PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Sejarah telah mencatat para generasi dakwah
Islam di era modern akan banyak pahlawan, dan hal tersebut telah terjadi, dan
akan terus terjadi dari mereka yang memiliki sikap dan prinsip dengan tetap
berpegang teguh pada manhaj Islam yang benar dan lurus. Jika boleh dikatakan
bahwa mereka mampu mencapai puncak hingga peringkat sebagai pengemban dan
pembawa manhaj ilahi dari generasi pertama umat Islam, dan tugas dari gerakan
Islam adalah mengenang para pahlawannya dan mengapresiasi para syuhada di
jalannya, sehingga kelak mereka menjadi panutan yang dapat memberikan
pencerahan dan petunjuk bagi generasi dakwah setelahnya, dan setiap orang yang
mengambil jalan ini. Kiranya
tidak berlebihan jika Hasan al Banna –selain dikenal sebagai tokoh pergerakan-
dia juga dikenal sebagai seorang tokoh pendidikan.
Dengan konsep pendidikannya yang menggunakan
metode yang berbeda dengan yang berkembang di Mesir dan beberapa negara islam
pada saat itu, beliau ingin menunjukka bahwa konsep pendidikannya dapat menjadi
alternatif terbaik untuk mengatasi kondisi bangsa Mesir khususnya dan umat
islam pada umumnya. Hasan al-Banna adalah seorang ilmuan dan pemikir muslim
dari mesir yang tidak sedikit kontribusinya dalam bidang pendidikan.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana pemikiran Hasan Al Banna tentang komponen
komponen dalam pendidikan Islam?
C.
Tujuan Dan Kegunaan
1.
Tujuan
a. Untuk mengetahui pemikiran Hasan Al Banna
tentang komponen komponen dalam pendidikan Islam
b. Memperdalam pemahaman tentang prinsip
pemikiran Hasan Al Banna dalam pendidikan Islam.
2.
Kegunaan
a. Menambah wawasan tentang pemikiran Hasan Al
Banna dalam pendidikan Islam
b. Memperkaya khazanah keilmuan untuk
dikembangkan selanjutnya yaitu tentang konsep pemikiran Hasan Al Banna.
PEMBAHASAN
A. Biografi Tokoh
Hasan Al Banna dilahirkan di kota kecil Mahmudiyah di
muara Sungai Nil, sembilan puluh mil di sebelah barat laut Kairo, pada tahun
1906[1].
Julukannya adalah Pembaharu Islam Abad ke-20.[2]
Ayahandanya, bernama Syeikh Ahmad Abdurrahman Al Banna, yang lebih terkenal
dengan panggilan as-Sa'ati, atau si tukang arloji. Syeikh Ahmad sehari-harinya
di samping sebagai tukang reparasi arloji juga merangkap sebagai imam masjid
dan guru agama di masjid setempat.
Hasan Al Banna lahir dari keluarga yang cukup terhormat
dan dibesarkan dalam suasana keluarga yang taat. Sebagai seorang ayah, Syeikh
Ahmad mencita-citakan putranya (Hasan) sebagai mujahid (pejuang) disamping seoarang mujaddid (pembaharu). Sejak kecil Hasan Al Banna
telah dituntut untuk menghafalkan Al-Qur‟an penuh. Baru setelah itu ia di
masukkan sekolah persiapan yang dirancang pemerintah Mesir menunit model
sekolah dasar, tanpa pelajaran bahasa asing. Dan ketika di rumah Hasan bergelut
dengan perpustakaan pribadi ayahnya, yang berisi buku agama, hukum, hadis dan
ilmu bahasa.[3]
Aktivitas dakwah Hasan al-Banna bermula ketika dia masih
seorang bocah tanggung. Pada usia 12 tahun, ia bergabung dengan Masyarakat
untuk Tingkah Laku Moral. Hal ini menunjukkan bahwa bocah kelahiran 1906 ini
sudah tertarik pada masalah-masalah keagamaan sejak usia dini.[4]
Pada usia 14 tahun (1920), Hasan Al Banna masuk sekolah guru tingkat pertama di
Damanhur. Dan dalam usia itu pula Hasan Al Banna juga menjadi anggota aktif
golongan sufi Hasafiyah, dan tetap aktif di jamiyah tersebut sampai dua puluh
tahun berikutnya. Sejak di sekolah menengah hasan sudah terpilih sebagai ketua
Jam‟iyatul Ikhwanial-adabiyah, yakni sebuah perkumpulan yang terdiri dari calon
pengarang. Ia juga mendirikan dan sebagai ketua Jam‟iyatul Man‟il Muharramat,
semacam serikat pertobatan serta pendiri dan sekretaris Jam‟iyatul Hasafiyah
Khairiyah, semacam organisasipembaharuan. Kemudian ia juga menjadi anggota
Makarimul Akhlaqil Mukarramah, yaitu Perhimpunan Etika Islam.
