AKHLAK BERNEGARA
A. Pendahuluan
Umat manusia tentunya
menginginkan surga sebagai tempat tujuan. Untuk mencapai surga, kita harus
melewatinya di kehidupan duniawi ini. Mencari pahala sebanyak-banyaknya dengan
menjalankan semua perintahnya dan menjauhi segala larangan. Walaupun manusia tidak
sempurna, tetapi tidak ada salahnya jika kita sebagai manusia mempelajari hal
apa saja yang menjadi perintah Allah dan apa saja yang dilarang Allah.
Salah satu dari
berbagai hal yang harus kita pelajari adalah akhlaq. Banyak akhlak di dalam
islam yang harus kita pelajari agar bisa dilaksanakan dikehidupan nyata.
Terdapat banyak akhlak yaitu Akhlak kepada Allah, Akhlak kepada
Rasulullah,Akhlak kepada Kedua Orang Tua dan Guru,Akhlak kepada Diri
Sendiri,Akhlak di Tengah Masyarakat,Akhlak terhadap Lingkungan,Akhlak dalam
Bernegara. Dan masih banyak lagi. semua akhlak harus kita tahu
batasan-batasannya, yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Semua akhlak penting,
karena akhlaq bisa menentukan kepribadian. Tidak ada satu akhlak pun yang tidak
penting.
Di zaman globalisasi
ini, banyak orang yang mengaku islam tapi akhalq nya tidak seperti yang diajarkan
Rasulullah saw. Banyak orang yang akhlaq nya sudah rusak karena pengaruh
sekularisme, dan pengaruh-pengaruh lain dari barat. Sangat memprihatinkan
keadaan tersebut. Jika generasi penerus bangsa akhlaq nya tidak bagus, lalu mau
jadi apa negara kita ini? Jika disuatu saat nanti, indonesia dipenuhi budaya
yang seperti ini, warga tidak berakhlaq memilih presiden yang tidak berakhlaq.
Bisa anda bayangkan keadaan negeri kita jika keadaannya seperti itu? Dari kasus
tersebut, salah satu akhlaq yang penting yang harus kita ketahui adalah akhlak
dalam bernegara.
Bagaimana seharusnya
sikap kita sebagai manusia yang taat kepada Allah menjalankan kewajiban sebagai
seorang warga negara dalam suatu negara? Bernegara di dalam islam sudah terjadi
sejak zaman Rasulullah saw. banyak hal yang harus kita lakukan untuk memenuhi
kewajiban kita sebagai hamba Allah dan juga sebagai Warga negara. Patuh
terhadap aturan negara juga merupakan salah satu yang Allah perintahkan.
B. Akhlak
a. Pengertian akhlak
Akhlak merupakan komponen dasar islam yang ketiga berisi ajaran tentang
perilaku atau sopan santun. Atau dengan kata lain akhlak dapat disebut sebagai
aspek ajaran islam yang mengatur perilaku manusia. Dalam pembahasan akhlak
diatur mana perilaku yang terfgolong baik dan buruk.
Akhlak maupun syariah pada dasarnya mengajarkan perilaku manusia, yang
berbeda di antara keduanya adalah obyek materia. Syariah melihat perbuatan
manusia dari segi hukum, yaitu wajib, sunat, mubah, makruh, dan haram.
Sedangkan akhlak melihat perbuatan manusia dari segi nilai atau etika, yaitu
perbuatan baik dan buruk.
Akhlak merupakan bagian yang sangat penting dalam ajaran agama islam,
karena perilaku manusia merupakan objek utama ajaran islam. Bahkan maksud
diturunkan agama adalah untuk membimbing sikap dan perilaku manusia agar sesuai
dengan fitrahnya. Agama menyuruh manusia agar meninggalkan kebiasaan buruk dan
menggantikannya dengan ikap dan perilaku yang baik. Agama menuntun manusia agar
memelihara an mengembangkan kecenderungan mental yang bersih dan jiwa yangsuci.
Karena itulah rasul bersabda “tiadalah aku diutus melainkan untuk
menyempurnakan akhlak dan perilaku manusia”
Alhasil, akhlak merupakan sistematika islam. Sebagai sistem, akhlak
memiliki spektrum yang luas, mulai sikap terhadap dirinya, orang lain. Dan
makhluk lain, serta terhadap tuhannya.
b. Ruang lingkup akhlak
Adapun ruang lingkup
bidang studi akhlak adalah:
- Akhlak terhadap diri sendiri meliputi kewajiban
terhadap dirinya disertai dengan larangan merusak, membinasakan dan
menganiyaya diri baik secara jasmani (memotong dan merusak badan), maupun
secara rohani (membirkan larut dalam kesedihan).
- Akhlak dalam keluarga meliputi segala
sikap dan perilaku dalam keluarga, contohnya berbakti pada orang tua,
menghormati orang tua dan tidak berkata-kata yang menyakitkan mereka.
- Akhlak dalam masyarakat meliputi sikap
kita dalam menjalani kehidupan soaial, menolong sesama, menciptakan
masyarakat yang adil yang berlandaskan Al-Qur’an dan hadis.
- Akhlak dalam bernegara meliputi
kepatuhan terhadap Ulil Amri selama tidak bermaksiat kepada agama,
ikut serta dalam membangun Negara dalam bentuk lisan maupun fikiran.
- Akhlak terhadap agama meliputi berimn
kepada Allah, tidak menyekutukan-Nya, beribadah kepada Allah. Taat kepada
Rasul serta meniru segala tingkah lakunya.
Prinsip akhlak dalam
Islam yang paling menonjol adalah bahwa manusia dalam melakukan
tindakan-tindakannya, ia mempunyai kehendak-kehendak dan tidak melakukan
sesuatu. Ia harus bertanggung jawab atas semua yang dilakukannya dan harus
menjaga perintah dan larangan akhlak. Tanggung jawab itu merupakan tanggung
jawab pribadi muslim, begitupun dalam kehidupan sehari-hari harus selalu
menampakkan sikap perbuatan berakhlak. Akan tetapi akhlak bukalah semata-mata
hanya perbuatan akan tetapi lebih kepada gambaran jiwa yang tersembunyi.
C. Negara
Pengertian negara
menurut dalam ensiklopedi Pouler Politik Pembangunan Pancasila (1983: 224)
dijelaskan secara etimologis bahwa istilah negara berasal dari nagari atau
nagara (sansakerta) yang berarti kota,desa,daerah,wilayah,atau tempat tinggal
seorang pangeran. Negara dalam bahasa inggris sering disebut state atau staat
dalam bahasa Belanda. Kata state berasal dari bahasa latin stato. Istilah stato
digunakan pertama kali oleh Machiaveli untuk menyebut wilayah negara atau
pemerintahan yang dikuasai. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
ber-negara diartikan sebagai mempunyai negara dan menjalankan pemerintahan negara.
Seperti yang telah
diungkapkan oleh beberapa tokoh ilmu negara, terdapat pengertian negara yang
beraneka ragam. Salah satunya yang tela dikutip oleh Miriam Budiardjo
(2007:39-40)
1. Roger H. Soltau menyatakan bahwa negara adalah alat atau wewenang yang mengatur
atau mengendalikan persoalan bersama, atas nama masyarakat.
2. Max Weber mengemukakan bahwa negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai
monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah.
Dari definisi-definisi
di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa negara adalah suatu organisasi di antara
sekelompok atau beberapa kolompok manusia yang bersama-sama mendiami suatu
wilayah tertentu dengan mengakui adanya suatu pemerintahan yang mengurus tata
tertib dan keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok manusia tadi. Negara
adalah organisasi yang memiliki wilayah,rakyat, dan pemerintahan yang berdaulat
serta mempunyai hak istimewa, seperti hak memaksa, hak monopoli, hak mencangkup
semua, yang bertujuan untuk menjamin perlindungan, keamanan, keadilan, serta
tercapainya tujuan bersama.
a.
Negara dan agama
Dikalangan cendikiawan
muslim, polemik tentang hubungan antara agama dan negara masih terjadi
perbedaan pendapat. Di indonesia, misalnya muncul dua pendapat atau pandangan
yaitu pendapat dan pandangan Nurcholis Madjid dan H.M. Rasjidi. Nurcholis
Madjid mengemukakan gagasan pembaharuan dan mengecam dengan keras konsep negara
islam sebagai berikut :
“dari tinjauan yang
lebih prinsipil, konsep “negara islam” adalah suatu distorsi hubungan proporsional
antara agama dan negara. Negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi yang
dimensinya adalah rasional dan kolektif, sedangkan agama adalah aspek kehidupan
yang dimensinya adalah spiritual dan pribadi”. Menurut Tahir Azhary pandangan
Nurcholis ini jelas telah memisahkan antara kehiupan negara dan agama. Seorang
intelektual muslim terkemuka yaitu M.Rasjidi yang pernah menjabat Mentri Agama
dan Duta Besar di Mesir dan Pakistn, serta Guru Besar Hukum Islam dan
Lembaga-Lembaga Islam di Universitas Indonesia dengan sangat segan telah
menulis suatu buku dengan judul “Koreksi Terhadap Nurcholis Madjid tentang
Sekularisasi”. Kritik H.M.Rasjidi terhadap pandangan Nurcholis dikutip oleh
Muhammad Tahir Azhari, Guru Besar Hukum Islam di Fakultas Hukum UI dalam
bukunya yang berjudul Negara Hukum, Suatu studi tentang Prinsip-Prinsip nya
dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada periode Negara Madinah dan
Masa.
H.M. Rasjidi menunjukan
bahwa pendapatnya bertentangan dengan pendapat Nurcholis Madjid. Namun menurut
penulis, perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena perbedaan dalam memahami
ajaran islam dan tidak berarti bahwa Nurcholis tidak percaya kepada al-Qur’an.
