MAKALAH PPKn
”Pluralisme Dan Gender ”
Dosen Pengampu:
M.Affandi., M.Pd
Disusun Oleh:
Eri Saputra 1411100192
Khoiriyah Suryani 1411100206
Neva Sundariyawati 1411100231
Kelas D semester III
JURUSAN PGMI
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
IAIN LAMPUNG
2015/2016
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah
menganugrahkan nikmat kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas mata
kuliah Ppkn dengan judul “ pluralisme dan gender ”
Terima kasih kepada pihak-pihak yang
telah membantu dalam penyelesaian tugas makalah ini, semoga makalah ini dapat
diterima dengan baik dan dipergunakan sebagaimana mestinya.
Kami menyadari dalam penulisan
maupun penyajian makalah ini masih banyak kekurangan, untuk itu kami memohon
kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan makalah-makalah
selanjutnya.
Bandar
Lampung , 27 Desember
2015
Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................... 2
A.
Latar Belakang............................................................................. 2
B.
Rumusan Masalah....................................................................... 2
C.
Tujuan Penulisan......................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN......................................................................... 5
A.
Pluralisme..................................................................................... 5
B.
Gender.......................................................................................... 9
a.ketidakadilan gender.............................................................. 10
b. bentuk-bentuk diskriminasi gender..................................... 11
c. manifestasi gender pada posisi kaum perempuan............... 12
BAB III PENUTUP............................................................................... 17
A.
Kesimpulan................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA........................................................................... 18
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pluralisme dalam bahasa
inggris ialah pluralism yang berarti beragam pemahaman. Pluralisme menurut KBBI plu·ra·lis·me adalah keadaan masyarakat yang
majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya). Menurut asal katanya Pluralisme berasal dari
bahasa inggris, pluralism.Saat ini pluralisme menjadi polemik di Indonesia
karena perbedaan mendasar antara pluralisme dengan pengertian awalnya, yaitu
pluralism. Jika dilihat dari ide dan konteks konotasi yang
berkembang, pluralisme di Indonesia tidaklah sama dengan pluralism sebagaimana
pengertian dalam bahasa Inggris, dan tidaklah aneh jika kondisi ini memancing
timbulnya reaksi dari berbagai pihak. Sedangkan gender adalah
perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari
tingkah lakunya. Dalam kehidupan sosial
misalnya, berkembangan anggapan bahwa kedudukan laki-laki lebih tinggi daripada
perempuan,karena laki-laki dianggap lebih cerdas, kuat, dan tidak emosional. Semua anggapan
superioritas laki-laki tidak lain merupakan produk budaya belaka. Produk atau
konstruk budaya tentang gender tersebut telah melahirkan ketidakadilan gender.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa arti pluralisme ?
2.
bagaimana keadaan pluralisme yang ada di indonesia ?
3.
apa itu gender ?
4.
apa saja bentuk – bentuk diskriminasi gender ?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Agar mengetahui apa arti pluralisme.
2.
Agar mengetahui bagaimana keadaan pluralisme yang ada di
indonesia.
3.
Agar mengetahui apa itu gender.
4.
Agar mengetahui apa saja bentuk-bentuk diskriminasi
gender.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................
D.
Latar Belakang...............................................................................
E.
Rumusan Masalah.........................................................................
F.
Tujuan Penulisan...........................................................................
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................
C.
.........................................................................................................
BAB III PENUTUP...................................................................................
B.
Kesimpulan.....................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................
BAB I
PEMBAHASAN
1. Pluralisme
Pluralisme (bahasa
Inggris: pluralism),
terdiri dari dua kata plural (beragam)
dan isme (paham) yang
berarti beragam pemahaman, atau bermacam-macam paham. Pluralisme
sebagai paham religius artifisial yang berkembang di Indonesia, mengalami
perubahan ke bentuk lain dari asimilasi yang semula menyerap istilah pluralism.
Menurut asal katanya Pluralisme berasal dari bahasa inggris, pluralism. Apabila
merujuk dari wikipedia bahasa Inggris, maka definisi [eng] pluralism adalah :
"In the social sciences, pluralism is a
framework of interaction in which groups show sufficient respect and tolerance
of each other, that they fruitfully coexist and interact without conflict or
assimilation." Atau dalam bahasa Indonesia : "Suatu kerangka
interaksi yang mana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu
sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (pembauran/
pembiasan)."