Pada usia enam belas
tahun, ia pergi ke Kairo untuk melanjutkan sekolah guru bahasa Arab, sebuah
lembaga pendidikan produk abadpembaharuan yang berdiri pada abad 19 dan boleh
dikatakan sebagai miniatur Al-Azhar.
Pada tahun 1927, saat usia
Hasan Al Banna mencapai 21 tahun, ia lulus dari al-Ulum dan mendapat tugas
sebagai guru Sekolah Dasar Ismailiyah markas besar Perusahaan Terusan Suez yang
dikuasai oleh Inggris.
Pada bulan Maret 1928, di
kota Ismailiyah, ia mendirikan Gerakan Ikhwanul Muslimin[5].
Dia membentuk Ikhwanul Muslimin dengan tujuan memulai gerakan revolusioner
untuk memandu bangsanya yang salah arah. Anggota Ikhwanul Muslimin adalah
orang-orang yang berdedikasi dan beriman sehingga mereka tidak akan menyimpang
dari prinsip-prinsip. Mereka mengunjungi semua rumah dan berusaha meyakinkan
penghuni rumah untuk bergabung dengan mereka dan menghindari gemerlap dunia dan
nilai-nilai Barat.[6]Gerakan
ini dalam perjalanan perjuangannya di Mesir akhirnya mengalami beberapa
hambatan dari pemerintahan Mesir sendiri, setelah kekhawatiran pemerintah atas
keterlibatan Ikhwanul Muslimin dalam agitasi dan kekerasan, tepatnya pada tahun
1948, ketika pecah perang Palestina dan peran Mesir yang mengecewakan.
Puncaknya tanggal 8 Desember 1948, dengan keluar perintah
militer yang berisi pembubaran Ikhwanul Muslimin dan cabangnya di mana saja,
menutup pusat-pusat kegiatannya, menyita koran, dokumen, majalah dan semua
publikasinya serta uang dan kekayaan Ikhwanul Muslimin. Kebijaksanaan
pemerintah tersebut juga dibarengi dengan penangkapan dan pengahalauan
para pejuang dan tokoh-tokoh Ikhwan ke kamp-kamp konsentrasi dan penjara.
Hasan Al Banna masih
mencoba mendekatkan pengertian untuk menjernihkan masalah, tapi pada tanggal 28
Desenber 1948, perdana menteri an-Nuqrasy terbunuh, dan tuduhan dialamatkan ke
kelompok Ikhwan, dan menjadikan kondisi bertambah parah. Tujuh minggu setelah
kejadian tersebut pada tanggal 12 Februari 1949, Hasan Al Banna dibunuh oleh
agen-agen dinas rahasia Mesir.[7]
Peristiwa itu terjadi pada
masa Ibrahim Abdul Hadi yang menggantikan Nuqrasy sebagai perdana menteri
dengan bekerjasama dengan istana dan agen imperialis Inggris. Setelah tewasnya
Hasan Al Banna terjadilah penangkapan dan penyiksaan serta pembunuhan
besar-besaran kepada anggota Ikhwanul Muslimin.[8]
Imam Asy-Syahid mempunyai
beberapa murid seperti, Yusuf AlQardhawi, Syaikh Mutawalli Sya‟rawi, Musthafa
As-Siba'i, Abdul Qadir Audah, Umar At-Tilmisani, Mustafa Masyhur dan
lain-lainnya. Ia mewariskan dua karya monumentalnya, yaitu Mudzakkirat
al-Dakwah wa Da‟iyyah (Catatan Harian Dakwah dan Da‟i), dan Majmu‟ah Rasail
(Kumpulan Surat-Surat). Selain itu, Hasan al-Banna mewariskan semangat dan
teladan dakwah bagi seluruh aktivis dakwah sepanjang zaman.[9]
B. Karya-Karya
Imam Hasan Al-Banna adalah seorang pendakwah Islam dan
juga tokoh pembaharuan. Hasan Al-Banna himpunkan sekumpulan orang-orang Islam
yang berwibawa serta mempunyai kesanggupan untuk hidup dan mati dalam
memperjuangkan Islam. Beliau ingin menegakkan cara hidup Islam di Mesir.
Lantaran itu, beliau menumpukan lebih banyak masanya di sudut amali gerakannya,
iaitu memberi latihan akhlak dan rohani kepada para anggota Ikhwan.
1.
Muzakirat ad-Da’awah wa-Dai’yiah
Inilah hasil karyanya yang terulung. Buku ini terbahagi
kepada dua bahagian. Bahagian pertama menyentuh kehidupan pribadinya dan
bahagian kedua pula ialah mengenai kegiatan Ikhwanul Muslimin.
