Wednesday, November 25, 2015

pemikiran pendidikan islam menurut ibnu maskawaih

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Pengertian pendidikan secara umum, yang kemudian dihubungkan dengan islam sebagai suatu sistem keagamaan menimbulkan pengertian-pengertian baru, yang secara implisit menjelaskan karakteristik-karekteristik yang dimilikinya. Pengertian pendidikan dengan seluruh totalitasnya dalam konteks islam inheren dalam konotasi istilah “ Tarbiyah”, “Ta’lim” dan “ Ta’dib” yang harus dipahami secara bersama-sama.[1]
Dengan demikian pendidikan islam adalah segala upaya atau proses pendidikan yang dilakukan untuk membimbing tingkah laku manusia baik individu maupun sosial, untuk mengarahkan potensi baik potensi dasar (fitrah) maupun ajar yang sesuai dengan fitahnya melalui proses intelektual dan spritual berlandaskan nilai islam untuk mencapai kebahagian hidup di dunia dan di akhirat.[2]
Dari uraian diatas terlihat dengan jelas bahwa pemikiran muslim tentang pendidikan islam tidaklah monotelik
Pemikiran-pemikiran kependidikan yang diajukan para tokoh klasik tidak menutup kemungkinan masih ada yang cocok dan perlu dilaksanakan. Di tengah-tengah situasi dimana umat islam saat ini sedang mencari model pendidikan yang unggul dan terpadu sebagai upaya menajwab kebutuhan masyarakat. Sekilas tentang pemikiran-pemikiran Ibnu Maskawaih akan kami bahas dalam makalah ini.[3]



B.     Rumusan Masalah
1.      Biografi Ibnu Maskawaih?
2.      Apa Sajakah Karya-Karya Ibnu Maskawaih?
3.      Bagaimana Konsep Pemikiran Pendidikan Islam Menurut Ibnu Maskawaih?
4.      Bagaimana Relevansi Pemikiran Pendidikan Islam Ibnu Maskawaih Dengan Pendidikan Masa Terkini?

C.    Tujuan dan Kegunaan
Adapun tujuan yang hendak dicapai adalah agar pembaca dapat mengetahui biografi salah satu tokoh pemkiran pendidikan islam pada masa klasik beserta apa saja karya-karyanya, dan bagaimana konsep pemikirannya pada waktu itu dan apakah masih relevansi dengan pendidikan masa terkini.. Kami mengharapkan dari makalah ini dapat meningkatkan kesadaran umat islam akan pentingnya pendidkan dan akan lahir kontribusi pemikiran dalam mengapresiasi sosok pemikir pada zaman klasik yang karyanya membanjiri "ladang-ladang pengetahuan" dan menyentuh seluruh aspek keilmuan ini. Kemudian, untuk menyempurnakan tugas mata kuliah”Pemikiran Pendidikan Islam”.












BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Ibnu Maskawaih
Ibnu Miskawaih atau Abu Ali Al- Khazin memiliki nama lengkap Ahmad Ibn Muhammad Ibnu Ya’kub lahir sekitar tahun 941 masehi. Meninggal dunia pada tanggal 9 Shafar 421 Hijriah atau 16 Februari 1030 Masehi.[4] Belum bisa dipastikan apakah Miskawaih itu putra (Ibn) Muskawaih atau Miskawaih itu dia sendiri.
Dalam Ensiklopedi Islam dikatakan, Ibnu Maskawaih adalah seorang ahli sejarah dan filsafat. Disamping itu, ia juga seorang moralis, penyair serta ahli kimia.Nama lengkapnya adalah Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Yakub bin Maskawaih. Ia dilahirkan pada 330 Hijrah (941 M)] di Kota Ray (Teheran sekarang), dan wafat tahun 421 H/ 1030 M.[5]
Miskawaih merupakan penganut Syi’ah. Indikasi ini didasarkan pada pengabdiannya pada sultan dan wazir-wazir Syi’ah dalam masa pemerintahan Bani Buwaihi (320-448 M). Ketika Sultan Ahmad ‘Adhud al-Daulah memegang tampuk pemerintahan, dia menduduki jabatan yang penting, seperti Khazin, yaitu penjaga perpustakaan yang besar dan bendahara negara.
Yakut berkata bahwa ia pada mulanya beragama majusi kemudian memeluk Islam. Tetapi barangkali hal ini benar bagi ayahnya karena miskawaih sendiri seperti yang tercermin pada namanya ialah putera seorang muslim yang bernama Muhammad. Ibnu Miskawaih adalah seorang ahli fisika filsafat dan sejarah, beliau juga merupakan seorang bendahara dan teman dari Adud al- Daullah.[6]
Miskawaih merupakan seorang yang mempelajari falsafah terlebih dahulu tidak dimulai dengan ilmu alat lainnya berbeda dari kebiasaan para filosof lain. Yang terdahulu dipelajari adalah mengenai masalah akhlak dan ilmu jiwa bukan logika teori pengetahuan dan ilmu metodenya, tetapi beliau termasuk diantara tokoh pemikir yang menguasai secara sempurna filsafat-filsafat dan ilmu-ilmu terdahulu.[7]
Miskawaih pada awalnya belajar sejarah terutama Tarikh al Thabari kepada Abu Bakr Ibnu Kamil al- Qadhi (350H/960M). Miskawaih juga banyak belajar ilmu-ilmu filsafat dari Ibnu al-Khammar dan memperkenalkan karya-karya Aristoteles. Selain itu Miskawaih menyerap ilmu kimia dari Abu al-Thayyib al Razi, seorang ahli kimia. Disiplin ilmunya meliputi kedokteran, bahasa, sejarah, dan filsafat. Akan tetapi, dia populer sebagai seorang filosof akhlak daripada filosof ketuhanan. Bisa jadi, hal ini dipicu oleh kekacauan masyarakat pada masanya.[8]
Dilihat dari tahun lahir dan wafatnya, Ibnu Maskawaih hidup pada masa pemerintahan Bani Abbas yang berada di bawah pengaruh Bani Buwaih. Puncak prestasi atau zaman keemasan kekuasaan Bani Buwaih adalah pada masa ’Adhud Ad Daulah yang berkuasa dari tahun 367 hingga 372 H. Pada masa inilah Ibn Maskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi bendaharawan dan pada masa ini jugalah Ibn Maskawaih muncul sebagai seorang filosof, tabib, ilmuwan dan pujangga. [9]
Tetapi di samping itu, ada hal yang tidak menyenangkan hatinya, yaitu kemerosotan moral yang melanda masyarakat. Oleh karena itulah agaknya ia lalu tertarik untuk menitik beratkan perhatiannya pada bidang etika Islam. Setelah kematian Mu’izz, beliau telah dilantik menjadi Ketua Perpustakaan. Ini telah membuka peluang kepada Ibnu Maskawaih untuk menambah ilmu pengetahuan karena beliau berpeluang untuk membaca berbagai buku yang ditulis oleh para ilmuan Islam dan Yunani. Beliau kemudian dilantik menjadi Ketua Pemegang Amanah Khazanah yang bertanggungjawab menjaga perpustakaan Malik Adhdud Daulah.
Sehubungan dengan itu, hasil ketekunan dan kerajinan beliau dalam mencari ilmu pengetahuan akhirnya memberi hasil yang bernilai kepadanya. Ibnu Maskawaih telah berhasil membina dan membuktikan ketokohannya sebagai ilmuan yang mempunyai pengetahuan yang luas dalam berbagai bidang.
Riwayat Pendidikan Ibnu Maskawaih
Riwayat detail mengenai riwayat pendidikan Ibn Maskawaih tidak diketahui dengan jelas. Maskawaih tidak menulis otobiografinya, dan para penulis riwayatnya pun tidak memberikan informasi yang jelas mengenai latar belakang pendidikannya. Namun dalam beberapa literatur di dapat ketemukan oleh penulis adalah sebagai berikut : Ia belajar sejarah, terutama Tarikh At Thabary, kepada Abu Bakar Ahmad bin Kamil al Qaghi (350 H/960 M). Ibn Al Khammar, mufassir kenamaan karya-karya Aristoteles, adalah gurunya dalam ilmu-ilmu filsafat. Maskawaih mengkaji alkimia bersama abu At Thayyib ar Razi, seorang ahli alkimia.

