BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pengertian pendidikan secara umum,
yang kemudian dihubungkan dengan islam sebagai suatu sistem keagamaan
menimbulkan pengertian-pengertian baru, yang secara implisit menjelaskan
karakteristik-karekteristik yang dimilikinya. Pengertian pendidikan dengan
seluruh totalitasnya dalam konteks islam inheren dalam konotasi istilah “
Tarbiyah”, “Ta’lim” dan “ Ta’dib” yang harus dipahami secara bersama-sama.[1]
Dengan demikian pendidikan islam
adalah segala upaya atau proses pendidikan yang dilakukan untuk membimbing
tingkah laku manusia baik individu maupun sosial, untuk mengarahkan potensi
baik potensi dasar (fitrah) maupun ajar yang sesuai dengan fitahnya melalui
proses intelektual dan spritual berlandaskan nilai islam untuk mencapai
kebahagian hidup di dunia dan di akhirat.[2]
Dari uraian diatas terlihat dengan
jelas bahwa pemikiran muslim tentang pendidikan islam tidaklah monotelik
Pemikiran-pemikiran
kependidikan yang diajukan para tokoh klasik tidak menutup kemungkinan masih
ada yang cocok dan perlu dilaksanakan. Di tengah-tengah situasi dimana umat
islam saat ini sedang mencari model pendidikan yang unggul dan terpadu sebagai
upaya menajwab kebutuhan masyarakat. Sekilas tentang pemikiran-pemikiran Ibnu
Maskawaih akan kami bahas dalam makalah ini.[3]
B.
Rumusan Masalah
1.
Biografi Ibnu Maskawaih?
2.
Apa Sajakah Karya-Karya Ibnu Maskawaih?
3.
Bagaimana Konsep Pemikiran Pendidikan Islam Menurut Ibnu Maskawaih?
4.
Bagaimana Relevansi Pemikiran Pendidikan Islam Ibnu Maskawaih
Dengan Pendidikan Masa Terkini?
C.
Tujuan dan Kegunaan
Adapun tujuan yang hendak dicapai adalah
agar pembaca dapat mengetahui biografi salah satu tokoh pemkiran pendidikan
islam pada masa klasik beserta apa saja karya-karyanya, dan bagaimana konsep
pemikirannya pada waktu itu dan apakah masih relevansi dengan pendidikan masa
terkini.. Kami mengharapkan dari makalah ini dapat meningkatkan
kesadaran umat islam akan pentingnya pendidkan dan akan lahir kontribusi
pemikiran dalam mengapresiasi sosok
pemikir pada zaman klasik yang karyanya membanjiri "ladang-ladang
pengetahuan" dan menyentuh seluruh aspek keilmuan ini. Kemudian, untuk
menyempurnakan tugas mata kuliah”Pemikiran Pendidikan Islam”.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Ibnu Maskawaih
Ibnu Miskawaih atau Abu Ali Al- Khazin memiliki nama lengkap Ahmad
Ibn Muhammad Ibnu Ya’kub lahir sekitar tahun 941 masehi. Meninggal dunia pada
tanggal 9 Shafar 421 Hijriah atau 16 Februari 1030 Masehi.[4]
Belum bisa dipastikan apakah Miskawaih itu putra (Ibn) Muskawaih atau Miskawaih
itu dia sendiri.
Dalam
Ensiklopedi Islam dikatakan, Ibnu Maskawaih adalah seorang ahli sejarah dan
filsafat. Disamping itu, ia juga seorang moralis, penyair serta ahli kimia.Nama
lengkapnya adalah Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Yakub bin Maskawaih. Ia
dilahirkan pada 330 Hijrah (941 M)] di Kota Ray (Teheran sekarang), dan wafat
tahun 421 H/ 1030 M.[5]
Miskawaih merupakan penganut Syi’ah. Indikasi ini didasarkan pada
pengabdiannya pada sultan dan wazir-wazir Syi’ah dalam masa pemerintahan Bani
Buwaihi (320-448 M). Ketika Sultan Ahmad ‘Adhud al-Daulah memegang tampuk
pemerintahan, dia menduduki jabatan yang penting, seperti Khazin, yaitu penjaga
perpustakaan yang besar dan bendahara negara.