Pluralisme
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), plu·ra·lis·me adalah keadaan
masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya);
Secara istilah pluralisme adalah pertalian sejati kebhinnekaan dalam ikatan
keadaban yang disertai dengan sikap tulus untuk menerima kenyataan perbedaan
sebagai sesuatu yang alamiah dan Rahmat Tuhan bagi kehidupan.
Saat ini pluralisme menjadi polemik di
Indonesia karena perbedaan mendasar antara pluralisme dengan pengertian
awalnya, yaitu pluralism, sehingga memiliki arti :
a. Pluralisme diliputi semangat religius,
bukan hanya sosial cultural.
b. Pluralisme digunakan sebagai alasan
pencampuran antar ajaran agama.
c. Pluralisme digunakan sebagai alasan
untuk mengubah ajaran suatu agama agar sesuai dengan ajaran agama lain.
Jika melihat kepada ide
dan konteks konotasi yang berkembang, jelas bahwa pluralisme di Indonesia
tidaklah sama dengan pluralism sebagaimana pengertian dalam bahasa Inggris, dan
tidaklah aneh jika kondisi ini memancing timbulnya reaksi dari berbagai pihak.
Identik dengan istilah ‘pluralisme’ yang
berarti ‘beragam’, pendapat orang tentang istilah ini juga beraneka ragam
pula. Secara harfiah pluralisme berarti jamak, beberapa, berbagai hal,
keberbagaian atau banyak. Oleh karenanya sesuatu dikatakan plural pasti
terdiri dari banyak hal jenis, pelbagai sudut pandang serta latar
belakang.
Istilah pluralisme sendiri sesungguhnya adalah
istilah lama yang hari-hari ini kian mendapatkan perhatian penuh dari semua
orang. Dikatakan istilah lama karena perbincangan mengenai pluralitas telah
dielaborasi secara lebih jauh oleh para pemikir filsafat Yunani secara konseptual
dengan aneka ragam alternatif memecahkannya. Para pemikir tersebut
mendefinisikan pluralitas secara berbeda-beda lengkap dengan beragam tawaran
solusi menghadapi pluralitas. Permenides menawarkan solusi yang berbeda dengan
Heraklitos, begitu pula pendapat Plato tidak sama dengan apa yang
dikemu-kakan Aristoteles. Hal itu berarti bahwa isu pluralitas sebenarnya setua
usia manusia. Sebelum pertimbangan-pertimbangan atau interrest-interrest yang
bersifat politis, ideologis dan ekonomis menyertai kehidupan seseorang, dalam
kehidupan praktis sehari-hari, umat manusia telah menjalani kehidupan yang
pluralistik secara alamiah dan wajar-wajar saja. Kehidupan mengalir apa adanya
tanpa ada prasangka dan perhitungan-perhitungan lain yang lebih rumit.
Persoalan menyeruak ketika berbagai kepentingan dan pertimbangan tadi menempel
dalam pola interaksi antar manusia. Apalagi jika kepentingan yang disebut di
atas lebih menonjol, maka gesekan dan konflik adalah sesuatu yang tak
terelakkan.
Bangsa Indonesia sendiri adalah bangsa yang
sering disebut sebagai bangsa paling majemuk di dunia. Di negara dengan jumlah
penduduk lebih dari 200 juta jiwa ini, berdiam tidak kurang dari 300 etnis dengan
identitas kulturalnya masing-masing, lebih dari 250 bahasa dipakai,
beraneka adat istiadat serta beragam agama di anut. Kendati demikian
kehidupan berjalan apa adanya selama bertahun-tahun. Orang dengan suku berbeda
dapat hidup rukun dengan suku lain yang berbeda adat, bahasa, agama dan
kepercayaan. Gesekan dan konflik memang kerap terjadi kerena memang hal itu
bagian dari dinamika masyarakat, namun semua gesekan yang ada masih dalam tahap
terkendali. Keadaan berubah ketika masyarakat pendukung tak mampu menyikapi dan
mengelola segala perbedaan dan konflik yang ada menjadi “energi sosial” bagi
pemenuhan kepentingan bersama.
Konflik sendiri merupakan keniscayaan.
Keberadaannya senantiasa mengiringi masyarakat plural. Hampir tidak mungkin
sebuah masyarakat yang plural tak terlibat dan mengalami konflik. Konflik di
sini memang tidak identik dengan kerusuhan dan pertikaian. Konflik bisa saja
tidak muncul kepermukaan karena diredam sebagaimana selama ini efektif
dimainkan oleh rezim pemerintah Orde Baru, tetapi keberadaannya tak akan hilang
sama sekali. Jika keadaan memungkinkan konflik terselubung (hidden conflict)
itu akan meledak seperti saat ini. Dengan kata lain, akibat tersumbatnya
konflik secara tidak proporsional maka akan lahir konflik yang distruktif dan
berpotensi disintegratif bagi kelangsungan sebuah bangsa.
Jika pluralisme itu given, sementara konflik
adalah sesuatu yang inhern di dalamnya. Pertanyaan selanjutnya bagaimana
mengelola pluralitas dan konflik yang ada sehingga menjadi sebuah energi
sosial bagi penciptaan tatanan bangsa yang lebih baik. Jawabannya tentu panjang
dengan melibatkan pengkajian seluruh faktor yang ada. Akan tetapi terkait
dengan kajian ini (memahami pluralitas), ternyata menjaga kerukunan
tidak cukup hanya memahami keanekaragaman yang ada di sekitar kita secara
apatis dan pasif. Memahami pluralisme meski melibatkan sikap diri secara
pluralis pula. Sebuah sikap penuh empati, jujur dan adil menempatkan
kepelbagaian, perbedaan pada tempatnya, yaitu dengan menghomati, memahami dan
mengakui eksistensi orang lain, sebagaimana menghormati dan mengakui eksistensi
diri sendiri.
Demikian juga dalam menyikapi pluralisme
beragama. Sikap yang seyogyanya dilakukan seseorang adalah dengan memahami dan
menilai “yang” (agama) lain berdasarkan standar mereka sendiri serta
memberi peluang bagi mereka untuk mengartikulasikan keyakinannya secara bebas.
Alwi Shihab memberi gabaran cukup baik dalam mengartikulasikan pluralisme
agama. Menurutnya, “Pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama
dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak orang lain, tetapi juga
terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan, guna tercapainya
kerukunan dalam kebhinekaan”. Melalui pemahaman tentang pluralisme yang benar
dengan diikuti upaya mewujudkan kehidupan yang damai seperti inilah akan
tercipta toleransi antar umat beragama di Indonesia.
Toleransi yang dimaksud tentu saja bukan
toleransi negatif (negatif tolerance) sebagaimana yang dulu pernah dijalankan
oleh pemerintah orde baru, tetapi toleransi yang benar adalah toleransi positif
(positive tolerance). Sikap toleran yang disebut pertama adalah sikap toleransi
semu dan penuh dengan kepura-puraan. Toleransi jenis pertama ini menganjurkan
seseorang untuk tidak menonjolkan agamanya di hadapan orang yang beragama
lain. Jika Anda Kristen, maka jangan menonjol-nonjolkan ke-Kristenan Anda di
hadapan orang Muslim, demikian pula sebaliknya. Sementara toleransi yang
tersebut kedua adalah toleransi yang sesungguhnya, yang mengajak setiap umat
beragama untuk jujur mengakui dan mengekspresikan keberagamaannya tanpa
ditutup-tutupi. Dengan demikian identitas masing-masing umat beragama tidak
tereliminasi, bahkan masing-masing agama dengan bebas dapat mengembangkannya.
Inilah toleransi yang dulu pernah dianjurkan oleh Kuntowijoyo.
Meskipun konsep toleransi positif seperti di
atas terbilang konsep lama, tetapi implemenetasinya bukanlah perkara mudah.