B.     Karya-Karya Ibnu Maskawaih
Miskawaih tidak hanya dikenal sebagai seorang pemikir, tetapi juga sebagai penulis yang produktif. Dalam buku The History of The Muslim Philosophy disebutkan beberapa karya tulisnya, yaitu:
1.      Al-Fauz al-Akbar
2.      Al-Fauz al-Asghar
3.      Tajarib al-Umam
4.      Uns al-Farid
5.      Tartib al-Sa’adat
6.      Al-Mustaufa
7.      Jawidan Khirad
8.      Al-Jami’
9.      Al-Siya
10.  On the Simple Drugs
11.  On the Composition of the Bajats
12.  Al-Ashribah
13.  Tahzib al-Akhlaq
14.  Risalat fi al-Lazzat wa al-Alam fi Jauhar al-Nafs
15.  Ajwibat wa As’ilat fi al-Nafs wa al-‘Aql
16.  Al-Jawab fi al-Masa’il al-Salas
17.  Risalat fi Jawab fi Su’al Ali ibn Muhammad Abu Hayyan al-Shufi fi Haqiqat al-‘Aql
18.  Thaharat al-Nafs.[10]

C.    Konsep Pemikiran Pendidikan Islam Menurut Ibnu Maskawaih
1.      Tujuan
Corak pemikiran pendidikan Ibnu Maskawaih lebih bertedensi etis dan moral. Hal ini terlihat dari pendapatnya mengenai tujuan pendidikan yaitu sebagai berikut:
a.       Tercapainya akhlak mulia
b.      Kebaikan, kebahagian, dan kesempurnaan
Menurutnya tujuan pendidikan itu identik dengan tujuan hidup manusia maka dengan pendidikan manusia dapat mencapai tujuannya yaitu kebaikan, kebahagian, dan kesempurnaan.[11]

2.      Materi
Menurut Ibnu Maskawaih yang dikutip oleh Mahmud mengatakan bahwa materi pendidikan lebih menekankan pada materi yang bermanfaat bagi terciptanya akhlak mulia, dan menjadikan manusia sesuai dengan esensiasinya.[12]
Mengenai urutan yang harus diajarkan kepada perserta didik, yang pertama adalah mengenai kewajiban-kewajiban syariat sehingga peserta didik terbiasa melaksanakannya, yang kedua materi yang berhubungan dengan akhlak sehingga akhlak dan kualitas terpuji telah tertanam dalam diri anak, yang ketiga yaitu meningkatkan setahap demi setahap pada materi ilmu lainnya sehingga peserta didik mencapai tingkat kesempurnaan.

3.      Metode
a.       Metode alami (tabi’iy)
Ibnu Maskawaih mengatakan bahwa ide pokok dari metode alami ini adalah dalam pelaksanaan kerja dan proses mendidik itu berdasarkan atas pertumbuhan dan perkembangan manusia lahir batin, dan jasmaniah dan rohaniah.
b.      Nasihat dan tuntunan
Ibnu Maskawaih menyatakan supaya anak menaati syariat dan berbuat baik diperlukan nasihat dan tuntunan.
c.       Metode Hukuman
Ibnu Maskawaih mengindikasikan banyak sekali yang dapat dilakukan dalam mendidik salah satunya jika peserta didik tidak melaksanakan tata nilai yang telah diajarkan, mereka diberi sanksi berbagai cara sehingga mereka kembali pada tatanan nilai yang ada.
d.      Sanjungan dan pujian sebagai metode pendidikan
Menurutnya apabila peserta didik melaksanakan syariat dan berprilaku baik dia perlu dipuji.
e.       Mendidik berdasarkan asas-asas pendidikan
Menurutnya mendidik harus berdasarkan asas-asas pendidikan yaitu asas kesiapan, keteladanan, kebiasaan, dan pembiasaan. [13]