Yakut berkata bahwa ia pada mulanya beragama majusi kemudian
memeluk Islam. Tetapi barangkali hal ini benar bagi ayahnya karena miskawaih
sendiri seperti yang tercermin pada namanya ialah putera seorang muslim yang
bernama Muhammad. Ibnu Miskawaih adalah seorang ahli fisika filsafat dan
sejarah, beliau juga merupakan seorang bendahara dan teman dari Adud al-
Daullah.[6]
Miskawaih merupakan seorang yang mempelajari falsafah terlebih
dahulu tidak dimulai dengan ilmu alat lainnya berbeda dari kebiasaan para
filosof lain. Yang terdahulu dipelajari adalah mengenai masalah akhlak dan ilmu
jiwa bukan logika teori pengetahuan dan ilmu metodenya, tetapi beliau termasuk
diantara tokoh pemikir yang menguasai secara sempurna filsafat-filsafat dan
ilmu-ilmu terdahulu.[7]
Miskawaih pada awalnya belajar sejarah terutama Tarikh al
Thabari kepada Abu Bakr Ibnu Kamil al- Qadhi (350H/960M). Miskawaih juga
banyak belajar ilmu-ilmu filsafat dari Ibnu al-Khammar dan memperkenalkan
karya-karya Aristoteles. Selain itu Miskawaih menyerap ilmu kimia dari Abu
al-Thayyib al Razi, seorang ahli kimia. Disiplin ilmunya meliputi kedokteran,
bahasa, sejarah, dan filsafat. Akan tetapi, dia populer sebagai seorang filosof
akhlak daripada filosof ketuhanan. Bisa jadi, hal ini dipicu oleh kekacauan
masyarakat pada masanya.[8]
Dilihat dari
tahun lahir dan wafatnya, Ibnu Maskawaih hidup pada masa pemerintahan Bani
Abbas yang berada di bawah pengaruh Bani Buwaih. Puncak prestasi atau zaman
keemasan kekuasaan Bani Buwaih adalah pada masa ’Adhud Ad Daulah yang berkuasa
dari tahun 367 hingga 372 H. Pada masa inilah Ibn Maskawaih memperoleh
kepercayaan untuk menjadi bendaharawan dan pada masa ini jugalah Ibn Maskawaih
muncul sebagai seorang filosof, tabib, ilmuwan dan pujangga. [9]
Tetapi di
samping itu, ada hal yang tidak menyenangkan hatinya, yaitu kemerosotan moral
yang melanda masyarakat. Oleh karena itulah agaknya ia lalu tertarik untuk
menitik beratkan perhatiannya pada bidang etika Islam. Setelah kematian Mu’izz,
beliau telah dilantik menjadi Ketua Perpustakaan. Ini telah membuka peluang
kepada Ibnu Maskawaih untuk menambah ilmu pengetahuan karena beliau berpeluang
untuk membaca berbagai buku yang ditulis oleh para ilmuan Islam dan Yunani.
Beliau kemudian dilantik menjadi Ketua Pemegang Amanah Khazanah yang
bertanggungjawab menjaga perpustakaan Malik Adhdud Daulah.
Sehubungan
dengan itu, hasil ketekunan dan kerajinan beliau dalam mencari ilmu pengetahuan
akhirnya memberi hasil yang bernilai kepadanya. Ibnu Maskawaih telah berhasil
membina dan membuktikan ketokohannya sebagai ilmuan yang mempunyai pengetahuan
yang luas dalam berbagai bidang.
Riwayat Pendidikan Ibnu Maskawaih
Riwayat detail
mengenai riwayat pendidikan Ibn Maskawaih tidak diketahui dengan jelas.
Maskawaih tidak menulis otobiografinya, dan para penulis riwayatnya pun tidak
memberikan informasi yang jelas mengenai latar belakang pendidikannya. Namun
dalam beberapa literatur di dapat ketemukan oleh penulis adalah sebagai berikut
: Ia belajar sejarah, terutama Tarikh At Thabary, kepada Abu Bakar Ahmad bin
Kamil al Qaghi (350 H/960 M). Ibn Al Khammar, mufassir kenamaan karya-karya
Aristoteles, adalah gurunya dalam ilmu-ilmu filsafat. Maskawaih mengkaji
alkimia bersama abu At Thayyib ar Razi, seorang ahli alkimia.
B.
Karya-Karya Ibnu Maskawaih
Miskawaih tidak hanya dikenal
sebagai seorang pemikir, tetapi juga sebagai penulis yang produktif. Dalam buku
The History of The Muslim Philosophy disebutkan beberapa karya tulisnya, yaitu:
1. Al-Fauz
al-Akbar
2. Al-Fauz
al-Asghar
3. Tajarib
al-Umam
4. Uns
al-Farid
5. Tartib
al-Sa’adat
6. Al-Mustaufa
7. Jawidan
Khirad
8. Al-Jami’
9. Al-Siya
10. On
the Simple Drugs
11. On
the Composition of the Bajats
12. Al-Ashribah
13. Tahzib
al-Akhlaq
14. Risalat
fi al-Lazzat wa al-Alam fi Jauhar al-Nafs
15. Ajwibat
wa As’ilat fi al-Nafs wa al-‘Aql
16. Al-Jawab
fi al-Masa’il al-Salas
17. Risalat
fi Jawab fi Su’al Ali ibn Muhammad Abu Hayyan al-Shufi fi Haqiqat al-‘Aql
18. Thaharat
al-Nafs.[10]
C.
Konsep Pemikiran Pendidikan Islam Menurut Ibnu Maskawaih
1.
Tujuan
Corak pemikiran pendidikan Ibnu Maskawaih lebih
bertedensi etis dan moral. Hal ini terlihat dari pendapatnya mengenai tujuan
pendidikan yaitu sebagai berikut:
a. Tercapainya akhlak mulia
b. Kebaikan, kebahagian, dan kesempurnaan
Menurutnya
tujuan pendidikan itu identik dengan tujuan hidup manusia maka dengan
pendidikan manusia dapat mencapai tujuannya yaitu kebaikan, kebahagian, dan
kesempurnaan.[11]
2.
Materi
Menurut Ibnu
Maskawaih yang dikutip oleh Mahmud mengatakan bahwa materi pendidikan lebih
menekankan pada materi yang bermanfaat bagi terciptanya akhlak mulia, dan
menjadikan manusia sesuai dengan esensiasinya.[12]
Mengenai urutan
yang harus diajarkan kepada perserta didik, yang pertama adalah mengenai
kewajiban-kewajiban syariat sehingga peserta didik terbiasa melaksanakannya,
yang kedua materi yang berhubungan dengan akhlak sehingga akhlak dan kualitas
terpuji telah tertanam dalam diri anak, yang ketiga yaitu meningkatkan setahap
demi setahap pada materi ilmu lainnya sehingga peserta didik mencapai tingkat
kesempurnaan.
3.
Metode
a.
Metode alami
(tabi’iy)
Ibnu Maskawaih
mengatakan bahwa ide pokok dari metode alami ini adalah dalam pelaksanaan kerja
dan proses mendidik itu berdasarkan atas pertumbuhan dan perkembangan manusia
lahir batin, dan jasmaniah dan rohaniah.
b.
Nasihat dan
tuntunan
Ibnu Maskawaih
menyatakan supaya anak menaati syariat dan berbuat baik diperlukan nasihat dan
tuntunan.
c.
Metode Hukuman
Ibnu Maskawaih
mengindikasikan banyak sekali yang dapat dilakukan dalam mendidik salah satunya
jika peserta didik tidak melaksanakan tata nilai yang telah diajarkan, mereka
diberi sanksi berbagai cara sehingga mereka kembali pada tatanan nilai yang
ada.
d.
Sanjungan dan
pujian sebagai metode pendidikan
Menurutnya
apabila peserta didik melaksanakan syariat dan berprilaku baik dia perlu
dipuji.
e.
Mendidik
berdasarkan asas-asas pendidikan
Menurutnya
mendidik harus berdasarkan asas-asas pendidikan yaitu asas kesiapan,
keteladanan, kebiasaan, dan pembiasaan. [13]
4.
Pendidik dan Peserta
Pendidik yang dalam hal ini guru,
instruktur, ustadz, atau dosen memegang peranan penting dalam keberlangsungan
kegiatan pengajaran dan pendidikan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.
Sedangkan anak didik yang selanjutnya disebut murid, siswa, peserta didik atau
mahasiswa merupakan sasaran kegiatan pengajaran dan pendidikan merupakan bagian
yang perlu mendapatkan perhatian yang seksama. Perbedaan anak didik yang
menyebabkan terjadinya perbedaan materi, metode, pendekatan dan sebagainya.[14]
Kedua aspek pendidikan (pendidik dan
anak didik) ini mendapat perhatian yang khusus dari Ibn Miskawaih. Menurutnya,
orang tua merupakan pendidik yang mula-mula bagi anak-anaknya dengan syariat
sebagai acuan utama materi pendidiknya. Karena peran yang demikian besar dari
orang tua dalam kegiatan pendidikan, maka perlu adanya hubungan yang harmonis
antara orang tua dan anak yang didasarkan pada cinta kasih. Namun demikian,
cinta seseorang terhadap gurunya, menurut Ibnu Miskawaih harus melebihi
cintanya terhadap orang tuanya sendiri.
Ibnu Miskawaih juga menyatakan bahwa
cinta itu banyak jenis, sebab dan kualitasnya. Secara umum ia membagi cinta
kepada empat bagian. Pertama, cinta yang cepat melekat tetapi juga cepat pudar.
Kedua, cinta yang cepat melekat tetapi tidak cepat meudar. Ketiga, cinta yang
melekatnya lambat tetapi pudarnya cepat pula, dan keempat cinta yang melekat
dan pudarnya lambat. Cinta yang dasarnya karena kenikmatan, termasuk cinta yang
cepat melekat dan cepat pula pudarnya. Sedangkan cinta yang dasarnya karena
kebaikan, termasuk cinta yang cepat melekat tetapi lambat pudarnya. Selanjutnya
cinta yang didasarkan atas kemanfaatan, termasuk cinta yang lambat melekatnya
dan cepat pula pudar. Sedangkan cinta yang dasarnya adalah semua jenis kebaikan
tersebut, maka melekat dan pudarnya lambat.
Adapun yang dimaksud guru biasa oleh
Ibnu Miskawaih tersebut bukan dalam arti sekedar guru formal karena jabatan.
Menurutnya, guru biasa adalah mereka yang memiliki berbagai persyaratan antara
lain: bisa dipercaya; pandai; dicintai; sejarah hidupnya jelas tidak tercemar di
masyarakat. Disamping itu, ia hendaknya menjadi cermin atau panutan dan bahkan
harus lebih mulia dari orang yang dididiknya.[15]
BAB
III
RELEVANSI
PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM IBNU MASKAWAIH DENGAN PENDIDIKAN MASA TERKINI
Menurut
Ibnu Miskawaih, pendidikan yang sistematis dapat dilaksanakan apabila didasari
dengan pengetahuan mengenai jiwa yang benar. Oleh karena itu pengetahuan
tentang jiwa adalah sangat penting sekali dalam proses pendidikan. Kajian
mengenai konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Ibnu Miskawaih, diharapkan
mampu menguak konsep pendidikan Islam dalam skala khusus, terutama pendidikan
akhlak yang dirasa penting, karena setiap budaya memiliki norma etika atau tata
susila yang harus dipatuhi. Oleh karena itu, moral merupakan suatu fenomena
manusiawi yang universal, yang hanya terdapat pada diri manusia.
Dari karya Ibnu Miskawaih, tidak di temukan
buku yang bertemakan “pendidikan” secara langsung. Hanya beberapa buku yang pembahasannya
berkaitan dengan pendidikan dan kejiwaan, akal serta etika. Salah satu buku
yang dinilai banyak mengandung konsep pendidikan ialah kitab Tahzib al-Akhlak
wa Tathhir al-A’raq, yang banyak dijadikan rujukan ulama’ dalam pendidikan.
Dari konsep pemikiran pendidikan yang disampaikan oleh Ibnu Miskawaih, jika
ditelaah dengan pendekatan epistemology secara hirarkhi, maka konsep tersebut
selalu mengacu kepada tiga hirarkhi yaitu yang mengacu kepada kondisi
psikologis dan kesiapan peserta didik, yang dipetakan menjadi tiga tingkatan
yaitu bayany untuk pemula, burhany untuk orang dewasa dan ‘irfany bagi mereka
yang telah matang baik jiwa maupun intelektual. Sementara dari segi materi dan
sasarannya juga dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu empirik bagi pemula,
logik bagi dewasa dan etik bagi yang tua.
Penerapan sistem koedukasi dalam pendidikan Islam bagi Al-Qabisy bahwa tidak baik anak pria dan wanita bercampur dalam suatu kelas, karena dikhawatirkan rusak moralnya, maka pemisahan tempat pendidikan wajib dilakukan demi terjaga keselamatan anak-anak dari penyimpangan-penyimpangan akhlak. Sedangkan Rasyid Ridha menolak adanya manfaat dari koedukasi, dan menganggap bahwa koedukasi bukan sekedar memiliki kekurangan, namun dapat mendatangkan malapetaka, utamanya kaum wanita.
Al-Qabisy mengklasifikasi kurikulum pendidikan Islam ke dalam dua bagian besar yaitu ilmu-ilmu asasi/wajib (ijbari) dan ilmu-ilmu yang bukan asasi/tidak wajib (ikhtiyariy). Dalam hal ini aspek pertama, masalah materi Alquran dan Hadis harus diajarkan dan diimpelementasikan secara asasi kepada lingkup lembaga pendidikan. Sementara aspek kedua, yakni aspek mu’amalah, diserahkan kepada komponen pelaksana/pengelola dan penanggungjawab pendidikan yang dapat dikondisionalkan
Penerapan sistem koedukasi dalam pendidikan Islam bagi Al-Qabisy bahwa tidak baik anak pria dan wanita bercampur dalam suatu kelas, karena dikhawatirkan rusak moralnya, maka pemisahan tempat pendidikan wajib dilakukan demi terjaga keselamatan anak-anak dari penyimpangan-penyimpangan akhlak. Sedangkan Rasyid Ridha menolak adanya manfaat dari koedukasi, dan menganggap bahwa koedukasi bukan sekedar memiliki kekurangan, namun dapat mendatangkan malapetaka, utamanya kaum wanita.
Al-Qabisy mengklasifikasi kurikulum pendidikan Islam ke dalam dua bagian besar yaitu ilmu-ilmu asasi/wajib (ijbari) dan ilmu-ilmu yang bukan asasi/tidak wajib (ikhtiyariy). Dalam hal ini aspek pertama, masalah materi Alquran dan Hadis harus diajarkan dan diimpelementasikan secara asasi kepada lingkup lembaga pendidikan. Sementara aspek kedua, yakni aspek mu’amalah, diserahkan kepada komponen pelaksana/pengelola dan penanggungjawab pendidikan yang dapat dikondisionalkan
BAB
IV
KESIMPULAN
Ibnu Maskawaih mengatakan ada kalanya manusia mengalami
perubahan khuluq sehingga dibutuhkan aturan-aturan syariat, nasihat, dan
ajaran-ajaran tradisi terkait sopan santun. Bahkan beliau memperhatikan pula
proses pendidikan akhlaq pada anak. Dalam pandangannya, kejiwaan anak-anak
seperti mata rantai dari jiwa kebinatangan dan jiwa manusia yang berakal.
Sementara nilai-nilai keutamaan yang harus menjadi perhatian
ialah pada aspek jasmani dan rohani. Ia pun mengharuskan keutamaan pergaulan
anak-anak pada sesamanya dan mestilah ditanamkan sifat kejujuran, qonaah,
pemurah, suka mengalah, mengutamakan kepentingan orang lain, rasa wajib taat,
menghormati kedua orang tua, serta sikap positif lainnya.
Dalam hal jiwa manusia, Ibnu Maskawaih membaginya kepada
tiga tingkatan, yakni nafsu kebinatangan, nafsu binatang buas, dan jiwa
yang cerdas. Hal ini ia jelaskan dengan ungkapan bahwa setiap manusia memiliki
potensi asal yang baik, begitu pula manusia yang memiliki potensi asal jahat.
Ibnu Maskawaih memandang penting arti pendidikan dan
lingkungan bagi manusia dalam hubungannya dengan pembinaan akhlaq. Dengan
demikian manusia dengan akalnya dapat memilih dan membedakan mana yang
seharusnya dilakukan dan mana yang harus ditinggalkan.
Pemikiran Ibnu Maskawaih dalam pendidikan tidak dapat
dilepaskan dari konsepnya tentang manusia dan akhlaq. Ibnu Maskawaih memandang
manusia sebagai makhluk yang memiliki tiga daya, dari tiga macam daya tersebut,
yang dua dari unsur materi dan yang satu dari ruh Tuhan.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul
Kholiq, dkk, Pemikiran Pendidikan Islam,
Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, Cet. I, Semarang: Pustaka Pelajar
Offset, 1999.
Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003
Azyumardi
Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan
Modernisasi Menuju Milenium Baru, Cet. IV, Jakarta: Logos Wacan Ilmu, 2002.
H.M.
Suyudi, Pendidikan dalam perspektif
Al-Qur’an, Cet. I. ( Yogyakarta; penerbit Mikraj, januari 2005).
Lihat
Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislaman: Seputar filsafat,
hukum, politik dan ekonomi Bandung: Mizan, 1993.
Mahmud, Pemikiran
Pendidikan Islam, Bandung,
Pustaka Setia, 2011.
T.
J. De Boer, The History Of Philosophy in Islam, New York: Dover Publication.
Thawil
Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Temanggung: DIMAS, 1993.
Zar,
Sirajuddin, 2010, Filsafat Islam: Fiosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada), hlm. 128-129.
[1] Azyumardi
Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan
Modernisasi Menuju Milenium Baru, Cet. IV. ( jakarta: Logos Wacan Ilmu,
2002).
[2] H.M.
Suyudi, Pendidikan dalam perspektif
Al-Qur’an, Cet. I. ( Yogyakarta; penerbit Mikraj, januari 2005).
[3] Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 2-3.
[4]
Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, (Temanggung:
DIMAS, 1993), hlm.47
[6] T.
J. De Boer, The History Of Philosophy in Islam, (New York: Dover Publication).
hlm.128.
[7]
Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, (Temanggung:
DIMAS, 1993), hlm.47.
[8]
Zar, Sirajuddin, 2010, Filsafat Islam: Fiosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada), hlm. 127-128.
[9] Lihat.
Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislaman: Seputar filsafat,
hukum, politik dan ekonomi (Bandung: Mizan, 1993), hlm 92-93.
[10]
Zar, Sirajuddin, 2010, Filsafat Islam: Fiosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada), hlm. 128-129.
[14]
Abdul Kholiq, dkk, Pemikiran Pendidikan
Islam, Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, Cet. I. ( Semarang: Pustaka
Pelajar Offset, 1999), Hlm.16.
[15] Ibid,
19-20.
izin copy ya kak, terimakasih :)
ReplyDeleteIzin share
ReplyDeleteIjin covas ya kak saya ada tugas yang sama persis
ReplyDeleteizin ya makasih sangat bermanfaat kak
ReplyDeleteIzin copas untuk keperluan tugas
ReplyDelete