Karena selama ini pemikiran Nurcholis dibidang lain juga tidak bertentangan
dengan umumnya umat islam. Memang Nurcholis madjid mengatakan bahwa antara
agama dan negara tidak dapat dipisahkan, yaitu melalui individu warga negara terdapat
pertalian tak terpisahkan antara motvasi ataupun sikap batin bernegara dan
kegiatan atau sikap lahir bernegara. Namun antara keduanya harus dibedakan
dalam dimensi spiritual guna mengurus dan mengawasi sikap batin wagra negara,
maka tak mungkin pula memberikan predikat keagamaan pada negara tersebut.
Pandangan yang hampir mirip dengan Nurkholis Madjid adalah suatu pemikiran yang
pernah dikedepankan oleh H. Moh.Syafa’at Mintaredja dalam bukunya Islam dan
Politik;Islam dan Negara Indonesia. Mintaredja mempertegas pandangannya itu
dengan menggunakan kalimat dengan bahasa inggris “between religion and state in
the islam”. Dengan demikian, menurut Mintaredja, dalam batas tertentu ada juga
pemisahan antara negara dan agama. Argumen yang ia gunakan untuk memperkuat
pendapatnya itu adalah sebuah hadis Rasulullah yang ia pahami bahwa “Kamu lebih
mengetahui urusan keduniaanmu/keduniaanmu” tanpa menjelaskan latar belakang
lahirnya hadis itu.
Dalam konklusi bahwa
dalam batas tertentu, dalam islam ada juga pemisahan antara negara dan agama,
M.Tahrir Azhary berpendapat, baik Nurkholis maupun Mintaredja telah terjebak
kedalam pikiran yang rancu, karena menurutnya, islam dapat diartikan baik
sebagai agama dalam arti sempit, maupun sebagai agama yang berarti luas. Dengan
demikian menurut M.Tahrir Azhary, konklusi Mintaredja sesungguhnya kontradiktif
dengan jalan pikirannya sendiri. Kalau islam dalam arti luas ia tafsirkan
sebagai “way of life now in the earth and in the beaven after death”.
Konsekuensi logis dari penafsiran itu seharusnya ialah islam merupakan suatu
totalistas yang komprehensif an karena itu tidak mengenal pemisahan antara
kehidupan beragama dan negara. M.Tahrir Azhary menyubutkan bahwa hadis yang
dipergunakan Mintaredja untuk memperkuat pendapatnya nampaknya kurang tepat dan
tidak sesuai dengan konteksnya. Karena sesungguhnya hadis itu adalah dalam
konteks pertanian, ketika Nabi menegur seseorang yang melakukan penyilangan
pohon kurma. Dengan demikian hadis yang dikemukakan oleh Mintaredja itu tidak
ada relevansinya dengan masalah kenegaraan.
Pendekatan Nurkhalis
Madjid dan Mintaredja tersenut pernah juga digunakan oleh Ali Abdurrazik,
seorang sarjana Mesir yang menulis buku dengan judul al islam wa Usul
al-Hukum. Abdurazaik juga sampai paa konklusi yang sama bahwa dalam islam
terdapat pmisahan antara agama dan negara. Akan tetapi pendapat mereka tidak
mendapat sambutan di kalangan umat islam. Bahkan buku tersebut telah
mengguncangkan masyarakat secara luas dan al-Azae secara khusus pada saat
keluarnya buku itu. Berkenaan buku tersebut, kmudian dibentuk suatu panitia
khusus yang anggotanya terdiri dari para ulama al-Azhar terkemuka untuk
mengadili engarangnya. Akhirnya diutuskan pencabutan gelar akademisna dan dia
dikeluarkan dari barisan para ulama. Hampir semua ulama dan para pemikir juga
menyampaikan sanggahan terhadap tulisannya itu, baik dari kalanga al-Azhar
maupun dari luar al-Azhar. Di antara orang-orang yang menulis sanggahan Ali
Abdurraziq adalah Al-Allamah asy-Syaikh Muhammad Al-Khadhr Husain, Syaikh
al-Azhar sebelum itu dalam bukunya Naqdhu Kitabil islam wa Ushulul Hukmi,
begitu pula yang dilakukan seseorang mufti Mesir pada masa itu, yakni Al-Allaniah Asy-Saikh
Muhammad Bukhait Al-Muthi’y. Cara berfikir mereka dinilai sekuler dan
sebagaimana ditegaskan H. M. Rasjidi “segala persoalan sekularisasi adalah
konteks kebudayaan baat atau Chirtendom (ala Kristen). Dengan demikian
sekularisasi dan paham sekularisme tidak dikenal dalam islam.
Berdasakan fakta, jelas
bahwa dalam al-Qur’an maupun dalam Sunnah Rasul kehidupan agama (dalam hal
ini islam) dengan kehidupannegara tidak mungkin dipisahkan. Keduanya mempunyai
hubungan yang sangat erat. Salah satu doktrin al-Qur’an yang memperkuat
pendirian ini adalah adanya ayat yang menyebutkan adanya kesatuan antara
hubungan manusia dengan manusia yang terdapat dalam surat ali imran.ayat 112.
ôMt/ÎàÑ ãNÍkön=tã èp©9Ïe%!$# tûøïr& $tB (#þqàÿÉ)èO wÎ) 9@ö6pt¿2 z`ÏiB «!$# 9@ö6ymur z`ÏiB Ĩ$¨Y9$# râä!$t/ur 5=ÒtóÎ/ z`ÏiB «!$# ôMt/ÎàÑur ãNÍkön=tã èpuZs3ó¡yJø9$# 4 Ï9ºs öNßg¯Rr'Î/ (#qçR%x. tbrãàÿõ3t ÏM»t$t«Î/ «!$# tbqè=çGø)tur uä!$uÎ;/RF{$# ÎötóÎ/ 9d,ym 4 y7Ï9ºs $yJÎ/ (#q|Átã (#qçR%x.¨r tbrßtG÷èt ÇÊÊËÈ
112. mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada,
kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian)
dengan manusia dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi
kerendahan. yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan
membunuh Para Nabi tanpa alasan yang benar. yang demikian itu disebabkan mereka
durhaka dan melampaui batas.
Ayat tersebut diperkuat lagi dengan firman
Allah yang trdapat pada surat AnNisa’ ayat 58-59
¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù't br& (#rxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $KÏèÏR /ä3ÝàÏèt ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿx #ZÅÁt/ ÇÎÑÈ $pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
Artinya:
58. Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat.
59. Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Menurut Yusuf
al-Qardhawy ayat 58 ditujukan kepada ulil amri dan penguasa, agar mereka
memperhatikan amanat dan tetap menetapkan hukum secara adil. Menyia-nyiakan
amanat dan keadilan merupakan ancaman yang ditandai dengan kehancuran umat dan
negara. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW yang artinya “jika amanat
disia-siakan, maka tunggulah kehancurannya”. Ada yang bertanya “bagaimana
menyia-nyiakannya?”. Beliau menjawab “jika urusan diserahkan kepada bukan
ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya” (Hadis diriwayatkan al-Bukhary).
Sedangkan ayat 59 surat
An-Nisa’, menurut Yusuf al-Qardhway
ditunjukan kepada rakyat yang mukmin, bahwa mereka harus taat kepada “Ulil
Ami”. Tetapi dengan sarat, ketaatan ini dilakukan setelah ada ketaatan kepada
Allah dan Rasul-nya. Disamin itu, ada
pula perintah untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya jika terjadi silang
pendapat atau kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini jelas mengharuskan
orang-orang muslim memiliki daulah yang diataati. Jika tidak, urusan ini
menjadi sia-sia.
Dalam konteks inilah
sesungguhnya masalah hubungan agama islam dengan negara harus ditempatkan.
Dengan demikian jelas bahwa dalam islam, agama dan negara memunyai pertalian
yang erat. Hal ini didukung kenyataan yang ada dalam sejarah selama masa
Rasulullah SAW dan masa Khulufa al-Rasyidin dalam periode Negara Madinah. Fakta
ini menunjukan bahwa islam sejak lahirnbya selalu berkaitan dengan aspek-aspek
kenegaraan dan kemasyarakatan. Keadaan ini diakui oleh banyak sarjana
muslim,seperti yang sudah disebutkan dan juga oleh para sarjana Barat seperti
Bernard Lewis berpendapat bahwa “Persembahan kepada kaisar apa-apa yang menjadi
milik kaisar, dan kepada “tuhan apa yang menjadi milik tuhan. Tentunya ini
adalah doktrin dari praktek kristen. Hal ini benar-benar asing bagi islam. Tiga
agama besar timur tengah memiliki banyak perbedaan dalam hubungan mereka dengan
negara dan sikapnya terhadap kekuatan politik. Judaisme dipertalikan dengan
negara meskipun kemudian dipisahkan darinya bentrokan mereka dengan agama pada
saat-saat sekarang ini menimbulkan roblem-problem yang sampai saat ini belum terpecahkan. Kristen terpisah bahkan antagonistic dengan
negara, dengannya baru dikemudian baru mereka terliba. Sedangkan islam sejak
dari masa hidup pendiriannya adalah sebuah negara, dan eperalian antara negara
dan agama tertancap tanpa dapat terhapuskan di dalam ingatan dan kesadaran
pengikut setianya, di dalam kitab suci, sejarah dan pengalamannya bertahan
dengan susah payah sebagai minoritas buronan selama berabad-abad membentuk
masyarakat mereka sendiri, hukum-hukum mereka sendiri di dalam suatu institusi
yang dikenal dengan nama gereja hingga dengan masuknya kristennya Constantinus
Kaisar Roma dan Romanisasi Kristen.
Di dalam prosesnya
sangat berbeda sekali. Muhammad tidak mati di tiang salib. Sebagaimana dia
seorang Nabi, maka beliau juga seorang prajurit sekaligus negarawan, keala
emerintahan dan pendiri dari suatu kerajaan, dan pengikut-pengikutnya ditopang
oleh seluruh kepercayaan akan manifestasi. Islam sudah dipertalikan dengan kekuasaan
sejak masa-masa awalnbya, sejak tahun-tahun pertama pembentukannya, oleh Nabi
dan Pengikut-Pengikutnya yang mula-mula. Petalian antara agama dan kekuasaan,
komunitas dan politik ini sudah daat dilihat di dalam al-Qur’an sendiri dan
naskah lain yang lebi dini yang atasnya orang islam mendasarkan kepercayaannya.
Sebagai salah satu konsekuensinya, di dalam islam agama bukanlah sebagaimana
yang dalam kristen suatu sistem atau segmen, di dalam kehidupan, mengatur
beberapa hal, sebaliknya agama berhubungan dengan seluruh kehidupan, bukan
suatu yuridiksi yang terbatas, melainkan total.
Pendapat bahwa dalam
islam, agama dan negara mempunyai pertalian yang erat, didukung oleh fakta
sejarah selama masa Rasululllah dan Khulafa’ Rasyidin selama periode Negara
Madinah merupakan bukti-bukti yang kuat, bahwa islam sejak lahirnya selalu
berkaitan dengan aspek-aspek kenegaraan dan kemasyarakatan. Sejarah telah
mengungkapan bahwa rasulullah saw telah semaksimal mempergunakan kekuatan dan
pikiran, yang ditopang hidayah Allah berupa wahyu untuk mendirikan daulah islam
dan negara bagi dakwah beliau serta pengikutnya pada saat itu tidak ada bentuk
kekuasaan yang ditetapkan kecuali kekuasaan syari’at. Oleh karena itu beliau
sendiri mendatangi berbagai kabilah, agae mereka beriman kepada rasulullah SAW,
mendukung dan ikut menjaga dakwah beliau, hingga akhirnya Allah menganugrahkan
“Anshar” dari kaum Aus dan Khazraj yang beriman kepada risalah beliau. Ketika
islam sudah menyebar dikalangan masyarakat, maka pada musim haji datang urusan
dari mereka yang ter4diri dari tujuh puluh tiga orang laki-laki dan dua wanita,
lalu mereka berbaiat kepada beliau dan menyatakan kesediaan untuk melindungi
baliau sebagaimana mereka melindungi diri mereka sendiri, istri, dan anak-anak
mereka, siap untuk tunduk dan taat,memerinahkan kepada yang ma’ruf, mencegah
dari yang mungkar dan seterusnya. Mereka menyatakan baiat atas semua itu sampai
hijrah ke Madinah sebagai upaya untuk mendirikan masyarakat yang berdaulat,
dengan daulah islam yang berdiri sendiri.
Tatkala Rasulullah SAW
wafat pertama kali yang menyibukan para sahabat adalah pemilihan pemimpin bagi
mereka. Bahkan mereka lebih mengutamakan urusan ini dari pada penguburan
jenazah Rasulullah saw. Maka setelah melalui musyawarah, terpilihlah Abu Bakar
dan umat menyerahkan urusan mereka kepada Abu Bakar dan begitu pula yang
terjadi setelah Abu Bakar wafat dan seterusnya. Dengan adanya ijma’ sejarah
ini, yang dimulai dari era sahabat dan tabi’in, para ulama islam menggunakannya
sebagai dalil tentang kewajiban mengangkat pemimpin, yang menjadi simbul
terpenting dari eksistensi daulah islam. Sepanjang sejarah, orang-orang muslim
tidak pernah mengenal adanya pemisahan antara agama dan daulah, kecuali setelah
muncul sekularisme pada zaman sekarang, dimana sebenarnya Rasulullah saw pernah
memperingatkan dan memerintahkan untuk melawannya.
b.
Negara dalam islam
Satu-satunya
pertimbangan dari manusia modern adalah mendapatkan keuntungan ekonomi atau
kekayaan, ia bersedia untuk mengorbankan apapun untuk mencapai tujuan ini, atas
nama negara dan karena cinta bangsa. Harta, bangsa, dan negara menduduki tempat
kehormatan tertinggi dalam hati orang beradab. Bangsa dan negara sekarang pun
sedang membawa peradaban kepada kehancurang yang tidak dapat dihindari. Di arat,
suatu negara, sama saja apakah ia diberi etika demokrasi atau fasis, komunis,
pasti bertujuan ekspansi, agresi, dan eksploitasi negara lain yang lemah.
Agresi dalam salah satu bentuknya adalah sari patinya negara beradab. Yang
lemah tidak mempunyai hak apapun: hak hanya dimiliki orang yang punya kuasa,
yang mempunyai kekuatan untuk menuntut penghormatan dan perhatian. Mentalitas
ini dikembangkan oleh bangsa barat, dan meghasilkan negara-negara yang berusaha
mempunyai angkatan perang dan persenjataan yang melebihi negara lain. Dan ini
menghasilkan konflik yang mematikan antara negara-negara dan keinginan untuk
menghancurkan satu sama lain.
Sebab pokok dari keadaan ini terletak sama sekali pada konsep
matrealisme tentang negara. Tentu saja tiap negara harus mempunyai kekuatan,
untuk memberhentikan agresi dan melindungi yang lemah, dalam memberi keadilan
sebaik-baiknya kepada semua pihak. Kemajuan ilmu pengetahuan telah melipat
gandakan kekuatan ini beribu kali. Lain dari pada itu, pandangan hidup yang
matrelialistis tealah membuat orang semakin tidak peduli dalam memergunakan
kekuatan dan kekuasaannya terhadap sesama manusia, sedangkan dengan bersamaan
kemajuan dalam menguasai alam, penguasaan atas diri sendiri , yaitu
satu-satunya yang dapat mengekang kewenang-wenangan manusia terhadap manusia
lain. Mengalami kemunduran dan diremehkan. Akibatnya ialah, bahwa kekuasaan
negara yang semakin besar ini, yang mau tidak mau, harus dilaksanakan oleh
pribadi-pribadi, lebih banyak dipergunakan untuk memperbudak dan menghancurkan
manusia daripada untuk menyelamatkannya dari
kesewenang-wenangan dan untuk menjunjung tinggi hak dan keadilan.
Benarlah apa yang pernah dikatan orang, bahwa ilmu pengetahuan telah memberikan
kepada manusia kekuasaan pantas untuk dewa, tetapi manusia dalam
mempergunakannya menyandang kepribadian seorang biadab, malah menjadi ancaman
bagi kebahagiaannya, sedangkan orang yang begitu terpesona oleh berhala ini,
hinga ia sadar atau tidak sadar dengan bekerja sebagai bagian dari mesin ini,
ikut meghancurkan kemanusiaan.
Islam menciptakan pemerintahan yang bertanggung jawab semacam
itu, suatu pemerintahan oleh orangorang yang menyadari, bahwa diatas segala al
mereka bertanggung jawab kepada Allah atas semua yang mereka kerjakan. Orang
yang harus dihormati dan memberi kepercayaan kepada seseorang untuk memegang
pemerintahan itu jelas menghormati dia adalah mereka yang paling banyak
menjunjung tinggi kewajiban. Orang yang demikian itulah yang harus diberi
otoritas atas orang lain.
“Masing-masing kamu adalah pemerintah dan masing-masing
akan ditanyai tentang warga negaranya; lelaki adalah pemerintah dania akan
ditanyai tentang orang yang ada di rumahnya, dan wanita adalah pemerintah rumah
atas suaminya dan ia akan ditanyai tentang siapa saja yang dalam peliharaannya;
dan seorang pelayan adalah pemerintah terhadap barang milik majikannya dan ia
akan ditanyai tentang apa yang diamanatkan kepada dia” (Bu.11:11)
Semua orang adalah sama dalam hukum termasuk orang yang
diserahkan amanah pimpinan dan termasuk pula Nabi Suci sendiri , yang harus
tunduk kepada hukum sama seperti tiap pengikutnya.
Negara islam adalah negara yang demokratis dalam arti
yang sesungguhnya. Kepala negara adalah pelayann negara yang dibayar gaji
tertentu untuk keperluannya dari kas negara, seperti semua pelayan
negara(pegawai). Kewajiban rakyat terhadap negara ialah menghormati
undang-undang dan mentaati perintahnya, asal ini tidk minta pendurhakaan
terhadap Allah dan Rasulnya. Hukum Qur’an adalah tertinggi, tetapi tidak ada
larangan untuk membuat undang-undang untuk memenuhi kebutuhan rakyat asal tidak
bertentangan dengan jiwa dari hukum yang diwahyukan. Akan tetapi undang-undang
yang diperlukan harus disusun menurut perintah dasar “Dan mereka yang
perkaranya dipustuskan dengan musyawarah antara mereka (42:38)
Karena ada
perintah-perintah yang jelas untuk bermusyawarah guna membuat undang-undang
atau memutuskan perkara yang besar, maka para khalifah pertama mempunyai
dewan-dewan untuk menolong mereka dalam hal demikian. Juga dalam sejarah dini
islam ini. Imam-imam besar seperti Imam Abu Hanifah secara bebas mempergunakan
pengkiasan dalam membentuk undang-undang dan ijtihad diakui sebagai sumebr
undangundang islam disamping Qur’an dan Sunnah. Kedua prinsip demokrasi yaitu
kedudukan tertingggi dari undang-undang dan mengadakan permusyawaratan pada
waktu membuat undang-undang dan mengambil keputusan penting lainnya. Dengan
demikian ditetapkan sendiri leh Nabi Suci. Prinsip ketiga dari demokrasi yaitu
pemilihan kepala negara juga diakuinya. Ia sampai mengatakan bahwa seorang
negro pun dapat ditunjuk untuk
memerintahkan orang arab, dan dalam hal demikian ia harus ditaati seperti semua
kepala negara (Bu. 10:54). Karena alasan semacam itulah, maka tindakan pertama
dari para sahabat sepeninggalnya adalah memilih kepala negara. Pada waktu
tentang wafat nya tersiar, orang muslim berkumpul dan secara bebas mempebincangkan siapa yang
harus menggantikan Nabi Suci ebagai epala negara. Kaum Anshar, penduduk Madinah,
berpendapat bahwa harus ada dua kepala, satu dari kaum Quraisy dan satu dari
mereka, akan tetapi kekliruan pendapat ini ditujukan oleh Abu Bakar, yang dalam
satu khutbah menjelaskan bahwa satu negara harus hanya mempunyai satu kepala
(Bu. 62 :6). Dan seterusnya Abu Bakar dipilih, karena sepert Umar katakan, ia
adalah yang palinbg baik” dari mereka dan “yang paling pantas di antara kaum
Muslim, untuk mengurus perkara mereka” (Bu. 93:2). Pantas untuk memerintah
adalah satu-satunya ukuran untuk menentukan pilihan, seperti ditetapkan oleh
al-Qur’an “Allah memerintahkan kamu untuk menyerahkan(jabatan) kepercayaan
kepada mereka yang sepantas-pantasnya” (4:58
D. Akhlak dan Bernegara
a. Akhlak bernegara
Sesungguhnya , akhlak adalah nilai pemikiran yang telah menjadi sikap
mental yang mengakar dalam jiwa, lalu tampak dalam bentuk tindakan dan perilaku
yang bersifat tetap, natural, dan refleks. Jadi, jika nilai islam mencakup
semua sektor kehidupan manusia, maka perintah beramal shalih pun mencakup semua
sektor kehidupan manusia.
Tentunya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara diperlukan pengertian akhlak bernegara ini untuk membuat diri kita ‘kebal’ terhadap kebatilan yang nantinya akan menggoda iman kita , dalam melaksanakan bakti kita kepada negara.
Tentunya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara diperlukan pengertian akhlak bernegara ini untuk membuat diri kita ‘kebal’ terhadap kebatilan yang nantinya akan menggoda iman kita , dalam melaksanakan bakti kita kepada negara.
1. Musyawarah
Musyawarah dapat berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu.
Adapun salah satu ayat dalam Al – Qur’an yang membahas mengenai Musyawarah
adalah surah Al-Syura ayat 38:
tûïÏ%©!$#ur (#qç/$yftGó$# öNÍkÍh5tÏ9 (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# öNèdãøBr&ur 3uqä© öNæhuZ÷t/ $£JÏBur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZã ÇÌÑÈ
Artinya: “Dan (bagi)
orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat,
sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS.
Asy-Syura: 38)
Dalam ayat diatas ,
syura atau musyawarah sebagai sifat ketiga bagi masyarakat Islam dituturkan
setelah iman dan shalat . Menurut Taufiq asy-Syawi , hal ini memberi pengertian
bahwa musyawarah mempunyai martabat setelah ibadah terpenting , yakni shalat ,
sekaligus memberi pengertian bahwa musyawarah merupakan salah satu ibadah yang
tingkatannya sama dengan shalat dan zakat . Maka masyarakat yang mengabaikannya
dianggap sebagai masyarakat yang tidak menetapi salah satu ibadah .
Memang , musyawarah sangat diperlukan untuk dapat mengambil keputusan yang
paling baik disamping untuk memperkokoh rasa persatuan dan rasa tanggung jawab
bersama . Ali Bin Abi Thalib menyebutkan bahwa dalam musyawarah terdapat tujuh
hal penting yaitu , mengambil kesimpulan yang benar , mencari pendapat ,
menjaga kekeliruan , menghindari celaan , menciptakan stabilitas emosi ,
keterpaduan hati , mengikuti atsar.
2. Perilaku Adil
Di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang memerintahkan supaya manusia
berlaku adil dan menegakkan keadilan. Perintah itu ada yang bersifat umum dan
ada yang khusus dalam bidang-bidang tertentu. Yang bersifat umum misalnya :
* ¨bÎ) ©!$# ããBù't ÉAôyèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur Ç!$tGÎ)ur Ï 4n1öà)ø9$# 4sS÷Ztur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# Ìx6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur 4 öNä3ÝàÏèt öNà6¯=yès9 crã©.xs? ÇÒÉÈ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl 16:90)
Sedangkan yang bersifat khusus misalnya bersikap adil dalam menegakkan
hukum (QS. An-Nisa’ 4: 58); adil dalam mendamaikan conflik (QS. Al-Hujurat
49:9); adil terhadap musuh (QS. Al-Maidah : 8) adil dalam rumah tangga (QS.
An-Nisa’ 4:3 dan 129); dan adil dalam berkata (QS. Al-An’am 6:152).