Sebuah survey mutaakhir yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan
Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta terhadap Sikap Komunitas Pendidikkan Islam dan
Toleransi dan Pluralisme memperlihatkan beberapa gambaran yang cukup
mengkhawatirkan. Survey yang dilakukan di awal tahun 2006 ini secara umum
menunjukkan bahwa komunitas pendidikkan Islam Indonesia memperlihatkan sikap
kurang bahkan tidak toleran. Hal ini bisa dilihat dari besarnya responden
(85,7%) yang tidak setuju anggota keluarganya menikah dengan non-muslim,
anggota keluarga boleh menikah dengan non muslim, asal masuk Islam lebih dulu
(88%). Sementara terhadap pertanyaan; dibanding umat lain, umat Islam
adalah sebaik-baik umat sebanyak 92,5% karenanya non-Islam harus masuk
agama Islam (58,7%). Tidak boleh mengucapkan salam “assalamualaikum” dan
selamat hari natal (“selamat natal”) kepada non-Muslim (73,5%) dan setiap
Muslim berkewajiban mendakwahkan agamanya kepada orang-orang non muslim
(73%).[8] Adanya fakta seperti ini tentu merupakan sesuatu sangat
memprihatinkan karena hal ini terjadi di komunitas pendidikkan agama Islam.
Artinya jika komunitas pendidikkan saja -sebagai bagian dari transmisi ajaran
Islam- menunjukkan sikap demikian, maka bisa dibayangkan bagaimana dengan
komunitas awam.
2.
Gender
Gender itu berasal dari bahasa Latin “GENUS”
yang berarti jenis atau tipe. Gender adalah
sifat dan perilaku yang diletakkan pada laki-laki. Menurut Ilmu Sosiologi dan
Antropologi, Gender itu sendiri adalah perilaku pembagian
peran antara laki-laki dan perempuan yang sudah dikontruksikan atau dibentuk di
masyrakat tertentu dan pada masa waktu tertentu pula.
Secara umum gender adalah perbedaan
yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari tingkah lakunya.
Dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa genjer adalah suatu konsep
kultural yang berkembang di masyarakat yang berupaya membuat perbedaan peran,
perilaku, mentalitas, dan karakter emosional antara laki-laki dan perempuan.
Perbedaan tersebut sudah lama melekat dalam pandangan umum masyarakat sehingga
melahirkan anggapan bahwa perbedaan peran tersebut sebagai sesuatu bersifat
kodrati dan telah menimbulkan ketimpangan pola hubungan dan peran sosial antara
laki-laki dan perempuan. Konsep budaya yang telah dianggap sebagai sesuatu yang
kodrati tersebut dapat dilihat pada anggapan umum, misalnya, bahwa
perempuan identik dengan urusan rumah tangga semata, sedangkan laki-laki
sebaliknya identik dengan pengelola dan penanggung jawab urusan ekonomi.
Ketimpangan tersebut terjadi karena adanya
aturan, tradisi, dan hubungan timbal balik yang menentukan batas antara
feminitas dan maskulinitas sehingga mengakibatkan adanya pembagian peran, dan
kekuasaan antara perempuan dabn laki-laki. Dalam kehidupan sosial misalnya,
berkembangan anggapan bahwa kedudukan laki-laki lebih tinggi daripada
perempuan,karena laki-laki dianggap lebih cerdas, kuat, dan tidak emosional.
Semua anggapan superioritas laki-laki tidak lain merupakan produk budaya
belaka. Produk atau konstruk budaya tentang gender tersebut telah melahirkan
ketidakadilan gender.
A.
Ketidakadilan
gender
Ketidakadilan gender ini dapat dilihat
dalam berbagai bentuk:
1) Marginalisasi perempuan, yakni
pengucilan perempuan dari kepemilikan akses, fasilitas, dan kesempatan
sebagaimana dimiliki oleh laki-laki. Misalnya kesempatan perempuan untuk
meneruskan sekolah ke jenjang lebih tinggi cenderung lebih kecil
ketimbang laki-laki.Di sektor pekerjaan, marginalisasi ini biasanya
ditemukan dalam bentuk pengucilan perempuan dari jenis pekerjaan tertentu;
peminggiran perempuan kepada jenis pekerjaan yang tidak stabil, berupah rendah,
dan kurang mengandung keterampilan; pemusatan perempuan pada jenis
pekerjaan tertentu (feminisasi pekerjaan), dan pembedaan upah perempuan.