2.
Risaail-Al-Imamu-Syahid.
Buku ini ialah himpunan beberapa makalah yang disusunnya
pada waktu waktu tertentu sepanjang hayatnya.
Buku ini terbahagi kepada tajuk-tajuk yang berikut:
1.
Risalatu Ta'alim.
Buku kecil ini mengandungi arahan-arahan yang diberinya
kepada mereka yang memasuki gerakan Ikhwanul Muslimin.
2.
Risalah Jihad
Makalah ini menerangkan kewajiban, kepentingan dan
kelebihan Jihad. Imam Hasan Al-Banna menulis makalah ini ketika para
sukarelawan ‘Ikhwanul Muslimin’ melancarkan Jihad terhadap Yahudi di Palestin.
Manakala ini merupakan panduan untuk para mujahidin Islam.
3.
Da’watuna Fi Taauri Jadid:
Makalah ini bermaksud ‘Dakwah kami di tahap baru’.
Makalah ini ditulis ketika gerakan Ikhwanul Muslimin sedang pesat berkembang
dan ramai para belia sedang menganggotainya.
4.
Ar-Risail Ats-Tsalaasah:
Karya Hasan Al-Banna yang ini pula terdiri daripada tiga makalah.
Tajuk makalah yang pertama ialah ‘Apakah tugas kita?’. Tajuk makalah yang kedua
ialah ‘Ke arah mana kita menyeru manusia?’. Tajuk makalah yang ketiga pula
ialah ‘Risalah Cahaya’.
5.
Perbandingan di antara yang dahulu dan sekarang.
Makalah ini ialah yang pertama sekali ditulis oleh Imam
Hasan Al-Banna. Dalam makalah ini, beliau menerangkan dasar-dasar Islam dan
ciri ciri pembaharuan ummah.
6.
Risalatul
Mu’tamarul Khamis.
Makalah ini merupakan syarahan Hasan Al-Banna di dalam
Muktamar Kelima Ikhwanul Muslimin. Dalam syarahannya ini beliau menilai kembali
pencapaian Ikhwanul Muslimin sepanjang sepuluh tahun yang lepas.
7.
Ikhwanul Muslimin di bawah panji-panji Al-Quran.
Dalam syarahan ini, matlamat dan tujuan Ikhwan telah
dijelaskan. Beliau juga membincangkan tugas serta kewajipan para belia. Makalah
ini juga mengemukakan saranan supaya dilakukan pemberontakan terhadap
kuasa-kuasa penjajah yang sedang menghancurkan masyarakat Mesir.
8.
Persoalan-persoalan negara dari segi kaca mata Islam.
Imam Hasan Al-Banna menulis makalah ini selepas
tertubuhnya negara Pakistan. Beliau membincangkan masalah masalah politik
negara Mesir dan negara-negara Islam yang lain. Turut dibincangkan ialah negara
baru Pakistan yang sedang diancam oteh India dengan bantuan pihak Kornunis.
Dalam bahagian pertama, beliau membincangkan segala
keburukan yang ada corak kerajaan waktu itu dan kemudian beliau memberi
penyelesaian kepada masalah tersebut menurut dasar dasar Islam.
Dalam bahagian kedua, dasar ekonomi diperbincangkan.
Seterusnya, beliau menghuraikan sistem ekonomi Islam dan penyelesaian kepada
masalah ekonomi Barat.
9.
Syarahan syarahan Imam Hasan AI Banna.
Buku ini mengandungi syarahan syarahan dan kuliah-kuliah
Hasan Al-Banna. Ia merupakan satu khazanah ilmu.
10.
Maqalat Hasan Al-Banna.
Buku ini ialah himpunan nasihat nasihat dan arahan arahan Imam Hasan
AlBanna kepada sahabat-sahabat dan para anggota Ikhwanul Muslimin.
11.
Al-Ma’thurat.
Buku ini ialah himpunan do’a-do’a dan zikir yang disusun
oleh Imam Hasan Al-Banna sendiri. la dibaca beramai-ramai oleh para anggota
Ikhwan sebelum solat Maghrib. Ia merupakan pembaharuan ikrar mereka kepada
Allah dalam.menjalankan dakwah Islamiah.
C.
Konsep Pemikiran Pendidikan Islam Menurut
Tokoh Hasan Al-Banna
1.