4.      Pendidik dan Peserta
Pendidik yang dalam hal ini guru, instruktur, ustadz, atau dosen memegang peranan penting dalam keberlangsungan kegiatan pengajaran dan pendidikan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Sedangkan anak didik yang selanjutnya disebut murid, siswa, peserta didik atau mahasiswa merupakan sasaran kegiatan pengajaran dan pendidikan merupakan bagian yang perlu mendapatkan perhatian yang seksama. Perbedaan anak didik yang menyebabkan terjadinya perbedaan materi, metode, pendekatan dan sebagainya.[14]
Kedua aspek pendidikan (pendidik dan anak didik) ini mendapat perhatian yang khusus dari Ibn Miskawaih. Menurutnya, orang tua merupakan pendidik yang mula-mula bagi anak-anaknya dengan syariat sebagai acuan utama materi pendidiknya. Karena peran yang demikian besar dari orang tua dalam kegiatan pendidikan, maka perlu adanya hubungan yang harmonis antara orang tua dan anak yang didasarkan pada cinta kasih. Namun demikian, cinta seseorang terhadap gurunya, menurut Ibnu Miskawaih harus melebihi cintanya terhadap orang tuanya sendiri.
Ibnu Miskawaih juga menyatakan bahwa cinta itu banyak jenis, sebab dan kualitasnya. Secara umum ia membagi cinta kepada empat bagian. Pertama, cinta yang cepat melekat tetapi juga cepat pudar. Kedua, cinta yang cepat melekat tetapi tidak cepat meudar. Ketiga, cinta yang melekatnya lambat tetapi pudarnya cepat pula, dan keempat cinta yang melekat dan pudarnya lambat. Cinta yang dasarnya karena kenikmatan, termasuk cinta yang cepat melekat dan cepat pula pudarnya. Sedangkan cinta yang dasarnya karena kebaikan, termasuk cinta yang cepat melekat tetapi lambat pudarnya. Selanjutnya cinta yang didasarkan atas kemanfaatan, termasuk cinta yang lambat melekatnya dan cepat pula pudar. Sedangkan cinta yang dasarnya adalah semua jenis kebaikan tersebut, maka melekat dan pudarnya lambat.
Adapun yang dimaksud guru biasa oleh Ibnu Miskawaih tersebut bukan dalam arti sekedar guru formal karena jabatan. Menurutnya, guru biasa adalah mereka yang memiliki berbagai persyaratan antara lain: bisa dipercaya; pandai; dicintai; sejarah hidupnya jelas tidak tercemar di masyarakat. Disamping itu, ia hendaknya menjadi cermin atau panutan dan bahkan harus lebih mulia dari orang yang dididiknya.[15]
























BAB III
RELEVANSI PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM IBNU MASKAWAIH DENGAN PENDIDIKAN MASA TERKINI


Menurut Ibnu Miskawaih, pendidikan yang sistematis dapat dilaksanakan apabila didasari dengan pengetahuan mengenai jiwa yang benar. Oleh karena itu pengetahuan tentang jiwa adalah sangat penting sekali dalam proses pendidikan. Kajian mengenai konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Ibnu Miskawaih, diharapkan mampu menguak konsep pendidikan Islam dalam skala khusus, terutama pendidikan akhlak yang dirasa penting, karena setiap budaya memiliki norma etika atau tata susila yang harus dipatuhi. Oleh karena itu, moral merupakan suatu fenomena manusiawi yang universal, yang hanya terdapat pada diri manusia.
  Dari karya Ibnu Miskawaih, tidak di temukan buku yang bertemakan “pendidikan” secara langsung. Hanya beberapa buku yang pembahasannya berkaitan dengan pendidikan dan kejiwaan, akal serta etika. Salah satu buku yang dinilai banyak mengandung konsep pendidikan ialah kitab Tahzib al-Akhlak wa Tathhir al-A’raq, yang banyak dijadikan rujukan ulama’ dalam pendidikan.
Dari konsep pemikiran pendidikan yang disampaikan oleh Ibnu Miskawaih, jika ditelaah dengan pendekatan epistemology secara hirarkhi, maka konsep tersebut selalu mengacu kepada tiga hirarkhi yaitu yang mengacu kepada kondisi psikologis dan kesiapan peserta didik, yang dipetakan menjadi tiga tingkatan yaitu bayany untuk pemula, burhany untuk orang dewasa dan ‘irfany bagi mereka yang telah matang baik jiwa maupun intelektual. Sementara dari segi materi dan sasarannya juga dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu empirik bagi pemula, logik bagi dewasa dan etik bagi yang tua.
              Penerapan sistem koedukasi dalam pendidikan Islam bagi Al-Qabisy bahwa tidak baik anak pria dan wanita bercampur dalam suatu kelas, karena dikhawatirkan rusak moralnya, maka pemisahan tempat pendidikan wajib dilakukan demi terjaga keselamatan anak-anak dari penyimpangan-penyimpangan akhlak. Sedangkan Rasyid Ridha menolak adanya manfaat dari koedukasi, dan menganggap bahwa koedukasi bukan sekedar memiliki kekurangan, namun dapat mendatangkan malapetaka, utamanya kaum wanita.
Al-Qabisy mengklasifikasi kurikulum pendidikan Islam ke dalam dua bagian besar yaitu ilmu-ilmu asasi/wajib (ijbari) dan ilmu-ilmu yang bukan asasi/tidak wajib (ikhtiyariy).  Dalam hal ini aspek pertama, masalah materi Alquran dan Hadis harus diajarkan dan diimpelementasikan secara asasi kepada lingkup lembaga pendidikan. Sementara aspek kedua, yakni aspek mu’amalah, diserahkan kepada komponen pelaksana/pengelola dan penanggungjawab pendidikan yang dapat dikondisionalkan

























