KEDUDUKAN
DAN
FUNGSI
PANCASILA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Materi
kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai acuan dari kepribadian bangsa Indonesia
setelah sebelumnya mempelajari jati diri kebangsaan dan komitmen kebangsaan
yang harus dimiliki oleh setiap bangsa.
Materi
fungsi dan kedudukan Pancasila merupakan salah bagian penting yang harus
dikuasai karena merupakan filosofi fundamental yang harus dipahami
mahasiswa-mahasiswi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Pancasila
Secara historis, proses perumusan dasar negara Indonesia diawali
dengan dibentuknya BPUPKI yang mulai bersidang pada tanggal 29 Mei 1945. Sidang
pertama, pada tanggal 29 Mei - 1 Juni 1945 untuk membicarakan dasar Indonesia
Merdeka (philosofi sche grondslag dari Indonesia Merdeka), yang kemudian
menghasilkan naskah penting yang disebut Piagam Jakarta. Sidang BPUPKI yang
kedua diselenggarakan tanggal 10 - 17 Juli 1945.
Pada tanggal 14 Juli 1945, Piagam Jakarta diterima oleh BPUPKI
sebagai pembukaan dari Rancangan Undang-undang Dasar yang dipersiapkan untuk
negara Indonesia merdeka. Pancasila dirumuskan oleh BPUPKI yang kemudian
setelah diadakan beberapa perubahan disahkan sebagai dasar negara RI oleh PPKI
yang telah dibentuk pada tanggal 9 Agustus 1945. Bagi bangsa dan negara
Indonesia, hakekat dari Pancasila yaitu sebagai Pandangan Hidup bangsa dan sebagai
Dasar Negara.
Pancasila dalam pengertian sebagai pandangan hidup sering juga
disebut way of life, pegangan hidup, pedoman hidup, pandangan dunia, petunjuk
hidup. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dipergunakan sebagai petunjuk
arah semua kegiatan atau aktivitas dalam kehidupan sehari- hari. Artinya,
setiap sikap dan perilaku manusia Indonesia harus dijiwai dan merupakan
pancaran dari nilai-nilai Pancasila.
Mengamalkan Pancasila sebagai pandangan hidup berarti melaksanakan
Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, dan menggunakannya sebagai petunjuk
hidup sehari-hari.
Sebagai
dasar negara, Pancasila dijadikan sebagai dasar negara atau ideologi negara
yang berarti bahwa Pancasila dipergunakan sebagai dasar untuk mengatur
penyelenggaraan Negara. Sebagai landasan untuk menyelenggarakan negara,
Pancasila ditafsirkan dalam bentuk aturan yaitu pasal-pasal yang tercantum
dalam UUD 1945.
Berdasarkan uraian di atas, maka Pancasila mempunyai fungsi pokok
sebagai Dasar Negara, sesuai dengan pembukaan UUD 1945, dan yang pada
hakekatnya adalah sebagai sumber dari segala sumber hukum dalam kehidupan
bernegara Indonesia. Pengertian tersebut merupakan pengertian Pancasila yang
bersifat yuridis ketatanegaraan. Dalam hubungannya dengan masalah nilai, dapat
dikatakan bahwa nilai-nilai Pancasila mempunyai sifat objektif[1]
dan subjektif[2].
B.
Kedudukan Pancasila
Pancasila Sebagai Dasar Negara Republik Indonesia, Pancasila dalam
kedudukannya ini sering disebut sebagai Dasar Filsafat atau Pendidikan
Kewarganegaraan. Dasar Falsafah Negara (philosifi sche Gronslag) dari negara,
ideologi negara atau (staasidee). Dalam pengertian ini Pancasila merupakan
suatu dasar nilai serta norma untuk mengatur pamerintah negara atau dengan lain
perkataan Pancasila merupakan suatu dasar untuk mengatur penyelenggaraan negara.
Konsekuensinya seluruh pelaksanaan dan penyelenggaraan negara terutama
segala peraturan perundang-undangan termasuk proses reformasi dalam segala
bidang dewasa ini, dijabarkan dan diderivasikan dari nilai-nilai Pancasila .