2) Penempatan perempuan pada posisi
tersubordinasi, yakni menempatkan perempuan pada prioritas yang lebih rendah
ketimbang laki-laki. Kasus seperti ini kerap terjadi dalam hal pekerjaan,
sehingga perempuan sulit memperoleh kesempatan mendapatkan posisi yang
sejajar dengan laki-laki.
3) Stereotipisasi perempuan, yakni
percitraan atas perempuan yang berkonotasi negatif. Dalam banyak kasus
pelecehan seksual, misalnya perempuan sering kali dijadikan penyebab karena
pencitraan mereka yang suka bersolek dan penggoda.
4) Kekerasan terhadap perempuan,
kekerasan ini timbul akibat anggapan umum bahwa laki-laki pemegang supremasi
dan dominasi atas semua sektor kehidupan.
5) Beban kerja yang proporsional,
pandangan bahwa perempuan sebagai makhluk Tuhan kelas dua yang dibentuk oleh
dominasi laki-laki pada akhirnya memarginalkan peran perempuan yang seharusnya
diperlukan oleh manusia yang memiliki hak dan kewajiban. Pandangan ini tidak
saja meminggirkan peran perempuan tetapi juga ketidakadilan beban kerja atas
perempuan : selain menjalani fungsi reproduksi seperti hamil, melahirkan,
dan menyusui, perempuan juga dibebani pekerjaan domestik lainnya seperti
memasak, mengurus keluarga, dan sebagainya. Adapun bentuk-bentuk
diskriminasi gender
B. Bentuk-bentuk
Diskriminasi Gender
Bentuk-bentuk diskriminasi gender antara lain;
a. Marginalisasi
(peminggiran)
Peminggiran banyak terjadi dalam bidang ekonomi,
misalnya banyak peerempuan hanya mendapatkan pekerjaan yang tidak terlalu
bagus, baik dari segi gaji, jaminan kerja, ataupun status dari pekerjaan yang
didapatkan. Hal ini terjadi karena sedikit perempuan yang mendapatkan peluang
pendidikan. Peminggiran dapat terjadi dirumah, tempat kerja, masyarakat, bahkan
oleh Negara yang bersumber keyakinan, tradisi atau kebiasaan, kebijakan
pemerintah, maupun asumsi-asumsi ilmu pengetahuan (teknologi).
b. Subordinasi
(penomor duaan)
Anggpan bahwa perempuan lemah,tidak mampu
memimpin, cengeng dan lain sebagainya, mengakibatkan peempuan jadi nomor dua
setelah laki-laki.
c. Stereotif
(citra buruk)
Yaitu pandangan buruk terhadap peempuan.
Misalnya perempuan yang pulang larut malam adalah pelacur, jalang, dan berbagai
sebutan buruk lainnya.
d. Violence
(kekerasan)
Yaitu serangan fisik dan psikis. Perempuan,
pihak paling rentan mengalami kekerasan. Dimana hal itu terkait dengan
marginalisasi, subordinasi maupun stereotif di atas. Perkosaan, pelecehan seksual
atau perampokan: contoh kekerasan paling banyak dialami perempuan.
e. Beban kerja
berlebihan
Yaitu tugas dan tanggung jawab perempuan berat
dan terus menerus. Misalnya, seoramg perempuan selain melayani suami (seks),
hamil, melhirkan, menyusui, juga harus menjaga rumah. Disamping itu, kadang ia
juga ikut mencari nafkah (dirumah), dimana hal tersebut tidak berarti
menghilangkan tugas dan tanggung jawab diatas.
C. Manifiestasi Gender Pada Posisi Kaum Perempuan
Kita telah menyadari bahwa perbedaan gender
(gender differences) telah melahirkan ketidak adilan gender (gender
inequalitces) dan ternyata perbedaan gender ini mengakibatkan lahirnya sifat
dan stereotipe yang oleh masyarakat dianggap sebagai ketentuan kodrati atau
bahkan ketentuan Tuhan. Sifat dan stereotype yang sebenarnya merupakan
kontruksi ataupun rekayasa social dan akhirnya terkokohkan menjadi kodrat
cultural. Dalam proses yang panjang akhirnya telah mengakibatkan
terkondisikannya beberapa posisi peran-peran anatara lain:
1. Perbedaan dan
pembagian gender yang mengakibatkan termanifestasi dalam posisi subordinasi
kaum perempuan dihadapan laki-laki. Subordinasi ini berkaitan dengan politik
terutama menyangkut soal proses pengambilan keputusan dan pengendalian
kekuasaan. Meskipun jumlahnya 50% dari penduduk bumi, namun posisi kaum
perempuan ditentukan dan dipimpin oleh kaum laki-laki. Subordinasi tersebut
tidak saja secara khusus terdapat dalam birokrasi pemerintahan, masyarakat
maupun masing-masing rumah tangga, tetapi juga secara global. Banyak sekali
contoh kasus, baik dalam tradisi, tafsir keagamaan, maupun dalam aturan
birokrasi dimana kaum perempuan diletakkan dalam posisi yang lebih rendah dari
kaum laki-laki. Contohnya; persyaratan bagi perempuan yang hendak menunaikan
tugas belajar keluar Negeri, ia harus
mendapat izin dari suaminya, tapi sebaliknya suami tidak perlu persyaratan izin
dari isteri.
2. Secara
ekonomis, perbedaan dan pembagian gender juga melhirkan proses marginalisasi
perempuan. Proses marginalisasi perempuan terjadi dalam kultur, birokrasi
maupun program-program pembangunan. Misalnya dalam program pertanian yang
dikenal dengan Revolusi Hijau. Kaum perempuan secara sistematis disngkirkan dan
dimiskinkan. Penggantian bibit pertanian jenis unggul terpaksa mengganti
ani-ani dengan sabit, artinya mengusur banyak sekali pekerjaan kaum perempuan
dikomunitas agraris terutama dipedesan. Dengan hanya mengakui laki-laki sebagai
kepala Rumah Tangga program indrustrialisasi pertanian sevara sistematis
menghalangi, tidak member ruang bagi kaum perempuan untuk mendapatkan pelatihan
dalam bidang pertanian ataupun akses kredit, perlakuan semacam itu secara tidak
terasa menggusur keberadaan kaum perempun yang selalu tidak produktif (dianggap bernilai rendah) sehingga
,endapat imbalan ekonomis lebih rendah.
3. Perbedaan dan
pembagian gender juga membentuk penandaan atau stereotif terhadap kaum
perempuan yang berakibat pada penindasan terhadap mereka. Stereotif merupakan
satu bentuk penindasan ideology, cultural, yakni pemberian label yang
memojokkan kaum perempuan, sehingga berakibat kepada posisi dan kondisi kaum
perempuan. Misalnya stereotif kaum perempuan sebagai “ibu rumah tangga” sangat
merugikan mereka. Akibatnya jika mereka hendak aktif dalam kegiatan yang
dianggapnya sebagai bidang kegiatan laki-laki seperti kegiatan politik, bisnis,
ataupun dipemerintahan, maka dianggap bertentangan atau tidak sesuai dengan
kodrat perempuan. Sementara stereotype laki-laki sebagai “pencari nafkah”
mengakibatkan apa saja yang dihasilkan oleh kaumperempuan dianggap sebagai
“sambilan atau tambahan” dan cenderung tidak dihitung, tidak dihargai.
4. Perbedaan dan
pembagian gender juga membuat kaum perempuan bekerja lebih keras dengan memeras
keringat jauh lebih panjang (double-burden) pada umumnya dicermati, disuatu
rumah tangga ada beberapa jenis pekerjaan yang dilakukan olh laki-laki beberapa
pekerjaan yang dilakukan perempuan. Pada kenyataannya, dalam banyak observasi
yang dilakukan menunjukkan bahwa hamper 90% pekerjaan domistik dikerjakan oleh
perempuan. Terlebih-lebih bagi mereka yang bekerja seperti buruh industtri
ataupun profesi lainnya. Artinya mereka memiliki peran ganda (beban kerja
dirumah tangga dan diluar rumah).