BAB IV
KESIMPULAN
Ibnu Maskawaih mengatakan ada kalanya manusia mengalami perubahan khuluq sehingga dibutuhkan aturan-aturan syariat, nasihat, dan ajaran-ajaran tradisi terkait sopan santun. Bahkan beliau memperhatikan pula proses pendidikan akhlaq pada anak. Dalam pandangannya, kejiwaan anak-anak seperti mata rantai dari jiwa kebinatangan dan jiwa manusia yang berakal.
Sementara nilai-nilai keutamaan yang harus menjadi perhatian ialah pada aspek jasmani dan rohani. Ia pun mengharuskan keutamaan pergaulan anak-anak pada sesamanya dan mestilah ditanamkan sifat kejujuran, qonaah, pemurah, suka mengalah, mengutamakan kepentingan orang lain, rasa wajib taat, menghormati kedua orang tua, serta sikap positif lainnya.
Dalam hal jiwa manusia, Ibnu Maskawaih membaginya kepada tiga tingkatan, yakni  nafsu kebinatangan, nafsu binatang buas, dan jiwa yang cerdas. Hal ini ia jelaskan dengan ungkapan bahwa setiap manusia memiliki potensi asal yang baik, begitu pula manusia yang memiliki potensi asal jahat.
Ibnu Maskawaih memandang penting arti pendidikan dan lingkungan bagi manusia dalam hubungannya dengan pembinaan akhlaq. Dengan demikian manusia dengan akalnya dapat memilih dan membedakan mana yang seharusnya dilakukan dan mana yang harus ditinggalkan.
Pemikiran Ibnu Maskawaih dalam pendidikan tidak dapat dilepaskan dari konsepnya tentang manusia dan akhlaq. Ibnu Maskawaih memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki tiga daya, dari tiga macam daya tersebut, yang dua dari unsur materi dan yang satu dari ruh Tuhan.







DAFTAR PUSTAKA

Abdul Kholiq, dkk, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, Cet. I, Semarang: Pustaka Pelajar Offset, 1999.
Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Cet. IV, Jakarta: Logos Wacan Ilmu, 2002.
H.M. Suyudi, Pendidikan dalam perspektif Al-Qur’an, Cet. I. ( Yogyakarta; penerbit Mikraj, januari 2005).
Lihat Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislaman: Seputar filsafat, hukum, politik dan ekonomi Bandung: Mizan, 1993.
Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2011.
T. J. De Boer, The History Of Philosophy in Islam, New York: Dover Publication.
Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Temanggung: DIMAS, 1993.
Zar, Sirajuddin, 2010, Filsafat Islam: Fiosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), hlm. 128-129.




[1] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Cet. IV. ( jakarta: Logos Wacan Ilmu, 2002).
[2] H.M. Suyudi, Pendidikan dalam perspektif Al-Qur’an, Cet. I. ( Yogyakarta; penerbit Mikraj, januari 2005).
[3] Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 2-3.
[4] Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, (Temanggung: DIMAS, 1993), hlm.47
[5] Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam,( Bandung, Pustaka Setia, 2011), hlm.277.
[6] T. J. De Boer, The History Of Philosophy in Islam, (New York: Dover Publication). hlm.128.
[7] Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, (Temanggung: DIMAS, 1993), hlm.47.
[8] Zar, Sirajuddin, 2010, Filsafat Islam: Fiosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), hlm. 127-128.
[9] Lihat. Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislaman: Seputar filsafat, hukum, politik dan ekonomi (Bandung: Mizan, 1993), hlm 92-93.
[10] Zar, Sirajuddin, 2010, Filsafat Islam: Fiosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), hlm. 128-129.
[11]  Ibid, 282.
[12] Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung, Pustaka Setia,, 2011).
[13] Ibid, 286-288.
[14] Abdul Kholiq, dkk, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, Cet. I. ( Semarang: Pustaka Pelajar Offset, 1999), Hlm.16.
[15] Ibid, 19-20.

5 comments: