudi
kiranya mengembalikan tasnya, karena beliau ingin mendapatkan berbagai macam
ilmu pengetahuan yang terkandung didalamnya. Kawanan itupun merasa iba dan
kasihan padanya sehingga mengembalikan tas itu. Dan setelah peristiwa itu, ia
menjadi semakin rajin mempelajari dan memahami kandungan kitab-kitabnya dan
berusaha mengamalkannya. Bahkan beliau selalu menyimpan kitab-kitab itu disuatu
tempat khusus yang aman.
Setelah belajar di Thus, ia lalu melanjutkan belajar
di Naysabur, tempat dimana ia menjadi murid Al-Juwaini Imam Al-Haramain hingga
gurunya itu wafat.[4]Dari
beliau, dia belajar Ilmu Kalam, Ushul Fiqh dan Ilmu Pengetahuan Agama
lainnya.Pada periode ini, ia berusaha dengan sungguh-sungguh sehingga dapat
menamatkan pelajarannya dengan singkat. Gurunya membanggakan dan mempercayakan
kedudukannya padanya. Ia membimbing murid-murid mewakili gurunya sambil menulis
buku.Dengan kecerdasan dan kemauan belajarnya yang luar biasa serta
kemampuannya dalam mendebat segala sesuatu yang tidak sesuai dengan penalaran
yang jernih, Al-Juwaini kemudian memberikan predikat bahrun mughriq (laut
yang dalam nan menenggelamkan).[5]
Dari Naysabur, pada tahun 478 H/1085 M, al-Ghazali
kemudian menuju Mu’askar. Untuk bertemu dengan Nidzam al-Mulk, yang merupakan
perdana menteri Sultan Bani Saljuk.Dengan semakin mencuatnya nama al-Ghazali,
Nidzam al-Mulk kemudian memerintahkannya pergi ke Bagdad untuk mengajar di
Al-Madrasah An-Nidzamiyyah, dimana semua orang mengagumi pandangan-pandangannya
yang pada akhirnya ia menjadi Imam bagi penduduk Irak setelah sebelumnya
menjadi Imam di Khurasan. Namun, ditengah ketenarannya sebagai seorang ulama,
disisi lain pada saat ini ia mengalami fase skeptisisme. Yang membuat
keadaannya terbalik. Ia kemudian meninggalkan Bagdad dengan segala kedudukan
dan fasilitas kemewahan yang diberikan padanya untuk menyibukkan dirinya dengan
ketakwaan.
Perjalanannya kemudian berlanjut menuju Damaskus
dimana ia banyak menghabiskan waktunya untuk berkhalwah, beribadah dan
beri’tikaf. Dari sini ia kemudian menuju Baitul Maqdis untuk menunaikan ibadah
haji. Setelah itu, ia kemudian kembali ke Naysabur atas desakan Fakhrul Mulk,
anak Nidzam Al-Mulk untuk kembali mengajar.Hanya saja, ia menjadi guru besar
dalam bidang studi lain, tidak seperti dahulu lagi. Selama periode mengajarnya
yang kedua ini, ia juga menjadi Imam ahli agama dan tasawuf serta penasehat
spesialis dalam bidang agama.
Setelah mengajar diberbagai tempat seperti Bagdad,
Syam dan Naysaburi, Pada tahun 500 H/1107 M, al-Ghazali kemudian kembali
kekampung halamannya, banyak bertafakkur, menanamkan ketakutan dalam kalbu
sambil mengisi waktunya dengan mengajar pada madrasah yang ia dirikan disebelah
rumahnya untuk para penuntut ilmu dan tempat khalwat bagi para sufi. Dan pada
hari senin, 14 jumadal akhirah 505 H/18 desember 1111 M, Imam al-Ghazali
berpulang ke rahmatullah ditanah kelahirannya, Thus dalam usia 55 tahun.
2.
Karya – karya
Al-Ghozali
Sebagaimana disebutkan bahwa Al
Ghazali merupakan kontributor terbesar pada masanya yang meliputi berbagai
disiplin ilmu, di antaranya :
a. Bidang
Teologi
1) Al-Munqidh min adh-Dhalal
2) Al-Iqtishad fi al-I`tiqad
3) Al-Risalah al-Qudsiyyah
4) Kitab al-Arba'in fi Ushul ad-Din
5) Mizan al-Amal
6) Ad-Durrah al-Fakhirah fi Kasyf Ulum
al-Akhirah
b. Tasawuf
1) Ihya Ulumuddin (Kebangkitan
Ilmu-Ilmu Agama) merupakan karyanyayang terkenal
2) Misykah al-Anwar (The Niche of
Lights)
3) Kimiya as-Sa'adah (Kimia
Kebahagiaan)
c. Filsafat
1) Maqasid al-Falasifah
Tahafut al-Falasifah, buku ini membahas
kelemahan-kelemahan para filosof masa itu, yang kemudian ditanggapi oleh Ibnu
Rushdi dalam buku Tahafut al-Tahafut (The Incoherence of the Incoherence)
d. Fiqih
1)
Al-Mushtasfa min `Ilm al-Ushul
e. Logika
1) Mi`yar al-Ilm (The Standard
Measure of Knowledge) al- Qistas al Mustaqim (The Just Balance)
2) Mihakk al-Nazar fi
al-Manthiq (The Touchstone of Proof in Logic)
Yang termasuk karya monumental
Al-Ghozali yaitu “Ihya Ulum al-Din”
(menghidupkan kembali Ilmu Agama)[6]
Al-Ghozali sangat berpengaruh dalam dunia Islam, sehingga tidak mengherankan
jika ada yang mengatakan bahwa ia adalah salah seorang tokoh terpenting setelah
nabi Muhammad SAW, ditinjau dari segi pengaruh dan perannya dalam menata dan
mengukuhkan ajaran keagamaan. Adapun karya-karya monumental Al-Ghozali yang
lain yaitu: Mizanu al-A’mal, al-Arba’in, al-Tabru Masbuk Fi Nashah al-Mulk,dll.
Konteks senada dipaparkan oleh Abdul
Fattah Muhammad Sayyid Ahmad, bahwa kitab-kitab karya Al-Gho pada perkembangan
pemikiran Islam secara khusus, dan secara umum pada pemikiran humanisme. Karya
monumental Al-Ghozali adalah kitabnya yang berjudul “ Ihya Ulum al-Din “. Kitab ini membuat pemikiran orsinil Al-Ghozali
, yang berisi ilmu pengetahuan, cahaya petunjuk, sendi-sendi keimanan, dan
ma’arifat. Dalam kitabnya Ihya. Al-Ghozali kedudukan ihsan.[7]
3. Konsep
Pemikiran Pendidikan Al-Ghozali
Dalam pandangan Al-Ghazali yang
dikutipoleh Mahmud dalam bukunya pemikiran pendidikan islam mengatakan bahwa sentral dalam pendidikan adalah hati sebab hati adalah
esensi dari manusia. Menurutnya subtansi manusia bukanlah terletak pada
unsure-unsur yang ada pada fisiknya melainkan berada pada hatinya sehingga pendidikan diarahkan pada pembentukan akhlak yang
mulia.[8]
Tugas guru tidahhanya mencerdaskan pikiran, melainkan membimbing,
mengarahkan,meningkatkan dan menyucikan hati untuk mendekatkan diri kepada Allah.Jadi
peranan guru disini tidak hanyamentransfer ilmu melainkan mendidik.
a.
Tujuan pendidikan menurut Al-Ghozali
Menurut Al Ghazali, puncak kesempurnaan manusia ialah seimbangnya peran akal dan hati dalam membinaruh manusia.
Jadi sasaran inti dari pendidikan adalah kesempurnaan akhlak manusia, dengan membinaruhnya. Secararingkas, tujuanpendidikan
Islam menurut Al Ghazali dapat di klasifikasikan kepada tiga, yaitu
:
1)
Tujuan mempelajari ilmu adalah membentu kinsan kamil
( manusiasempurna) dengan tedensimen
dekatkan diri kepada Allah.
2)
Tujuan pendidikan Islam adalah mengantarkan peserta didik mencapai kebahagiaan
dunia dan akhirat.
3)
Tujuan utama pendidikan Islam adalah pembentukan Akhlakul Karimah.
b.