Maka Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum, Pancasila merupakan
sumber kaidah hukum negara secara konstitusional mengatur negara republik
Indonesia beserta seluruh unsur-unsurnya yaitu rakyat, wilayah, serta
pemerintahan negara.
Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara tersebut dapat dirincikan
sebagai berikut.
1.
Pancasila
sebagai dasar negara adalah merupakan sumber dari segala sumber hukum (sumber
tertib hukum) Indonesia. Dengan demikian Pancasila merupakan asas kerohanian
tertib hukum Indonesia yang dalam pembukaan UUD 1945 dijelmakan lebih lanjut
kedalam empat pokok pikiran.
2.
Meliputi
suasana kebatinan (Giestlichenhintergrund) dari UUD 1945.
3.
Mewujudkan
cita-cita hukum bagi hukum dasar negara (baik hukum dasar tertulis maupun tidak
tertulis).
4.
Memandang
norma yang mengharuskan UUD mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan
lain-lain penyelenggara negara (termasuk para penyelenggara partai dan golongan
fungsional) memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Hal ini sebagai
mana tercantum dalam pokok pikiran keempat yang bunyinya sebagai berikut: “….. Negara
berdasarkan asas Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut dasar Kemanusiaanyang Adil
dan Beradab.”
5.
Merupakan
sumber semangat bagi UUD 1945, bagi penyalenggara negara, para pelaksanaan pemerintah
(juga para penyalenggaraan partai dan golonggan fungsional). Hal ini dapat
dipahami karena semangat adalah penting bagi pelaksanaan dan penyelenggaraan
negara, kerena masyarakat dan negara Indonesia senentiasa tumbuh dan berkembang
seiring dengan perkembangan zaman dan dinamika masyarakat. Dengan semangat yang
bersumber pada asas kerohanian negara sebagai pandangan hidup bangsa, maka
dinamika masyarakat dan negara akan tetap diliputi dan disahkan asas kerohanian
negara.
Dasar formal kedudukan Pancasila sebagai dasar negara Republik
Indonesia tersimpul dalam pembukaan UUD 1945 alinea IV yang berbunyi sebagai berikut:
“……..maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam UUD Negara
Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan Kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,
kemanusiaan yang adil dan beradap, persatuan Indonesia, kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Sebagai mana telah ditentukan oleh pembentukan negara bahwa tujuan utama
dirumuskannya Pancasila adalah sebagai dasar negara republik Indonesia. Oleh
karena itu fungsi pokok Pancasila adalah sebagai dasar negara republik
Indonesia. Hal ini sesuai dengan dasar yuridis sebagai mana tercantum dalam
pembukaan UUD 1945, ketetapan No XX/MPRS/1966. ( ketetapan MPR No.V/MPR/1973 dan
ketetapan No. IX/MPR/1978).
Di jelaskan bahwa Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum
atau sumber tertib hukum Indonesia yang pada hakikatnya adalah merupakan suatu
pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita moral yang
meliputi suasana kebatinan serta watak dari bangsa Indonesia. Pancasila sebagai
dasar negara harus dijadikan pijakan oleh semua pemegang roda pemerintahan dalam
menjalankan tugasnya harus mencerminkan nilai–nilai Pancasila.
Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, dalam
perjuangan untuk mencapai kehidupan yang lebih sempurna, senantiasa memerlukan nilai-nilai
luhur yang dijunjungnya sebagai suatu pandangan hidup. Nilai-nilai luhur adalah
merupakan suatu tolak ukur kebaikan yang berkenaan dengan hal-hal yang bersifat
mendasar dan abadi dalam hidup manusia, seperti cita-cita yang hendak
dicapainya dalam hidup manusia.
Sebagai makhluk individu dan makhluk sosial manusia tidaklah
mungkin memenuhi segala kebutuhanya sendiri, oleh karena itu untuk
mengembangkan potensi kemanusiaannya, ia senantiasa memerlukan orang lain.
Dalam pengertianinilah maka manusia pribadi senantiasa hidup sebagai bagian
dari lingkungan sosial yang lebih luas, secara berturut-turut lingkungan
keluarga, lingkungan masyarakat, lingkungan bangsa dan lingkungan negara yang
merupakan lembaga-lembaga mayarakat utama yang diharapkan dapat menyalurkan dan
mewujudkan pandangan hidupnya.
