BAB 1
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG MASALAH
Munculnya gelombang pemikiran di
dunia islam, terutama di bidang teologi dan filsafat pada zaman klasik. Islam,
yang pada saat itu di anggap asing walaupun pada hakikatnya untuk melihat islam
secara lebih dinamis dan sekaligus membela islam dan arus gelombang hellenisme,
juga terpaksa harus berkonfrontasi dengan pemuka-pemuka itu sendiri. Bahkan,
munculnya kecenderungan pemikiran filsafat di dunia islam, yang lebih banyak
menggunakan kerangka berpikir rasional dalam memahami ajaran-ajaran islam,
tidak luput dari tuduhan bahwa upaya itu di anggap sebagai pengrusakan
ajaran-ajaran islam. Ketika terjadi gerakan pembaruan di dunia islam pada zaman
modern, fenomena serupa juga terjadi. Gerakan para pembaru yang pada hakekatnya
muncul untuk melakukan penyegaran terhadap pemahaman islam dan sekaligus
meresponi tantangan modernitas, terpaksa harus berjibaku dengan masyarakat
muslim sendiri.[1]
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa
biografi Nur Cholis Madjid ?
2.
Apa
saja karya-karya Nur Cholis Madjid ?
3.
Bagaimana
konsep pemikiran pendidikan islam menurut Nur Cholis Madjid ?
4.
Relevansi
Pemikiran Pendidikan Islam Nur Chalis
Madid?
C.
TUJUAN
dan KEGUNAAN
1.
Untuk
mengetahui biografi Nur Cholis Madjid.
2.
Untuk
mengetahui karya-karya Nur Cholis Madjid.
3.
Untuk
mengetahui konsrp pemikiran pendidikan Islam menurut Nur Cholis Madjid.
4.
Untuk
mengetahui relevansi pemikiran pendidikan Nur Cholis Madjid.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
BIOGRAFI
NUR CHOLIS MADJID
Nurcholis madjid di lahirkan pada
tanggal 17 maret 1939 di desa Mojoanyar, jombang, jawa timur. Studi tingkat
dasar ditempuh nurcholis madjid di dua tempat, yaitu SR (sekolah rakyat) bareng
dari madrasah al-Wathariiyah. Di dua tempat tersebut, nurcholis menimba ilmu
selama kurang lebih 4 tahun dengan prestasi terbaik. Sekolah menengah tingkat
awal dijalani nurcholis di pesantren Darul Ulum Rejoso, jombang, dan lagi-lagi
disini nurcholis memperlihatkan prestasi belajar yang mengagumkan. Namun,
karena pertimbangan psikologis di tempat tersebut, nurcholis sekedar sempat
mondok kurang lebih 2 tahun. Untuk selanjutnya, nurcholis dikirim sebagai studi
di pesantren Modern Gontor, diponorogo, jawa timur. Setelah nyantri selama
kurang lebih 5 tahun, nurcholis melanjutkan studinya ke IAIN syarif
hidayatullah jakarta dengan mengambil jurusan “Bahasa Arab dari sejarah
kebudayaan islam” sebagai konsentrasi. Dilembaga pendidikan ini, nurcholis
telah memperlihatkan kecenderunganya kepada upaya memahami islam secara
rasional. Hal itu terbukti dari karya tulis akhir yang diajukanya. Skripsi
penyelesaian yang diajukanya mengambil tema Al-Qur’an ‘Arabiyun Lughat
wa’Alaniyun mu’nun ( Al-Qur’an secara bahasa Arab, secara makna adalah
Universal). Jenjang pendidikan tertinggi ( program doktor ) di tempuh nurcholis
di University of Chicago, Amerika Serikat. [2]
Pengaruh yang cukup menentukan
perkembangan intelektual nurcholis madjid ialah lembaga pendidikan gontor,
sebuah pesantren modern yang namanya cukup populer hingga sekarang. Cukup lama
nurcholis madjid berada di tempat pendidikan ini, yaitu kurang lebih 5 tahun,
sejak usia 16 tahun sampai usia 21 tahun. Pengaruh lain yang ikut menunjang
intelaktual nurcholis madjid ialah lembaga pendidikan tingkat perguruan tinggi,
yaitu fakultas adab IAIN syarif hidayatullah dengan mengambil keahlian di
bidang bahasa arabdan sejarah kebudayaan islam.
Faktor lain yang ikut mempengaruhi
perkembangan intelektual nurcholis madjid ialah wadah organisasi, HINI. Pada
lembaga perkumpulan ini, nurcholis madjid sempat terpilih sebagai ketua umum
selama dua periode, yaitu periode 1966-1969 dari periode 1969-1971.
Kepemimpinan nucholis madjid ditingkat nasional dalam organisasi kemahasiswaan
nya seperti HINI, merupakan hal amat penting dalam jalur intelektualnya.