Tujuan
Pada hakekatnya tujuan pendidikan Madrasah Hasan Al Banna
merupakan suatu perwujudan dari nilai-nilai ideal yang terbentuk dalam pribadi
manusia yang dikehendaki, yang mempengaruhi dan menggejala dalam prilaku,
berorientasi untuk merealisasikan identitas Islami, yaitu , membentuk
kepribadian muslim.[10]
Hasan Al Banna sering mengatakan bahwa pendidikan (tarbiyah) adalah
upaya ikhtiari manusia untuk merubah kondusi ke arah yang lebih baik. Beliau
berkata :
“Pendidikan (tarbiyah) harus menjadi pilar kebangkitan.
Pertamatama, umat Islam harus terdidik, dengan itu akan mengerti hak-haknya
yang harus diterimanya secara utuh, dan mempelajari berbagai sarana agar dapat
memperoleh hak-hak tersebut”[11]
Mencermati kutipan di
atas, setidaknya ada tiga hal yang sangat mendasar dan perlu digarisbawahi yang
berkaitan dengan pendidikan umat Islam :
a.
Umat Islam tidak boleh menjadi umat yang bodoh, ia harus
punya pendidikan.
b.
Umat Islam harus mengetahui dan menjalankan kewajibankewajibannya,
dengan itu ia akan mengetahui akan hak-hak yang harus menjadi miliknya.
c.
Umat Islam tidak hanya dituntut punya pengetahuan
teoritis, tapi juga keterampilan (skill) sebagai saran memperoleh hal-hal yang
berkenaan dengan haknya.
2.
Materi
a. Ketuhanan.
Aspek ketuhanan atau keimanan merupakan segi terpenting
dalam pendidikan Islam[12].
Yang demikian itu karena tujuan pertama dari pendidikan Islam adalah membentuk
manusia yang beriman kepada Allah. Dalam Al-Qur'an ada ayat yang mengisyaratkan
hal ini, yaitu ayat :
$yJ¯RÎ) cqãYÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur §NèO öNs9 (#qç/$s?öt (#rßyg»y_ur öNÎgÏ9ºuqøBr'Î/ óOÎgÅ¡àÿRr&ur Îû È@Î6y «!$# 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNèd cqè%Ï»¢Á9$# ÇÊÎÈ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang
yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak
ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada
jalan Allah. Mereka Itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hujurat: 15).
Tiang pendidikan berdasar Ketuhanan adalah hati yang
hidup yang berhubungan dengan Allah Swt, meyakini pertemuan denganNya dan
hisab-Nya, mengaharapkan rahmat-Nya dan takut akan siksaNya. Hati adalah
satu-satunya pegangan yang dapat ditunjukkan oleh seorang hamba kepada Tuhannya
pada hari kiamat sebagai sarana bagi keselamatannya.
Allah Swt
berfirman:
tPöqt w ßìxÿZt ×A$tB wur tbqãZt/ ÇÑÑÈ wÎ) ô`tB tAr& ©!$# 5=ù=s)Î/ 5OÎ=y ÇÑÒÈ
Artinya : (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna,
kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yangbersih. (QS.
Asy-Syu‟ara: 88-89)
Di antara nilai-nilai pokok yang dilaksanakan oleh
pendidikan Ketuhanan Ikhwanul Muslimin adalah ibadah kepada Allah Swt. Itulah
tujuan pertama dari penciptaan manusia.
Di antara unsur-unsur pokok yang ditekankan dalam ibadah adalah :
1)
Tetap mengikuti Sunnah dan menjauhi bid'ah, sebab setiap
bid’ah adalah sesat.
2)
Mengutamakan ibadah-ibadah fardhu, sebab Allah tidak menerima
ibadah sunnah sebelum ditunaikan yang fardhu.
3)
Menggemarkan shalat berjamaah, meskipun mazhab-mazhab berbeda
pendapat mengenai hukumnya, ada yang mengatakan fardhu ain, ada yang mengatakan
fardhu kifayah dan ada yang mengatakan sunnah muakkad.
4)
Menggemarkan amalan sunnah
5)
Menggemarkan berzikir kepada Allah.
Allah Swt
berfirman :
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#râè0ø$# ©!$# #[ø.Ï #ZÏVx. ÇÍÊÈ çnqßsÎm7yur Zotõ3ç/ ¸xϹr&ur ÇÍËÈ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut
nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu
pagi dan petang.” (QS.Al- Ahzab: 41-42)[13]
b. Sempurna dan Lengkap
Sesungguhnya kesempurnaan dan kelengkapan yang menyeluruh
adalah ciri khas Islam baik dalam bidang akidah, ibadah dan hukum. Semuanya
mendapat tempat yang khas dalam bidang pendidikannya.
1) Aspek Akal
Ikhwanul Muslimin menaruh perhatian besar pada aspek ini,
sesuai dengan perhatian Islam sendiri padanya. Ayat pertama yang diturunkan
Allah kepada Muhammad Saw adalah:
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ
Artinya: “bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan.”