Dengan demikian dalam kehidupan bersama dalam suatu negara
membutuhkan suatu tekad kebersamaan, cita-cita yang ingin dicapainya yang
bersumber pada pandangan hidup tersebut.
Ideologi pada suatu bangsa pada hakikatnya memiliki ciri khas serta
karakteristik masing-masing sesuai dengan sifat dan ciri khas bangsa itu sendiri.
Namun demikian itu dapat terjadi bahwa ideologi pada sesuatu bangsa datang dari
luar dan dipaksakan keberlakuannya pada bangsa tersebut sehinga tidak
mencermikan kepribadian dan karakteristik tersebut.
Ideologi Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia berkembang
melalui suatu proses yang cukup panjang. Pada awalnya secara kausalitas[3]
bersumber dari nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yaitu dalam
adat-istiadat, serta dalam agama-agama bangsa Indonesia sebagai pandangan hidup
bangsa.
Transformasi pandangan hidup masyarakat menjadi pandangan hidup
bangsa dan ahirnya menjadi dasar negara juga terjadi pada pandangan hidup
Pancasila . Pancasila sebelum dirumuskan menjadi dasar negara serta ideologi
negara, nilai-nilainya telah terdapat pada bangsa Indonesia dalam adat-istiadat,
dalam budaya serta dalam agama-agama sebagai pandangan hidup masyarakat
Indonesia.
Pandangan yang ada pada masyarakat Indonesia tersebut kemudian
menjelma menjadi pandangan hidup bangsa yang telah terintis sejak zaman
Sriwijaya, Majapahit kemudian Sumpah Pemuda 1928. Kemudian diangkat dan
dirumuskan oleh para pendiri negara dalam sidang-sidang BPUPKI, Panitia
“Sembilan”, serta sidang PPKI kemudian menentukan dan menyepakati sebagai dasar
negara Republik Indonesia. Dalam pengertian inilah maka Pancasila sebagai pandangan
hidup negara dan sekaligus sebagai ideologi Negara.
Dengan demikian pandangan hidup Pancasila bagi bangsa Indonesia
yang Bhinneka Tunggal Ika tersebut harus merupakan asas pemersatu bangsa
sehingga tidak boleh mematikan keanekaragaman.
Sebagai inti sari dari nilai budaya masyarakat Indonesia, maka
Pancasila merupakan cita-cita moral bangsa yang memberikan pedoman dan kekuatan
rohaniah bagi bangsa untuk berperilaku luhur dalam kehidupan seharihari dalam
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Manusia dalam merealisasikan dan
meningkatkan harkat dan martabatnya tidaklah mungkin untuk dipenuhinya sendiri,
oleh karena itu manusia sebagai makhluk sosial senantiasa membutuhkan orang
lain dalam hidupnya.
Dalam pengertian inilah manusia membentuk suatu persekutuan hidup yang
disebut negara. Namun demikian dalam kenyataannya sifat-sifat negara satu
dengan yang lainnya memiliki perbedaan dan hal ini sangat dibutuhkan oleh
pemahaman ontologis[4]
hakikat manusia sebagai pendukung pokok negara sekaligus tujuan adanya suatu
negara. Pancasila sebagai pandangan hidup semua elemen bangsa Indonesia dalam
bertingkah laku.
C.
Fungsi Pancasila
Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa dan Negara Indonesia Sebagai
suatu ideologi bangsa dan negara Indonesia maka Pancasila pada hakikatnya bukan
hanya merupakan suatu hasil perenungan atau pemikiran seseorang atau sekelompok
orang sebagai mana ideologi-ideologi lain di dunia, namun Pancasila diangkat
dari nilai-nilai adat-istiadat, nilai-nilai kebudayaan serta nilai-nilai
religius yang terdapat dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia sebelum
membentuk negara.
Dengan kata lain, unsu-runsur yang merupakan materi (bahan) Pancasila
sesungguhnya diangkat dari pandangan hidup masyarakat Indonesia sendiri,
sehingga bangsa ini merupakan Kuasa Materialis (asal bahan ) Pancasila .
1.