3. Nomokrasi Islam
Pemikiran tentang negara elah diletakan dasar-dasarnya oleh seorang pemikir
islam yang terkenal dan telah diakui otoritasnya oleh sarjana barat yaitu Ibnu
Khaldun. Ibnu Khaldun telah menemukan tipologi negara dengan menggunakan tolak
ukur kekuasaan. Pada dasarnya ia menggambarkan dua keadaan manusia yaitu
keadaan alamiah dan keadaan yang berperadaban. Dalam keadaan yang terakhir
inilah manusia mengenal dasar negara hukum.
Ibnu Khaldun berpendapat, bahwa dalam mulk siyasi ada dua macam bentuk
negara hukum yaitu (1) siyasah diniyah, dan (2)
siyasah’agliyah. Muhammad Tahir menterjemahkan siyasah diniyah dengan
nomokrasi islam dan siyasah’agliyah dengan nomokrasi sekuler. Adapun nomokrasi
islam adalah suatu negara hukum yang memiliki prinsip-prinsip umum sebagai
berikut (1) prinsip kekuasaan sebagai amanah (2) prinsip musyawarah (3) prinsip
peradilan (4) prinsip persamaan (5) prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap
hak-hak asasi manusia (6) prinsip perdamaian (7) prinsip kesejahteraan dan (8)
prinsip ketaata rakyat.
Dalam al-Qur’an
disebutkan bawa sesungguhnya Penguasa Hakiki dan Mutlak adalah Allah SWT.
Kekuasaannya sangat luas dan tidak terbatas, mencangkup segala sesuatu yang ada
di alam semesta ini. Hal ini diungkapkan dalam surat Ali Imran , ayat 189
¬!ur Ûù=ãB ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur 3 ª!$#ur 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« íÏs% ÇÊÑÒÈ
yang artinya “kepunyaan Allah-lah kerajaan
langit dan bumi dan Allah maha Perkasa atas segala sesuatu”
Dalam surat al-Baqarah ayat 30 dilihat dari segi hukum islam ialah posisi
mannusia sebagai pengemban amanah Allah. Dalam hal ini Allah telah melimpahkan
suatu tugas kepada manusia untuk mengatur dan mengelola bumi ini dengan
sebaik-baiknya menurut ketentuan-ketentuan yang ia gariskan.
Dengan demikian kekuasaan yang dimiliki manusia hanyalah sekedar amanah
dari Allah swt. Oleh karena itu seorang penguasa dalam memegang amanahnya harus
sesuai dengan ketntuan yang telah ditetapkan Allah, yakni harus menerakan
prinsip-prinsip umum nomokrasi islam sebagaimana telah disebutkan.
1)
Prinsip kekuasaan
sebagai amanah
2)
Prinsip musyawarah
3)
Prinsip keadilan
4)
Prinsip persamaan
5)
Prinsip peradilan bebas
6)
Prinsip perdamaian
7)
Prinsip kesejahteraan
8)
Prinsip ketaatan rakyat
Kesimpulan
Akhlak merupakan
komponen dasar islam yang berisi ajaran tentang perilaku atau sopan santun.
Atau dengan kata lain akhlak dapat disebut sebagai aspek ajaran islam yang
mengatur perilaku manusia. Sedangkan negara adalah suatu organisasi di antara
sekelompok atau beberapa kolompok manusia yang bersama-sama mendiami suatu
wilayah tertentu dengan mengakui adanya suatu pemerintahan yang mengurus tata
tertib dan keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok manusia tadi.
Dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara diperlukan pengertian akhlak bernegara ini untuk
membuat diri kita ‘kebal’ terhadap kebatilan yang nantinya akan menggoda iman
kita dalam bernegara khususnya. Akhlak bernegara mencangkup dalam kegiatan
musyawarah dan keadilan. Sedangkan nomokrasi Islam terdiri dari 8 prinsip yang
harus diciptakan dalam sebuah negara.
Daftar Pustaka
Furqan Arif.2002.Islam
Untuk Disiplin Ilmu Hukum.Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam
Dapartemen Agama RI.Cet II
Azra
azyumardi,SuryanaToto,Abduhaq Ishak,Didin Hafiduddin.2002.Buku Teks Pendidikan
Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum.Jakarta; Dapatermen Negara RI.Cet III
Nasution Ahmad
Bangun;Siregar Rayani Hanum.2013.Akhlak Tasawuf.Jakarta: Raja Grafindo
Persada.Cet I
Ali Maulana
Muhammad.1935.Islamologi(Dinul Islam).Jakarta:Darul Kutubil Islamiyah
Sunarsono;Sartono Kus
Eddy;Dwikusrahmadi Sigit;Sutarini Nany. dkk2013.Pendidikan Kewarganegaraan
untuk Perguruan Tinggi.Yogyakarta;UNY Press.Cet II
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Asy-Syawi,Taufiq.1997.Syura
Bukan Demokrasi.Jakarta;Gema Insani Press(diterjemahkan Z.S)
Ilyas
Yunahar.2000.Kuliah Akhlaq.Yogyakarta;Pustaka Pelajar Offset.
No comments:
Post a Comment