(QS. Al-Alaq: 1)
Berpikir dalam Islam adalah ibadah, mencari bukti adalah
wajib dan menuntut ilmu adalah fardu, sebagaimana kejumudan itu adakah keji dan
taklid adalah kejahatan. Berpikir dalam Islam adalah ibadah, mencari bukti
adalah wajib dan menuntut ilmu adalah fardu, sebagaimana kejumudan itu adakah
keji dan taklid adalah kejahatan. Islam menuntut dari seorang muslim supaya
mempunyai bukti-bukti tentang Tuhannya dan dakwahnya hendaklah berlandaskan
akal. Iman seorang mukallid tidaklah diterima dan Islam tidak membenarkan
penganutnya menjadi pengekor, berpikir dengan kepala orang lain, lalu ia
mengikuti saja tanpa pemikiran dan pengertian. Bahkan ia harus berpikir,
sendiri merenungkan dan memahami. Al-Qur‟an menempatkan ilmu lebih dahulu dari
iman dan ta‟at, kedua-duanya adalah hasil dari ilmu atau cabang daripadanya.
Demikian pendidikan Ikhwanul Muslimin yang menempatkan pember.tukan
akal atau ilmu pada tempat terdepan dalam sistemnya yang bersifat menyeluruh.
Kekeliruan kaum muslimin memahami Islam adalah akibat dua perkara penting
yaitu:
a)
Endapan-endapan masa kemunduran dan apa yang masuk ke
dalam Islam pada masa itu berupa percampur-adukan, bid'ah, dan pengertian yang
salah disebabkan penyelewengan dari mereka yang ekstrim, usaha dari mereka yang
sengaja membuat kebatilan dan penafsiran orang-orang bodoh. Dalam suasana
seperti ini taklid dan fanatik mazhab berkembang dengan subur.
b)
Pengaruh-pengaruh pertarungan pemikiran atau penjajahan
kebudayaan yang menimpa negeri-negeri Islam pada masa penjajahan asing, yang
memasukkan pengertian-pengertian baru dan pemikiran-pemikiran asing dalam
kehidupan kaum muslimin. Semua
ini dimajukan dan diperkuat melalui lembaga-lembaga pendidikan dan pengajaran
dan badanbadan ilmiah dan pengarahan.[14]
Al-Qur'an dan tafsir adalah sumber yang pertama bagi
Ikhwanul Muslimin, dengan ketentuan tafsir ulama salaf yang didahulukan atas
tafsir-tafsir lainnya. Sebab itu mereka bertumpu pada Tafsir Ibnu Katsir dan
menjadikannya sebagai sumber utama.
As-Sunnah sebagai sumber kedua, dengan ketentuan mengenai
keautentikannya dan syarahnya (penjelasannya) mereka harus berpegang pada
imam-imam Hadits yang terpercaya.
Pada akhir hayatnya, Imam Hasan Al Banna menyadari bahwa
jama‟ahnya perlu memperdalam aspek pemikiran dan ilmiah pada anggota-anggotanya
dari satu segi dan menjelaskan aspek-aspek Islam dan tujuannya kepada selain
anggota dari segi lain. Lalu beliau menerbitkan majalah bulanan Asy-Syihab
untuk mengisi kekosongan ini dan merealisasikan tujuan tersebut. Majalah ini
menggantikan majalah Al-Manar yang telah terhenti penerbitannya seelah
pemimpinnya Sayid Rasyid wafat. Kebanyakan isinya ditulis oleh Hasan Al Banna
sendiri.[15]
2) Aspek Akhlak
Di
antara aspek pendidikan yang terpenting menurut Ikhwanul Muslimin ialah aspek
kejiwaan atau akhlak. Mereka sangat mementingkan dan mengutamakannya serta
menganggapnya sebagai tonggak pertama untuk perubahan masyarakat. Imam Hasan Al
Banna menamakannya “Tongkat Komando Perubahan”, seperti tongkat yang
mengalihkan perjalanan kereta api dari satu jalur ke jalur lainnya.
Islam memandang akhlak utama sebagian daripada iman atau sebagian
dari buahnya yang matang. Sebagaimana iman, begitu pula Islam tergambar pada
keselamatan akidah dan keikhlasan beribadah, tergambar pula pada kemantapan
akhlak.
Akhlak mencakup hal yang
lebih luas dan lebih dalam dari aspek-aspek kehidupan termasuk pengendalian
diri, benar dalam perkataan, baik dalam perbuatan, amanah dalam mu'amalah,
berani dalam mengeluarkan pendapat, adil dalam memutuskan, tegas dalam
kebenaran. bulat tekad untuk kebaikan, menyuruh kepada yang ma'ruf, melarang
dari yang mungkar, antusias tehadap kebersihan, menghormati peraturan dan
tolong menolong atas kebaikan dan takwa.
Diantara hal yang paling penting yang ditanamkan oleh Ikhwanul
Muslimin ke dalam jiwa pengikutnya yaitu: Sabar, Tabah, Cita-cita, Pengorbanan.
3) Aspek Jasmani
Ikhwanul
Muslimin tidak mengabaikan aspek jasmani dalam pendidikan anggota-anggotanya.
Sebab tubuh adalah sarana manusia untuk mencapai maksudnya serta melaksanakan
kewajiban-kewajiban agama dan dunia.
Tujuan
dari pendidikan ini adalah:
a) Kesehatan badan
dan terhindarnya dari penyakit.
b) Kekuatan
jasmani dan ketrampilannya.
c) Keuletan dan
ketahanan tubuh.
Karena
itu Ikhwanul Muslimin mendirikan klub-klub olahraga, team-team kepanduan,
menyiapkan gerak jalan dan perkemahan yang bersifat rutin dan periodik sebagai
latihan yang intensif untuk hidup dalam kekurangan, tahan dan sabar di padang
pasir, didaerah pegunungan di bawah terik matahari dan udara yang sangat dingin
atau menghadapi hujan atau kurangnya air dan makanan.[16]
4) Aspek Jihad
Aspek
pendidikan Ikhwanul Muslimin yang paling menonjol adalah pendidikan jihad. Imam
Hasan Al Banna menganggap jihad sebagai salah satu rukun bai'at yang sepuluh
dan salah satu semboyan yang diteriakkan oleh jama'ah adalah kalimat “Jihad itu adalah jalan
kami dan mati pada jalan
Allah adalah cita kami yang tertinggi.”
5) Aspek Politik
Pendidikan politik madrasah Hasan Al Banna didasarkan atas sejumlah
prinsip, yaitu:
a)
Memperkuat kesadaran dan perasaan wajib membebaskan
negeri Islam dengan segala cara yang sah.
b)
Mernbangkitkan kesadaran dan perasaan atas wajibnya
mendirikan “pemerintahan Islam”,
c)
Mernbangkitkan kesadaran dan perasaan akan wajib
terwujudnya persatuan Islam. Persatuan adalah kewajiban agama dan keharusan
hidup.
3.
Metode
Menurut Hasan Al Banna, metode pendidikan harus seirama
dengan konsep dan martabat manusia sebagai khalifah Allah. Artinya, metode dan
pendekatan dalam pendidikan haruslah mencontoh prinsip prinsip Qur’ani, yaitu :
a.
Bersifat komprehensif, yaitu satu sama lain saling
mengisi.
b.
Mampu mendidik manusia untuk layak berintegrasi bagi
kehidupan dunia akhirat.
c.
Mengakui adanya kekuatan dalam diri manusia, ruh, akal,
jasmani, dan bekerja demi memenuhi kebutuhannya.
d.
Siap untuk diterapkan, artinya tidak terlalu idealis dan
mungkin diikuti dan diterapkan oleh manusia.
e.
Metode praktik, bukan sekedar teoritis.
f.
Bersifat kontinue, sesuai bagi seluruh manusia dan
berlangsung sampai manusia menemui Rabbnya.
g.
Menguasai seluruh perkembangan dalam hidup manusia,
mencapai batasan yang mampu diakses oleh manusia dengan kekuatan yang
dimilikinya.[17]
4.
Pendidik dan Peserta Didik
Tentang hubungan pendidik dengan peserta didik menurut pemikiran
Hasan Al Banna dapat terbaca dari cuplikan-cuplikan pidato dan surat-surat yang
ia kirimkan kepada anggota-anggota dan simpatisan al-Ikhwan al-Muslimin yang
selalu memakai tema al-ikhwan[18].
Kata “nahnu dengan arti “kita”, dan memakai kata kerja berawalan “nun” (fill
mudhari), seperti” na‟taqidu ( نعتق ) dengan arti kita meyakini, nunadihim dengan
arti kita ajak mereka, dan lain-lain.
Hubungan yang dekat antara
Hasan Al Banna dengan jamaahnya merupakan refleksi dari pemikirannya tentang
perlunya membangun hubungan yang erat antara murabby dengan murabba. Hubungan
antara murabby (Tuhan) dengan murabba (alam semesta) merupakan manifestasi dari
pemahamannya terhadap potongan ayat “al-hamd li Allah Rabb al- Ilamin”. Suatu
hubungan yang melambangkan kasih tanpa pilih terhadap anak-anak didik yang
notabenenya mereka berasal dari berbagai strata kehidupan dan kemampuan yang
variatif.
Kehangatan hubungan antara
seorang pendidik dengan anak didik merupakan suatu hal yang krusial yang
mestinya diwujudkan dalam pendidikan, sebab hal itu menurut sebuah penelitian
akan memberikan pengaruh positif terhadap usaha belajar siswa/anak didik.[19]
Jika dianalisis secara
seksama pemikiran Hasan Al Banna yang tertuang dalam karyanya yang cukup
monumental itu, melahirkan kesan bahwa beliau itu boleh dikatakan tidaklah
seorang teoritisi yang hanya bergelut dengan pemikifan tanpa aplikasi di dunia
nyata. la sebenarnya lebih dekat dikatakan sebagai seorang praktisi lapangan.
Implementator dari setiap gagasan yang ia petik dan ia pahami dari
isyarat-isyarat Qur’ani.
Pandangan semacam ini
identik dengan pendapat Shalaluddin Jursyi, menurutnya, Hasan Al Banna itu
lebih menonjol kemampuan memimpinnya dan mendidik umat dengan berbagai
kecakapan yang dimilikinya dan ia selalu berperan sebagai orang tua dalam
hubungannya dengan para pengikutnya.[20]
Suatu hal yang rasanya
perlu dicatat terutama bagi pengelola pendidikan terutama bagi orang-orang yang
berkiprah di dunia pendidikan. Menurut beliau, hendaklah ditangani oleh orang
yang punya kekuatan jiwa, tekad yang kuat dan semangat yang tegar. Memiliki
kesetiaan yang utuh, bersih dari sikap lemah dan jauh dari sifat munafik. Punya
sifat rela berkorban, tidak mudah diperdayakan oleh hal-hal material, dan jauh
dari sifat serakah.[21] Seluruhnya merupakan kompetensi kpribadian yang hams dimiliki
setiap individu yang bergerak dalam dunia pendidikan.
Hal yang perlu diteladani
dari pemikiran Hasan Al Banna terutama dalam hal hubungan pendidik dengan
peserta didik yang merupakan gambaran kompetensi kepribadian adalah, mendidik
dengan hati dan selalu mendoakan anak didik.
Dalam hal kelemah
lembutan, Saiful Islam anak kedua dari Hasan Al Banna-Sekjen Aliansi Advokat
dan anggota Parlemen Mesir menuturkan: “Ayah mengajari kami dengan penuhb cinta
kasih, ketulusan, kelembutan dan penuh rasa harap.”[22]
5.
Evaluasi Pendidikan Islam
Evaluasi
sebagai salah satu komponen pendidikan sasarannya adalah proses belajar
mengajar. Namun bukan berarti evaluasi itu hanya tertuju kepada hasil belajar
murid, ia juga bisa meramalkan tentang keuntungan yang diperoleh melalui
penyelenggaraan yang tepat dalam merumuskan tehnik-tehnik.[23]
Dalam pelaksanaan evaluasi, ada beberapa hal yang muncul dari
pemikiran Hasan Al Banna di antaranya yang paling penting sekali adalah kejujuran.
Untuk membentuk sifat jujur di dalm diri peserta didik, ia menerapkan sebuah
model evaluasi “al-muhasabah” sebagai sebuah metode untuk membentuk sikap
percaya diri sendiri, yaitu membuat pertanyaan-pertanyaari'yang
ditujukan oleh
seseorang kepada dirinya sendiri dan ia sendiri yang harus menjawabnya dengan
“ya” atau “tidak”. Introspeksi hanya dilakukan sendiri tidak memerlukan
pengawasan orang lain. Tujuannya adalah menanamkan kepercayaan pada diri
sendiri.[24]
Untuk membentuk jiwa yang jauh dari kecurangan, Hasan Al Banna
menanamkan keyakinan kepada mereka bahwa Allah selalu menyertai mereka.
Sedangkan dari aspek tujuan evaluasi adalah untuk menjadi sarana kenaikan
manzilah (kedudukan).
RELEVANSI PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM TOKOH HASAN AL-BANNA DENGAN PENDIDIKAN MASA TERKINI
A. Tujuan
Tujuan
pendidikan menurut Hasan Al-Banna yang menekankan pada keseimbangan antara
jasmani, akal, dan hati sangatlah sesuai dengan tujuan pendidikan pada masa
sekarang. Hal tersebut bisa dilihat dari pendidikan sekarang yang menekankan
keseimbangan antara ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Tiga strategi yang diterapkan Hasan Al-Banna untuk
mereformasi kurikulum pendidikan seperti
a.
melakukan seleksi terhadap materi-materi pelajaran,
b.
menyeleksi dan menyiapkan para guru,
c.
menyeleksi buku-buku ajar masih diterapkan sebelum
pembelajaran dimulai di era sekarang ini, hal tersebut dapat dilihat dari
persiapan seorang pendidik yang membuat RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran)
sebelum memulai proses belajar mengajar.
B.
Metode
Metode
pendidikan yang digunakan Hasan Al-Banna merupakan metode pembelajaran modern
yang pada masa sekarang masih relevan, mengingat sebagian besar dari metode
tersebut masih digunakan pada proses pembelajaran sekolah-sekolah, terutama
sekolah ideal.
Pemikiran
Hasan al-Banna dapat dikategorikan kedalam pemikiran rasional religius, yakni
mengedepankan akal dengan tetap berpegang teguh pada sumber ajaran agama yaitu
al-Qur’an dan Sunnah. Pemikiran Hasan al-Banna dalam hal pendidikan dapat
dikategorikan ke dalam aliran rekontruksionisme yaitu suatu aliran yang
berusaha mengatasi krisis kehidupan modern dengan membangun tata susunan hidup
yang baru melalu lembaga dan proses pendidikan. Adapun teori dan ide pokok kependidikan
yang ditawarkannya sangat ideal dan relevan untuk saat ini, hal ini terlihat
adanya aspek-aspek yang diterapkannya melalui pendidikan madrasah, disana
terdapat keseimbangan antara pengetahuan umum dan pendidikan agama.
KESIMPULAN
A.
Kesimpulan
Berdasarkan uaraian tersebut terlihat jelas bahwa konsep
pendidikan yang ditawarkan Ikhwan al-Muslimin sejalan dengan visi dan orientasi
perjuangannya, yaitu membebaskan masyarakat dari keterbelakangan, baik dalam
kehidupan keagamaan, ekonomi, politik, sosial, ilmu pengetahuan, maupun
kebudayaan. Dengan
demikian, Ikhwan al-Muslimin menempatkan pendidikan sebagai alat untuk
meningkatkan harkat dan martabat ummat Islam khususnya yang berada di Mesir
pada saat itu. Untuk mencapai visi dan misi tersebut, Ikhwan al-Muslimin telah
menggunakan semua jenis dan model pendidikan, dari yang bersifat formal sampai
kepada yang bersifat non formal untuk mewujudkan visi dan misinya itu.
Demikian pula berbagai metode yang
dipandang efektif dan berdaya guna dapat digunakan sebagai cara untuk
menerapkan pendidikan. Seluruh
kegiatan pendidikannya itu terlihat didasarkan pada ajaran yang terdapat dalam
Al-Qur’an dan praktek kehidupan Rasulullah dan para sahabatnya. Dalam kaitan
ini, maka Ikhwan al-Muslimin dapat digolongkan kepada kelompok sunni dan
salafi, karena selalu merujuk kepada kemurnian ajaran Islam.
[1]
Abdul Kholiq, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Ktasik dan
Kontemporer, (Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo Semarang bekerjasama dengan Pustaka Pelajar,1999). h.253.
[2]
Muhammad Sa‟id Mursi, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah.
(Jakarta; Pustaka Al-Kautsar, 2007), h. 244.
[4] Herry
Mohammad, dkk.. Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Insani Press. 2006), h. 202.
[6] M.
Atiqu) Haque, Seratus Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia, (Jogjakarta: Diglossia, 2007) h. 376.
[8]
Imam Al-Ghazali Said. Ideologi Kaum Fundamentalis, Pengamh Politik
al-Maududi Terhadap
Gerakan Jamaah islamiyyah Trans Pakistan-Mesir, (Surabaya:
Diantara, 2003), h. 167.
[11]
Utsman Abd. Al-Mu‟iz Ruslan, al-Tarbiyah al-Siyasiyyah „Ind al-Ikhwan
al-Muslimin, (Kairo: Dar al-Tauz-wa al-Nasyr al-Islamiyyah. 2000), h. 39.
[13]
Yusuf al-Qardhawi. Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna. terj.
Bustami A.
Gani,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 27-32.
[17]Ali
Abd. Halim Mahmud, Pendidikan Ruhani, terj. Abdul Hayyie al-Kattani,
(Jakarta:
Gema
Insani Press, 2000), h. 53-54.
[18]
Hasan Al-Banna. Majmu 'at Rasa „il al-Imam al-Syahid Hasan al-Banna,
(Kairo: Dar alDa'wah, 1411 H), h. 59.
[20]
Shalaluddin Jursyi, Membumikan Islam Progresif, terj. M. Aunul Abiet Syah,
(Jakarta:
Paramadina.
2004), h. 60.
[22]Muhammad
Lili Nur Aulia. Cinta di Rumah Hasan al-Banna, (Jakarta: Puslaka
Da'watuna, 2007), h. 39.
[24]
Yusuf al-Qardhawi. Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, terj.
Bustami A. Ghani. (Jakarta: Bulan Bintang), h. 33.
No comments:
Post a Comment