Pengertian Ideologi
Istilah ideologi berasal dari kata idea yang berarti gagasan,
konsep, pengertian dasar, cita-cita, dan
logos yang berarti Ilmu dan kata idea berasal dari bahasa Yunani eidos yang
artinya bentuk. Di samping itu ada kata idein yang artinya melihat. Maka secara
harfiah, ideologi ilmu pengertian-pengertian dasar. Dalam pengertian sehari-hari,
ide disamakan artinya dengan cita-cita. Cita-cita yang dimaksud adalah
cita-cita yang bersifat tetap yang harus dicapai, sehingga cita-cita yang bersifat
tetap itu sekaligus merupakan dasar, pandangan atau faham.
Memang pada hakikatnya, antara dasar dan cita-cita itu sebenarnya
dapat merupakan satu kesatuan. Dasar ditetapkan karena atas dasar landasan,
asas atau dasar yang telah ditetapkan pula. Dengan demikian ideologi mencakup
pengertian tentang idea-idea, pengertian dasar, gagasan-gagasan dan cita-cita.
Apabila ditelusuri secara historis istilah ideologi pertama kali
dipakai dan dikemukakan oleh seorang perancis, Destutt de Tracy, pada tahun
1976. Seperti halnya Leibniz, de Tracy mempunyai cita-cita untuk membanggun
suatu sistem pengetahuan. Apabila Leibniz menyebutkan impiannya sebagai “one
great system of truth” dimana tergabung segala cabang ilmu dan segala kebenaran
ilmiah, mak De Tracy menyebutkan “ideologie” yaitu “scieence of ideas”, suatu
program yang diharapkan dapat membawa perobahan Internasional dalam masyarakat
perancis. Namun Napoleon mencemoohkannya sebagai khayalan belaka, yang tidak
mempunyai arti praktis. Hal semacam itu hanya impian belaka yang tidak akan
menemukan kenyataan.
Pengertian “Ideologi” secara umum dapat dikatakan sebagai kumpulan
gagasan-gagasan, ideide, keyakinan-keyakinan, kepercayaan-kepercayaan, yang
menyeluruh dan sistematis, yang menyangkut: (a) bidang politik (termasuk
didalamnya bidang pertahana dan keamanan), (b) bidang sosial, (c) bidang
kebudayaan, dan (d) bidang keagamaan (Soejono Soemargono, 1986). Dengan
demikian suatu negara tidak mempunyai ideologi tertentu akan mudah diombang
ambingkan oleh negara lain.
2.
Ideologi Terbuka dan Ideologi Tertutup
Ideologi sebagai suatu sistem pemikiran (system of thought), maka
ideologi terbuka itu merupakan suatu sistem pemikiran terbuka. Sedangkan
ideologi tertutup itu merupakan suatu pemikiran tertutup. Suatu ideologi
tertutup dapat dikenali dari beberapa ciri khas Ideologi itu bukan cita-cita
yang sudah hidup dalam masyarakat, melainkan merupakan cita-cita suatu kelompok
orang yang mendasari suatu program untuk mengubah dan membaharui masyarakat dengan
demikian menjadi ciri ideologi tertutup bahwa atas nama ideologi dibenarkan
pengorbanan-pengorbanan yang dibebankan kepada masyarakat.
Demi ideologi masyarakat harus berkorban, dan kesediaan untuk menilai
kepercayaan ideologis para warga masyarakat serta kesetiannyamasing-masing
sebagai warga masyarakat. Jadi ciri khas ideologi tertutup adalah bahwa
betapapun besarnya perbedaan antara tuntunan berbagai ideologi yang
memungkinkan hidup dalam masyarakat itu, akan selalu ada tuntunan mutlak
bahwa orang akan selalu taat kepada ideologi tersebut.
Ciri ideologi terbuka adalah bahwa nilai-nilai dan
cita-citanya tidak dipaksakan dari luar, moral dan budaya masyarakat itu
sendiri. Sebagai catatan pada rezim Orde Baru masih menggunakan ideologi
tertutup yang pada akhirnya proses ideologisasi dalam rangka
penyejahteraan masyarakat terjadi desideologi dalam arti terpaku pada
kepentingan politik kekuasaan.
3.
Ideologi Partikular dan Ideologi Komprehensif
Dari segi sosiologis, pengertian ideologi dikembangkan oleh Karl
Mannheim yang beraliran Marx. Mannheim membedakan dua macam kategori
ideologi secara sosiologis, yaitu ideologi yang bersifat partikular dan
ideologi yang bersifat komprehensif. Kategori pertama diartikan sebagai
suatu keyakinankeyakinan yang tersusun secara sistematis terkait erat
dengan kepentingam suatu kelas sosial tertentu dalam masyarakat.
Kategori kedua diartikan sebagai suatu sistem pemikiran menyeluruh
mengenai suatu aspek kehidupan sosial. Idieologi dalam kategori kedua
ini bercita-cita melakukan transformasi sosial secara besar-besaran
menuju bentuk tertentu.
4.
Hubungan Antara Filsafat dan Ideologi
Filsafat sebagai pandangan hidup pada hakikatnya merupakan suatu
sistem nilai yang secara epistemologis kebenarannya telah diyakini. Sehingga
bisa dijadikan dasar atau pedoman bagi manusia dalam memandang realitas alam
semesta, manusia, masyarakat, bangsa dan negara, tentang makna hidup serta
sebagai dasar dan pedoman bagi manusia dalam menyelesaikan masalah yang
dihadapi dalam hidup dan kehidupan.
Ideologi dapat diartikan sebagai operasionalisasi dari suatu
pandangan atau filsafat hidup dan merupakan norma ideal yang melandasi
ideologi, karena norma itu akan dituangkan dalam perilaku, juga dalam
kelembagaan sosial, politik, ekonomi, pertahanan keamanan dan sebagainya. Jadi
filsafat sebagai sumber dan sumber bagi perumusan ideologi yang juga menyangkut
strategi dan doktrin, dalam dalam menghadapi masalah yang timbul di dalam kehidupan
bangsa dan negara, termasuk didalamnya menentukan sudut pandang dan sikap dalam
menghadapi aliran atau sistem filsafat yang lain.
5.
Makna Ideologi bagi Bangsa dan Negara
Pada hakikatnya ideologi adalah hasil refleksi manusia berkat kemampuannya
mengadakan distansi terhadap dunia kehidupannya. Maka terdapat suatu yang
bersifat dialektis antara ideologi dengan masyarakat negara. Di suatu pihak
membuat ideologi semakin realistis dan pihak yang lain mendorong masyarakat
mendekati bentuk yang ideal. Ideologi mencerminkan cara berpikir masyarakat,
bangsa maupun negara, namun juga membentuk masyarakat menuju cita-citanya.
Dengan demikian ideologi sangat menentukan eksistensi suatu bangsa dan negara
untuk mencapai tujuannya melalui berbagai realisasi pembangunan. Hal ini
disebabkan dalam ideologi terkandung suatu orientasi praktis.
6.
Pancasila Sebagai Ideologi yang Reformatif, Dinamis dan Terbuka
Pancasila sebagi suatu ideologi tidak bersifat kaku dan tertutup,
namun bersifat reformatif, dinamis dan terbuka. Hal ini dimaksudkan bahwa ideologi
Pancasila besifat aktual, dinamis, antisifasif dan senentiasa mampu menyelesaikan
dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi serta dinamika
perkembangan aspirasi masyarakat. Keterbukaan ideologi Pancasila bukan berarti
mengubah nilai-nilai dasar yang terkandung didalamnya, namun mengeksplisitkan
wawasannya lebih kongkrit, sehingga memiliki kemampuan yang reformatif untuk
memecahkan masalah-masalah aktual yang senentiasa berkambang seiring dengan
aspirasi rakyat, perkembangan iptek dan zaman.
Berdasarkan pengertian tentang ideologi terbuka tersebut
nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila sebagai ideologi terbuka
adalah sebagai berikut.
1.
Nilai
dasar,
yaitu hakikat
kelima Pancasila: ketuhanan, kemanusian, persatuan, kerakyatan, keadilan. Nilai
dasar tersebut adalah esensi dari nilai-nilai Pancasila yang bersifat
universal, sehingga dalam nilai tersebut terkandung cita-cita, tujuan serta
nilai-nilai yang baik dan benar. Nilai ideologi tersebut tertuang di dalam
pembukaan UUD 1945, yang memuat nilai-nilai dasar ideologi Pancasila. Sehingga
UUD 1945 merupakan suatu norma dasar yang merupakan tertib hukum tertinggi,
sehingga sumber hukum positif sehingga didalam negara memiliki kedudukan
sebagai staatsfundamentalnorm atau pokok kaedah negara yang fundamental.
2.
Nilai
instrumental,
yang merupakan
arahan, kebijakan, strategi, saran, serta lembaga pelaksanaannya. Nilai
intsrumental ini merupakan eksplisitasi, penjabaran lebih lanjut dari
nilai-nilai dasar ideologi Pancasila . Misalnya GBHN yang lima tahun senantiasa
disesuaikan dengan perkembangan zaman serta aspirasi masyarakat, undangundang, departemen-departemen,
sebagai lembaga pelaksanaan dan lain sebagainya. Pada aspek ini senentiasa
dapat dilakukan perubahan (reformatif).
3.
Nilai
praktis,
yaitu nilai-nilai realisasi
intrumental dalam suatu realisasi pengalaman yang bersifat nyata, dalam
kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, bangsa dan negara. Dalam realisasi
praktis inilah maka penjabaran nilai-nilai Pancasila senantiasa berkembang dan
selalu dapat dilakukan perubahan dan perbaikan (reformasi) sesuai dengan perkembangan
zaman ilmu pengetahuan dan teknologi serta aspirasi masyarakat (Kaelan, 2002:
120).
Pancasila sebagai ideologi terbuka secara struktural memiliki tiga
dimensi yaitu:
1.
Dimensi
idealistis,
yaitu nilai-nilai dasar yang terkandung didalam Pancasila yang
bersifat sistematis, rasional dan menyeluruh, yaitu hakikat nilai-nilai yang
terkandung dalam sila-sila Pancasila yaitu: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan dan keadilan. Hakikat nilai-nilai Pancasila tersebut bersumber pada
filsafat Pancasila (nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam Pancasila).
2.
Dimensi
normatif,
yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila perlu dijabarkan
dalam suatu sistem norma-norma kenegaraan. Dalam pengertian ini Pancasila
terkandung dalam pembukaan UUD 1945 yang merupakan norma tertib hukum tertinggi
dalam negara Indonesia serta merupakan staatsfundamentalnorm (pokok kaidah
negara yang fundamental).
3.
Dimensi
realistis, yaitu suatu ideologi harus mampu mencerminkan realitas yang hidup
dan berkembang dalam masyarakat. Oleh karena itu Pancasila selain memiliki
nilai-nilai ideal serta normatif maka Pancasila harus mampu dijabarkan dalam
kehidupan masyarakat secara nyata baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam
penyalenggaraan negara.
Dengan demikian Pancasila sebagai ideologi terbuka tidak bersifat “utopis”
yang hanya berisi ide-ide yang bersifat mengawang melainkan suatu ideologi yang
bersifat “realistis” artinya mampu dijabarkan dalam segala aspek kehidupan
nyata (Kaelan, 2002: 122).
7.
Pancasila Sebagai Jiwa dan Kepribadian Bangsa
Sebagai sebuah konsensus nasional, Pancasila merupakan sebuah
pandangan hidup Indonesia yang terbuka dan bersifat dinamis. Sifat keterbukaan
Pancasila dapat dilihat pada muatan Pancasila yang merupakan perpaduan antara
nilai-nilai ke-Indonesiaan yang majemuk dan nilai-nilai yang bersifat
universal. Universalitas Pancasila dapat dilihat pada semangat ketuhanan (sila
pertama); kemanusiaan, keadilan dan keadaban (sila ke dua); dan keadilan sosial
(sila ke lima) dan sekaligus ke-Indonesiaan (sila ke tiga) dan semangat gotong
royong (sila ke empat).
Kelima kandungan sila Pancasila pada dasarnya merupakan semangat zaman
yang meliputi hampir semua negara jajahan yang tengah memperjuangkan diri dari
penindasan kaum penjajah. Mencermati fenomena maraknya isu-isu keadilan,
politik, ekonomi, dan HAM di negara-negara berkembang, khususnya di kalangan
negara-negara bekas jajahan, semangat Pancasila masih sangat relevan dijadikan
sebagai semangat perjuangan kemanusiaan bangsa Indonesia untuk menunjukkan
sebagai bangsa yang mandiri dan memiliki karakter kuat sebagai bangsa yang menjunjung
tinggi semangat persamaan, keadilan, dan keadaban dengan tetap mempertahankan
kesatuan sebagai sebuah keluarga bangsa yang majemuk.
Bersandar pada pandangan ini, lahirnya sikap dan pandangan yang
mempertentangkan demokrasi dengan Pancasila sama sekali merupakan sesuatu yang
ahistoris. Namun demikian, pandangan yang mempertentangkan Pancasila dengan
demokrasi tidak lepas dari penyimpangan-penyimpangan politik atas Pancasila
yang dilakukan oleh kekuasaan sebelumnya: Orde Lama dan Orde Baru. Jika
presiden Soekarno dengan Dekrit Presidennya telah menjadikan dirinya sebagai
pusat kekuasaan dan sumber kekuasaan yang otoriter yang bertentangan dengan semangat
kerakyatan dan demokrasi yang diamanatkan Pancasila, Presiden Soeharto dengan
demokrasi Pancasilanya justru telah menjadikan Pancasila sebagai alat kekuasaan
politik semata.
Sepanjang Orde Baru, Pancasila telah dijadikan alat untuk
membungkam suara kedaulatan rakyat dengan atas nama pembangunan nasional. Orde Baru
juga telah melakukan penyeragaman tafsir atas Pancasila yang disebarluaskan
melalui penataran dan pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi. Ironisnya,
pada saat yang sama Orde Baru melakukan tindakantindakan yang sama sekali
bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila yang tertuang dalam Eka
Prasetya Pancakarsa.
Tindakan represif, korupsi, kolusi, nepotisme, dan penyalahgunaan
hukum di kalangan pejabat pemerintahan adalah di antara sekian banyak
penyalahgunaan Pancasila yang dilakukan oleh penguasa Orde Baru. Dampak
langsung dari manipulasi atas dasar negara Pancasila, adalah lahirnya sikap
antipati (phobia) atas Pancasila.
Seiring dengan lengsernya Orde Baru, telah lahir sikap dan
pandangan baru di kalangan warga negara Indonesia terhadap dasar negara
Pancasila. Tuntutan demokrasi dan penegakan HAM yang disuarakan oleh kalangan tokoh
reformasi berdampak pada sikap dan pandangan mempertentangkan Pancasila dan
demokrasi. Pancasila dinilai sebagai simbol ketidakadilan, pelanggaran HAM, dan
penyelewengan kekuasaan Orde Baru, sementara demokrasi sesungguhnya identik
dengan keadilan, persamaan, penghormatan terhadap HAM, dan taat hukum.
Hal yang patut disayangkan adalah, alih-alih bersikap kritis dan
selektif atas penyimpangan Pancasila oleh Orde Baru, pada umumnya masyarakat
masih memahami demokrasi lebih sebgai legitimasi untuk kebebasan bertindak
anarkis, main hakim sendiri, memaksakan kehendak kelompok atas kelompok lain
daripada kebebasan yang bertanggung jawab. Akibat penyalahgunaan Pancasila oleh
Orde Baru, Pancasila yang seyogianya dapat kembali menjadi “perekat” komponen bangsa
yang heterogen justru menjadikan tercerai berai.
Reformasi yang sejatinya merupakan keberlangsungan menuu kedewasaan
menjadi sebuah bangsa yang besar dan perubahan menuju tatanan nasional yang
lebih baik (continuity and changes), sebaliknya ia telah menjelma laksana bola
api panas yang menggelinding tanpa kendali. Ironisnya, reformasi banyak pula
dipahami oleh sebagian kalangan sebagai tindakan yang berlawanan dengan
demokrasi dan nilai-nilai luhur Pancasila , seperti maraknya tindakan korupsi
dan politik uang (money politic) yang dilakukan oleh elit-elit baru buah dari
gerakan reformasi.
Tidak berlebihan jika lahir pernyataan apatis bahwa reformasi telah
mati muda atau reformasi kebablasan. Hal ini terjadi lantaran reformasi yang
sejatinya perbaikan kehidupan berbangsa menuju yang lebih baik dan bermanfat,
ia telah diselewengkan oleh “penumpang gelap” reformasi untuk tujuan-tujuan
yang bertolak belakang dengan demokrasi, HAM, dan pembangunan masyarakat madani.
Sebagai sebuah karya luhur anak bangsa, Pancasila selayaknya ditempatkan
secara terhormat dalam khazanah kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.
Posisinya sebagai panduan nilai dan pedoman bersama (common platform) untuk
mewujudkan tujuan atau kesejahteraan bersama bangsa Indonesia, Pancasila tidak
bisa digantikan oleh pandanganpandangan sektarian mana pun, yang berpotensi
mengancam keutuhan Indonesia sebagai sebuah bangsa dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Akhirnya, Pancasila sebagai jiwa bangsa sudah melekat pada hati
nurani bangsa sejak lahir. Selain Pancasila sebagai kepribadian bangsa selalu dikagumi
dan disegani bangsa karena kepribadiannya yang khas (moral etis).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Kedududukan
pokok Pancasila adalah sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa
Indonesia.
2.
Pancasila
sebagai dasar negara adalah sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.
3.
Pancasila
sebagai pandangan hidup bangsa berarti Pancasila sebagai ideologi bangsa yang
telah diakui kebenarannya oleh bangsa Indonesia.
4.
Fungsi
pokok Pancasila sebagai ideologi bangsa dan jiwa serta kepribadian bangsa Indonesia.
Daftar
Pustaka
Abdulgani,
Ruslan.1998. Pancasila : Perjalanan Sebuah Ideologi. Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia bekerja sama dengan FKN-Alumni GMNI.
Darmodiharjo,
Dardji. 1995/1996. Pengertian Nilai-nilai, Norma, Moral, Etika, Pandangan
Hidup. Jakarta: BP-7 Pusat
Darmodihardjo,
Dardji, dkk. 1981. Santiadji Pancasila . Surabaya: Usaha Nasional
Jarmanto,
1982. Pancasila Suatu: Tinjauan Aspek Historis dan Sosiopolitis. Edisi 1.
Yogyakarta: Liberty.
Kaelan.
2001. Pendidikan Pancasila . Yogyakarta: Penerbit Paradigma.
Notosusanto,
Nugroho. 1981. Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara. Jakarta: PN Balai
Pustaka.
Notonagoro.
1974. Pancasila Dasar Filsafat Negara. Jakarta: Pantjuran Tujuh
Notonagoro
. 1980. Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila . Jakarta: Pantjuran Tudjuh.
Oesman,
Oetojo dan Alfian. 1992. Pancasila sebagai Ideologi. Jakarta: BP 7
Purbopranoto,
Kuntjoro. 1992. Hak-Hak Azasi Manusia dan Pancasila . Jakarta: PradnyaParamita.
Soeprapto,M.Ed.
1996. Pancasila sebagai Ideologi Terbuka dalam Menghadapi Liberalisasi
Perdagangan Internasional. Jakarta: PT. Citraluhur Tata.
Suwarno,
P.J. 1993. Pancasila Budaya Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Sunoto,
1985. Mengenal Filsafat Pancasila , Pendekatan melalui: Metafisika , Logika,
Etika. Yogyakarta: Penerbit PT Haninda.
Yunarti,
D. Rini, dan Anhar Gonggong. 2003. BPUPKI, PPKI, Proklamasi Kemerdekaan RI.
Jakarta: Kompas.
[1] objektif sikap yang lebih pasti, bisa diyakini
keabsahannya, tapi bisa juga melibatkan
perkiraan dan asumsi. Dengan didukung dengan fakta/data.
perkiraan dan asumsi. Dengan didukung dengan fakta/data.
[2] Subjektif adalah lebih kepada keadaan dimana
seseorang berpikiran relatif, hasil dari menduga duga, berdasarkan perasaan
atau selera orang.
[3]
Perihal kausal; perihal sebab
akibat: kalau kita hendak berbuat sesuatu, harus kita perhatikan hukum
terima kasih
ReplyDeletenama pembuat siapa?
ReplyDelete