Pengaruh lain yang cukup menetukan perkembangan intelektualnya ialah perkenalan
dengan tokoh intelektual muslim terkemuka di indonesia di masa itu, tokoh
ntelektual indonesia yang ikut mempengaruhi perkembangan intelektualnya salah
satunya adalah ayahnya sendiri, yaitu Mumamad Natsir dari Hamka.
2.
KARYA-KARYA
NURCHOLIS MADJID
Sebagai seorang pemikir keislaman
yang produktif, nurcholis telah menulis sekian banyak nukilan tentang masalah
keislaman. Nukilan-nukilan itu disunting dari komplikasikan menjadi buku dengan
tema-tema yang cukup menarik. Diantara bukunya ialah : khazanah intelektual
islam, bulan bintang, jakarta, 1984 (sebagai editor dari sekaligus
memberikan kata pengantar), islam kemodernan dari keindonesiaan, inizan,
bandung, 1987, dan lain-lain.[3]
3.
KONSEP
PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT NURCHOLIS MADJID
a.
Tujuan
Tujuan pokok pendidikan adalah agar peserta didik secara aktif mampu mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan
serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan tidak hanya memberikan pengajaran keahlian khusus (spesialisasi), tetapi juga
pemberian pengetahuan, pertimbangan, kebijaksanaan dan kearifan kepada peserta didik. Untuk sampai pada titik ini, pendidikan mesti diberikan dengan basis saling
menghargai dan menghormati keberbagaian atau keragaman (pendidikan multikultural).
Sebagai negara yang memiliki multikulturalitas tinggi, semestinya Indonesia menerapkan pendidikan agama Islam –dan juga pendidikan keagamaan lainnya yang berwawasan multikultural pluralistik, sehingga output-nya adalah terbentuk peserta didik yang memiliki
wawasan dan sikap
multikultural
dengan
indikator berusaha melaksanakan nilai-nilai multikultural-pluralistik dalam
hidup kesehariannya atas
dasar pandangan
hidup yang berorientasi
bahwa keragaman
dalam aspek apa pun merupakan
sesuatu yang tidak dapat ditolak
eksistensinya sehingga mesti diapresiasi secara arif positif. Dalam istilah Nurcholish Madjid bersikap arif positif terhadap kebhinekaan adalah diwujudkan dengan pemahaman
bahwa pluralitas tidak dipandang sebagai kebaikan negatif (negative good) yang kegunaannya hanya ditilik dari aspek penyingkiran fanatisisme,
melainkan
lebih dipahami
sebagai genuine
engagement of diversities
within the bond
of civility (pertalian sejati keragaman
dalam ikatan-ikatan keadaban) bahkan pluralitas merupakan suatu keharusan
bagi keselamatan umat manusia melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan di antara sesamanya sehingga mewajibkan tatanan kehidupan toleran, terbuka dan menjunjung tinggi supremasi hukum.[4]
Kendati demikian, menegakkan pendidikan agama Islam berwawasan atau berbasis
multikultural
di negara ini bukan sesuatu yang mudah, sebab terdapat banyak aral dan
tantangan yang menghadapinya. Secara garis besar –setidaknya— terdapat enam
tantangan pokok,
pertama, konformisme; kedua, sumber daya manusia guru;
ketiga, perubahan sosial politik; keempat, radikalisme atau fundamentalisme; kelima, perubahan orientasi, dan keenam, globalisasi.[5]
b. Materi
Nilai-nilai Pluralisme Islam sebagai Bassis
Pendidikan Agama Islam Multi kulttural Pluralistik
Nurcholish menyadari kenyataan rendahnya kualitas pendidikan umat Islam, sehingga sangat menganjurkan umat Islam untuk menyadari kelemahannya, untuk kemudian
berbenah
diri.
Aktivitas ini dapat diawali
dalam kaitannya
dengan lembaga keilmuan Islam
tersebut dengan meningkatkan kualitas perpustakaan, pembenahan metodologi dalam pengajaran dan pengkajian dan penelitian. Kelemahan
itu, antara lain terjadi disebabkan
oleh lemahnya
kesadaran
sejarah, karena tiadanya sikap kritis, sehingga umat Islam tidak dapat memilah antara yang murni ajaran dan yang merupakan produk sejarah. Dalam konteks ini, Nurcholish menyerukan kesediaan belajar dari sejarah sangat penting untuk ditanamkan sejak dini pada terdidik.
Ketika belajar
dari sejarah inilah, sikap kritis dan reflektif merupakan suatu kemestian,
dengan alasan: pertama sejarah bukan sesuatu yang sakral kedua,
sejarah merupakan bagian dari ilmu-ilmu sosial yang tidak memiliki kadar
kepastian setinggi ilmu-ilmu eksakta, sehingga mengesankan sebagaai luwes,
lunak dan kurang pasti. Ketiga, melalui sejarah dapat diketahui
bermainya faktor-faktor hubungan hidup antara manusia, yaitu faktor-faktor
sosial budaya.[6] Dengan berpijak pada
argumentasi diatas, Nurcholish menggariskan pentingnya melakukan beberapa hal sebagai berikut:
1)
Penelaahan kembali pemahaman orang-orang Muslim terhadap agamanya. Ini terutama relevan bagi mereka yang melakukan kajian ilmiah yang secara metodologis tentunya harus
dengan semangat “disengaged”, namun secara pribadi, secara keimanan misalnya, tetap “engaged”.
2)
Sekaligus
dengan itu, justru untuk
memenuhi syarat
“keilmiahan”-nya, juga diperlukan penelaahan kembali sejarah pemikiran Islam sejak masa-masa awal
sampai sekarang,
3)
Juga masih tetap dalam konteks 1 dan 2 itu, perlu telaah tentang milieu Islam yang ada dalam sejarah, terutama segi-segi sosial, politik dan kultural, tetapi mungkin juga telaah ini diperluas ke dalam segi-segi etnis, linguistik dan lain- lain.
4)
Dan itu semua mengharuskan adanya tenaga
yang memadai, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
5)
Kemudian harus didukung dengan fasilitas riset yang cukup khususnya dalam bentuk perpustakaan yang memenuhi syarat.[7]
Itulah antara lain
beberapa hal substantif yang mesti dilakukan dalam proses pendidikan agama Islam. Dengan mengawali pembenahan segi-segi kualitas keilmuan
itu, diharapkan umat Islam
akan
lebih arif, dalam arti menyadari kelemahan atau kekurangannya. Sepadan dengan itu, adalah penting ditradisikan pula wawasan tentang idea of progress, optimis
dan sikap terbuka. Ketiga sikap ini, yakni idea of progress, optimis dan
terbuka dalam pandangan Nurcholish merupakan sikap yang qur’anik dalam makna bersedia belajar dari komunitas yang lain dengan tulus dalam makna yang seluas-luasnya, dengan alasan adanya dimensi haniff pada diri manusia, tanpa
terkecuali. Melalui pemahaman
tentang h{ani>f tersebut, kaum Muslim dapat belajar dari siapapun dengan tanpa hambatan, sampai pada tataran teologis sekalipun.
Dalam rangka menghilangkan atau sekurang-kurangnya meminimalisasi
hambatan-hambatan teologis dalam belajar dan menjaalin kehidupan bersama dengan
komunitas yang berbeda dalam segala hal yang paling mendasar, yakni perbedaan
teologis perlu dilandasi oleh nilai-nilai subtansial Ilahiah. Dalam rangka membentuk sikap mental yang
cenderung kepada upaya pencarian
titik temu (common platform), dengan segala derivasinya kepada terdidik, dalam pandangan Nurcholish, peran keluarga (rumah tangga) sedemikian besar. dapat ditradisikan dalam keluarga, jika orang tua
memiliki pemahaman yang memadai tentang aspek yang paling mendalam dari dimensi kemanusiaan sebagaimana
disebutkan
di atas,
yang merupakan elemen
mendasar dari konsep pluralisme-multikultural.[8]
Bagi Nurcholish, paham kemajemukan masyarakat yang
dimiliki ajaran Islam merupakan salah satu nilai keislaman
yang sangat tinggi bagi kemodernan
dan merupakan salah satu ajaran pokok Islam yang sangat relevan dengan zaman
sekarang Pluralisme dalam Islam yang kemudian melahirkan adanya konsep ahl al-Kitab, yang dari konsep ahl al-Kitab itulah melahirkan konsep zimmah yakni perlindungan,
dalam hal ini perlindungan kepada golongan non-Muslim penganut kitab suci. Karena itu dalam pandangan Nurcholish-- ahl al-Kitab juga disebut golongan ahl al- zimmah atau kaum zimmi, yang berarti “mereka yang harus dilindungi”. Dalam hal
ini
lanjut Nurcholish
Nabi
mengingatkan
dalam sebuah sabdanya
“barang
siapa yang
menyakiti
seorang
zimmi maka ia tidak
termasuk golonganku” (man ‘aza> zimmiyan
fa laysa minni>).
c.
Metode
Sebagai sebuah konsep yang mesti dituangkan dalam sistem kurikulum, pendidikan agama (Islam)
berwawasan
multikultural secara umum menggunakan berbagai pendekatan (approaches)
dan metode yang beragam. Pendekatan-pendekatan yang
mungkin dapat
dilakukan
dalam mengimplementasikan pendidikan agama (Islam) berbasis multikultural adalah
(1) Pendekatan Historis, (2) Pendekatan
Sosiologis,
(3) Pendekatan
kultural, (4) Pendekatan psikologis, (5) Pendekatan estetik, dan (6) Pendekatan Berperspektif
Gender.
Keenam pendekatan
ini sangat
memungkinkan
untuk
terciptanya
kesadaran pluralistik multikultural dalam pendidikan agama
(Islam) serta dalam penerapannya sangatlah mungkin diterapkan secara integratif, sehingga sangat memungkinkan pula
untuk terbentuknya suatu bentuk pendekatan baru.
Sedangkan metode yang umum digunakan dalam pelaksanaan pendidikan multikultural (sehingga dapat juga digunakan dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam berwawasan multikultural) antara lain adalah (1) Metode Kontribusi; (2) Metode Pengayaan; (3) Metode Transformasi;
(4) Metode Pembuatan Keputusan dan Aksi Sosial.
Pendekatan dan metode-metode di atas, dalam aplikasinya tidak dapat diberi batasan
dengan tegas,
dalam
arti semua pendekatan dan metode tersebut dapat diaplikasikan secara simultan dan integratif dalam suatu proses pembelajaran.
Di antara implementasi dari aplikasi simultan dan integral pendekatan dan metode di atas adalah terwujudnya
cooperative teaching (pembelajaran kooperatif),[9]
yang sangat memungkinkan
terdidik
berkomunikasi
interaktif satu dengan yang lainnya dengan optimal sehingga terwujud kesalingterbukaan dan kesalingpemahaman secara proporsional.
d.
Pendidik
Pendidik
adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberi bimbingan atau bantuan
kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai
kedewasaannya, maupun melaksanakan tugasnya sebagai mahluk Allah SWT.
Sehubungan dengan
pendidikan
agama, Nurcholish menegaskan bahwa
pendidikan agama “bukan sekadar pengajaran tentang segi-segi ritual dan formal agama kepada peserta didik,
namun lebih dalam dari aktivitas demikian, yakni “menuntut tindakan percontohan
lebih banyak daripada pengajaran verbal”.[10]
e.
Peserta didik
Pendidikan Islam menurut Nurcholis Madjid harus dapat memberikan
arah pengembangan dua dimensi bagi peserta didik, yakni dimensi ketuhanan dan
dimensi kemanusiaan. Jika diklasifikasikan, maka konsep pembaharuan pendidikan
Islam Nurcholis Madjid merupakan sebentuk corak pendidikan progresif plus
spiritualitas.
Hal ini dibuktikan dengan
memperhatikan dua orientasi pendidikan di atas dan prinsip-prinsip pemikiran
Nurcholis Madjid yang kerap menekankan sikap terbuka, fleksibel, kritis dalam
berpikir; gagasan tentang demokrasi; desakralisasi atau sekularisasi; atau
cita-cita masyarakat madani yang toleran dan plural. Kesemua modalitas ini
kemudian diwujudkan sebagai agenda pembaharuan pendidikan Islam melalui
seperangkat metodologi yang beberapa di antaranya telah penulis identifikasi
sebagai metode berpikir rasional, metode pemecahan masalah, eksperimen,
kontemplasi, diskusi, dan penguasaan bahasa asing.
Kegiatan menanamkan nilai-nilai, sesungguhnya akan membentuk
pendidikan keagamaan. Nilai – nilai itu antara lain: Islam, iman, ihsan,
taqwa, ikhlas, tawakal, syukur dan sabar. Kemudian nilai-nilai akhlak yang akan
mendorong kepada kemanusiaan antara lain: silaturrahmi, persaudaraan, adil,
baik sangka, rendah hati, tepat janji, lapang dada, dapat dipercaya, dan
sebagainya.
BAB
III
RELEVANSI PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM NUR
CHOLIS MADJID DENGAN PENDIDIKAN MASA TERKINI
[1] Baharuddin, pembaharuan
pemikiran islam di indonesia,(harakindo publishing, bandar lampung, 2009),
cetakan pertama, hal. 1.
[2] Sardjo marwan. Cak
nur,( penamadani, jakarta, 2005), hal. 7.
[3] Op. Cit. Hal.
56.
[4] Ahmad Baso,
Civil
Society versus Masyarakat Madani: Arkeologi Pemikiran Civil Society dalam Islam Indonesia (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1999),hlm 24.
[5] Hery
Noer Ali dan Munzier Suparta, Watak Pendidikan Islam (Jakarta: Friska Agung
Insani, 2003), hlm 227-234
[7]
Nurcholish Madjid, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia (Jakarta:
Paramadina, 1997),hlm 10.
[8]M. Amin Abdullah, Pendidikan Agama Era
Multikultural-Multireligius (Jakarta: PSAP, 2005),hlm 123-144.
[9]
Zainal Abidin, ed. Pendidikan Agama Islam dalam Perspektif Multikulturalisme
(Jakarta:
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2009),hlm
211.
No comments:
Post a Comment