Materi pendidikan menurut Al-Ghozali
Adapun mengenai materi pendidikan, Al Ghazali
berpendapat bahwa Al Qur’an beserta kandungannya adalah merupakan ilmu
pengetahun. Dalam hal ini Al Ghazali membagi ilmu pada dua macam, yaitu :
Pertama, Ilmu Syar’iyyah; semua ilmu yang berasal dari para nabi. Kedua, Ilmu
Ghair Syar’iyyah; semua ilmu yang berasal dari hasil ijtihad ulama atau
intelektual muslim.
Al Ghazali membagi isi kurikulum pendidikan Islam menurut kuantitas yang mempelajarinya kepada dua macam, yaitu:
Al Ghazali membagi isi kurikulum pendidikan Islam menurut kuantitas yang mempelajarinya kepada dua macam, yaitu:
a)
Ilmu Fardlu Kifayah, yaitu ilmu yang
cukup dipelajari oleh sebagian muslim saja, seperti ilmu yang berkaitan dengan
masalah duniawi misalnya ilmu hitung, kedokteran, teknik, pertanian, industri,
dan sebagainya.
b)
Ilmu Fardlu ‘Ain, yaitu ilmu yang
harus diketahui oleh setiap muslim yang bersumber dari kitabullah.
Sedangkan ditinjau dari sifatnya,
ilmu pengetahuan terbagi kepada dua, yaitu : ilmu yang terpuji (mahmudah) dan
ilmu yang tercela (mazmumah). Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan masalah aqidah
dan ibadah wajib, misalnya, termasuk ilmu yang fardhu ‘ain. Secara ringkas,
ilmu yang fardhu ‘ain adalah ilmu yang diperlukan untuk mengamalkan kewajiban.
Untuk orang-orang yang dikarunai akal yang cerdas, maka beban dan kewajiban
untuk mengkaji keilmuan itu tentu lebih berat. Mereka seharusnya lebih mendalami
ilmu-ilmu yang fardhu ‘ain, lebih daripada orang lain yang kurang kadar
kecerdasan akalnya.
c.
Metode
pendidikan menurut Al-Ghozali
Menurut al-Ghazali metode perolehan ilmu dapat dibagi
berdasarkan jenis ilmu itu sendiri, yaitu ilmu kasbi dan ilmu
ladunni. (1) Ilmu kasbi dapat diperoleh melalui metode atau cara
berfikir sistematik dan metodik yang dilakukan secara konsisten dan bertahap
melalui proses pengamatan, penelitian, percobaan dan penemuan, yang mana
memperolehnya dapat menggunakan pendekatan ta’lim insani. (2) Ilmu
ladunni dapat diperoleh orang-orang tertentu dengan tidak melalui proses
perolehan ilmu pada umumnya tetapi melalui proses pencerahan oleh hadirnya
cahaya ilahi dalam qalbu, yang mana memperolehnya adalah menggunakan pendekatan
ta’lim rabbani.
Selain itu, al-Ghazali juga memakai pendekatan
behavioristik dalam pendidikan yang dijalankan. Hal ini terlihat dari
pernyataannya, jika seorang murid berprestasi hendaklah seorang guru
mengapresiasi murid tersebut, dan jika melanggar hendaklah diperingatkan,
bentuk apresiasi gaya al-Ghazali tentu berbeda dengan pendekatan behavioristik
dalam Eropa modern yang memberikan reward dan punishment-nya
dalam bentuk kebendaan dan simbol-simbol materi. Al- Ghazali menggunakan tsawab
(pahala) dan uqubah (dosa) sebagai reward and punishment-nya.
Disamping itu, ia juga mengelaborasi dengan pendekatan humanistik yang
mengatakan bahwa para pendidik harus memandang anak didik sebagai manusia
secara holistik dan menghargai mereka sebagai manusia. Bahasa al-Ghazali
tentang hal ini adalah bagaimana seorang guru harus bersikap lemah lembut dan
penuh kasih sayang pada murid selayaknya mereka adalah anak kandung sendiri.
Dengan ungkapan
seperti ini tentu ia menginginkan sebuah pemanusiaan anak didik oleh guru.
Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah sebagai kerja yang
memerlukan hubungan yang erat antara dua pribadi, yaitu guru dan murid. Dengan
demikian, faktor keteladanan merupakan metode pengajaran yang utama dan sangat
penting dalam pandangannya.
Menurut al-Ghazali, pendidikan tidak semata-mata
sebagai suatu proses yang dengannya guru menanamkan pengetahuan yang diserap
oleh siswa, yang setelah proses itu masing-masing guru dan murid berjalan di
jalan mereka yang berlainan. Lebih dari itu, ia adalah interaksi yang saling
mempengaruhi dan menguntungkan antara guru dan murid dalam tataran sama, yang
pertama mendapatkan jasa karena memberikan pendidikan dan yang terakhir dapat
mengolah dirinya dengan tambahan pengetahuan yang didapatkannya.
d.
Pendidik menurut
Al-Ghozali
Dalam
pandangan al-Ghazali, pendidik merupakan orang yang berusaha membimbing,
meningkatkan, menyempurnakan dan mensucikan hati sehingga menjadi dekat dengan Khaliqnya.
Ia juga memberikan perhatian yang sangat besar pada tugas dan kedudukan seorang
pendidik. Hal ini tercermin dalam tulisannya:
“Sebaik-baik
ikhwalnya adalah yang dikatakan berupa ilmu pengetahuan. Hal itulah yang
dianggap keagungan dalam kerajaan langit. Tidak selayaknya ia menjadi seperti
jarum yang memberi pakaian kepada orang lain sementara dirinya telanjang, atau
seperti sumbu lampu yang menerangi yang lain sementara dirinya terbakar. Maka,
barang siapa yang memikul beban pengajaran, maka sesungguhnya ia telah memikul
perkara yang besar, sehingga haruslah ia menjaga etika dan tugasnya.Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa pendidik yang dapat diserahi tugas mengajar
adalah seorang pendidik yang selain memiliki kompetensi dalam bidang yang
diajarkan yang tercermin dalam kesempurnaan akalnya, juga haruslah yang
berakhlak baik dan memiliki fisik yang kuat.
Disamping
syarat-syarat umum ini, ia juga memberikan kriteria-kriteria khusus, yaitu:
1.
Memperlakukan
murid dengan penuh kasih saying.
2. Meneladani
Rasulullah dalam mengajar dengan tidak meminta upah.
3. Memberikan
peringatan tentang hal-hal baik demi mendekatkan diri pada Allah SWT.
4. Memperingati
murid dari akhlak tercela dengan cara-cara yang simpatik, halus tanpa cacian,
makian dan kekerasan. Tidak mengekspose kesalahan murid didepan umum.
5. Menjadi
teladan bagi muridnya dengan menghargai ilmu-ilmu dan keahlian lain yang bukan
keahlian dan spesialisasinya.
6. Menghargai
perbedaan potensi yang dimiliki oleh muridnya dan memperlakukannya sesuai
dengan tingkat perbedaan yang dimilikinya itu.
7. Memahami
perbedaan bakat, tabi’at dan kejiwaan murid sesuai dengan perbedaan usianya.
8. Berpegang
teguh pada prinsip yang diucapkannya dan berupaya merealisasikannya sedemikian
rupa.
e.
Peserta didik menurut Al-Ghozali
Dalam
kaitannya dengan peserta didik atau dengan kata lain yaitu murid, lebih lanjut
al-Ghazali menjelaskan bahwa mereka adalah makhluk yang telah dibekali dengan
potensi atau fitrah untuk beriman kepada Allah SWT. Fitrah itu sengaja
disiapkan oleh Allah SWT sesuai dengan kejadian manusia yang tabi’at dasarnya
adalah cenderung kepada agama tauhid (islam). Untuk itu, seorang pendidik
betugas mengarahkan fitrah tersebut agar dapat tumbuh dan berkembang sesuai
dengan tujuan penciptaannya sebagai manusia.
Dalam
pandangan al-Ghazali, murid memiliki etika dan tugas yang sangat banyak, yang
dapat disusun dalam tujuh bagian, yaitu:
1.
Mendahulukan
kesucian jiwa daripada kejelekan akhlak.
2.
Mengurangi
hubungan keluarga dan menjauhi kampung halamannya sehingga hatinya hanya
terikat pada ilmu.
3.
Tidak
bersikap sombong terhadap ilmu dan menjauhi tindakan tidak terpuji kepada guru,
bahkan ia harus menyerahkan urusannya kepadanya.
4.
Menjaga diri
dari mendengarkan perselisihan diantara manusia.
5.
Tidak
mengambil ilmu terpuji selain mendalaminya hingga ia dapat mengetahui
hakikatnya.
6.
Mencurahkan
perhatian terhadap ilmu yang terpenting, yaitu ilmu akhirat.
7.
Hendaklah
tujuan murid itu ialah untuk mnghiasi batinnya dengan sesuatu yang akan
mengantarkannya kepada Allah SWT.
RELEVENSI PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT
AL-GHOZALI DENGAN PENDIDIKAN MASA TERKINI
1. Tujuan Pendidikan Islam. Dari hasil studi
terhadap pemikiran al-Ghazali, diketahui dengan jelas bahwa tujuan akhir yang
ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan yaitu: a) Tercapainya kesempurnaan
insan yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah dan b) Kesempurnaan insan
yang bermuara pada kebahagiaan dunia akhirat. Dengan demikian, keberadaan
pendidikan bagi manusia yang meliputi berbagai aspeknya mutlak diperlukan bagi
kesempurnaan hidup manusia dalam upaya membentuk mausia paripurna, berbahagia
didunia dan akhirat kelak. Hal ini berarti bahwa tujuan yang telah ditetapkan
oleh imam al-Ghazali memiliki koherensi yang dominan denga upaya pendidikan
yang melibatkan pembentukan seluruh aspek pribadi manusia secara utuh.
2. Materi Pendidikan Islam. Imam
al-Ghazali telah mengklasifikasikan meteri (ilmu) dan menyusunnya sesuai dengan
dengan kebutuhan anak didik juga sesuai dengan nilai yang diberikan kepadanya.
Dengan mempelajari kurikulum tersebut, jelaslah bahwa ini merupakan kurikulum
atau materi yang bersifat universal, yang dapat dipergunakan untuk segala
jenjang pendidikan. Hanya saja al-Ghazali tidak merincinya sesuai dengan
jenjang dan tingkatan anak didik.
Jadi relevansi pandangan al-Ghazali
dengan kebutuhan pengembangan dunia pendidikan Islam dewasa ini sangan
bertautan dengan tuntutan saat ini, baik dalam pengertian spesifik maupun
secara umum. Secara spesifik misalnya pengembangan studi akhlak tampak
diperlukan dewasa ini. Sangat disanyangkan, materi ini telah hilang
dilembaga-lembaga pendiidkan. Jangankan disekolah yang berlabel umum, disekolah
yang berlambang Islam saja bidang studi yang satu ini sudah tidak ada. Dengan
demikian pula secara umum, pandangan Al-Ghazali tentang pendidikan Islam tampak
perlu dicermati. Keutuhan pandangan Al-Ghazali tentang Islam misalnya tampak
tidak dikotomi seperti sekarang ini, ada ilmu agama dan ilmu umum, sehingga
dari segi kualitas intelektual secara umum umat Islam jauh tertinggal dari umat
yang lain. Hal ini barang kali merupakan salah satu akibat sempitnya pandangan
umat terhadap ilmu pengetahuan yang dikotomi seperti itu.
3. Metode pendidikan Islam. Pandangan
Al-Ghazali secara spesifik berbicara tentang metode barang kali tidak ditemukan
namun secara umum ditemukan dalam karya-karyanya. Metode pendidikan agama
menurut Al-Ghazali pada prinsipnya dimulai dengan hafalan dan pemahaman,
kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran setelah itu penegakkan
dalil-dalil dan keterangan yang menunjang penguatan akidah
Pendidikan agama kenyataanya lebih
sulit dibandingkan dengan pendidikan lainnya karena, pendidikan agama
menyangkut masalah perasaan dan menitik beratkan pada pembentukan kepribadian
murid. Oleh karena itu usaha Al-Ghazali untuk menerapkan konsep pendidikannya
dalam bidang agama dengan menanamkan akidah sedini mungkin dinilai tepat. Menurut
Al-Ghazali bahwa kebenaran akal atau rasio bersufat sempurna maka agama, bagi
murid dijadikan pembimbing akal.
Dari uraian singkat diatas dapat
dipahami bahwa makna sebenarnya dari metode pendidikan lebih luas daripada apa
yang telah dikemukakan diatas. Aplikasi metode pendidikan secara tepat guna
tidak hanya dilakukan pada saat berlangsungnya proses pendidikan saja,
melainkan lebih dari itu, membina dan melatih fisik dan psikis guru itu sendiri
sebagai pelaksana dari penggunaan metode pendidikan. Nana Sudjana dan Daeng
Arifin mengemukakan bahwa proses kependidikan akan terjalin dengan baik
manakala antara pendidik dan anak didik terjalin interaksi yang komunikatif.
Dengan demikian prinsip-prinsip
penggunaan yang tepat sebagaimana diungkapkan oleh imam Al-Ghazali memiliki
relevansi dan koherensi dengan pemikiran nilai-nilai pendidikan kontemporer
pada masa kini. Hal ini berarti bahwa nilai-nilai kependidikan yang digunakan
oleh imam Al-Ghazali dapat diterapkan dalam dunia pendidikan dalam dunia global.
BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas berikut
ini akan dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
a.
Keutuhan pribadi Al-Ghazali dapat diketahui dengan memahami
hasil karyanya disemua bidang dan disiplin ilmu yang telah diselaminya dan
bukan pada satu segi saja misalnya segi tasawuf, dengan deniukian kesan
Al-Ghazali hanya sebagai sufi yang skeptis, hanya bergerak dibidang ruhani dan
perasaan jiwa.
b.
c.
Pendidikan Islam menurut imam Al-Ghazali adalah sarana
perekayasaan social bagi umat Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah
untuk menuju kesempurnaan hidup manusia hingga mencapai insane kamil yang
bertujuan mendekatkan diri kepada Allah dan kesempurnaan manusia yang bertujuan
meraih kebahagiaan didunia dan diakhirat kelak. Pencapaian lesempurnaan hidup
melalui proses pendidikan juga merupakan tujuan dari pendidikan Islam itu
sendiri.
d.
Materi pendidikan isalam menurut al-Ghazali yang berdasarkan
al-Quran dan as-Sunnah ialah berisiskan berbagai ilmu pengetahuan sebagai
sarana yang menghubungkan hamba dengan Tuhannya, sehingga ia mendekatkan diri
secara kualitatif kepada-Nya. Dan dengan begitu sipenuntut ilmu dapat mencapai
kebahagiaan didunia dan akhirat kelak.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin
Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan
Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000).
Ahmad Daudy,
Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1989).
Al-Ghazali,
Mutiara (Bandung: Mizan, 2003).
Chairul
Anwar, Reformasi Pemikiran (epistemologi
pemikiran Al-Ghozali), (Bandar Lampung: 2007).
M. Amin
Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, (Bandung:
Mizan, 2002).
Mahmud, PemikiranPendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2011).
Nurcholish
Madjid, et.al., Ensiklopedia Islam Untuk
Pelajar, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001).
Samsul
Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan
Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers,
2002).
[1]Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang,
1989), hlm. 97
[2]Al-Ghazali,
Mutiara (Bandung: Mizan, 2003), hlm.
[3]
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), hlm. 82
[4]M. Amin Abdullah, Antara
Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam,(Bandung: Mizan, 2002), hlm. 28
[5]Samsul Nizar, Filsafat
Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta:
Ciputat Pers, 2002), hlm. 87
[6]
Nurcholish Madjid, et.al., Ensiklopedia
Islam Untuk Pelajar, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), hlm. 57
[7]
Chairul Anwar, Reformasi Pemikiran (epistemologi
pemikiran Al-Ghozali), (Bandar Lampung: 2007), hlm. 9-10
izin ya
ReplyDeleteizin copy ya. terima kasih
ReplyDeleteizin copy ya kak :)
ReplyDeleteterimakasih :)
ReplyDeleteijin copas
ReplyDeleteIzin kopi
ReplyDeleteIzin copas ya
ReplyDelete