5. Perbedaan
gender tersebut juga melahirkan kekerasan dan penyiksaan (violence) terhadap
kaum perempuan, baik secara fisik ataupun secara mental. Keberagaman bentuk
kekerasan terhadap kaum perempuan terjadi karena perbedaan gender muncul dalam
berbagai bentuk. Yaitu bersifat fisik seperti, pemerkosaan, persetubuhan,
antara anggota keluarga (incest) pemukulan dan penyiksaan, bahkan yang lebih
sadis lagi pemotongan alat genital perempuan dan lain sebagainya. Kekerasan
dalam bentuk nonfisik, yang sering terjadi misalnya pelecehan seksual,
menyebabkan ketidaknyamanan bagi peempuan secara emosional.
6. Perbedaan dan
pembagian gender dengan segenap manifestasinya, diatas, mengakibatkan
tersosialisasinya citra, posisi, kodrat dan penerimaan nasib perempuan yang
ada. Dengan kata lain segenap manifiestasi ketidakadilan gender itu sendiri
merupakan proses penjinakan (cooptatior) peran gender perempuan, sehingga kaum
perempuan sendiri juga menganggap bahwa kondisi dan posisi yang ada seperti ini
sebagai sesuatu yang normal dan kodrarti.
Pelanggengan
posisi subordinasi, stereotype ddan kekerasan terhadap kaum perempuan secara
tidak sadar juga dijalankan oleh ideology dan kultur patriarki, yakni ideology
kelakian. Ideology ini ada dikepala kaum laki-laki maupun perempuan, juga dalam
tafsir agama yang sangat mempengaruhi kebijakan negara dan birokrasi
pembangunan. karena itu kaum perempuan membuat sebuah gerakan
yaitu gerakan transformasi yang artinya suatu proses gerakan untuk menetapkan hubungan antara manusia
yang secara fundamental. Hubungan ini meliputi; politik, cultural, ideology,
lingkungan dan termasuk di dalamnya hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Dalam wacana hubungan Islam dan
kesetaraan Gender perempuan, Islam memandang perempuan mempunyai
hak dan kewajiban yang sama seperti laki-laki. Kualitas manusia dalam Islam
terletak pada prestasi seseorang mengenal perbedaan jenis kelamin.
Kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama dihadapan Allah
(QS.4: 3). Islam mengakui kedudukan antara laki-laki dan perempuan adalah sama.
Keduanya diciptaka dari satu nafs (living entity), dimana yang satu tidak
memiliki keunggulan atas yang lain. perbedaan jenis
kelamin bukanlah dasar untuk berbuat ketidakadilan gender. Pandangan-pandangan
yang mengandung bias negatif terhadap perempuan, dan sering dinilai sebagai
pandangan ajaran islam, adalah tidak lain bersumber dari budaya patriak yang
menempatkan posisi sosial-politik laki-laki diatas perempuan, yang kemudian
menjadi tafsir keagamaan yang dijadikan legimitasi untuk mendominasi atas peran
perempuan. Dalam sejarah pemikiran Islam, pandangan patriaki banyak dijumpai
dalam khazanah hukum Islam (fikih). Reorientasi pemahaman agama (Islam) harus
dilakukan supaya dapat menempatkan kedudukan dan peran perempuan pada
proporsi benar.
Gender tidak bersifat universal, tetapi
hirearki gender dapat dikatakan universal, oleh karena subordinasi perempuan
tidak dapat dijelaskan dengan perbedaan jenis kelamin, maka kemudian lahirlah
konsep gender secara garis besar. Teori yang dikembangkan untuk menjelaskan
hirearki gender dapat dibagi menjadi empat kelompok yaitu:
1) Teori adaptasi awal
Teori adaptasi awal menyatakan bahwa adaptasi
awal manusia merupakan awal dibangun berdasarkan asumsi sebagai berikut :
· Berburu sangat penting bagi
kelangsungan hidup nenek moyang kita.
· Laki-lakilah yang hampir selalu
melakukan kegiatan berburu.
· Perempuan tergantung pada
laki-laki untuk mendapatkan daging.
· Laki-laki berbagi daging
buruannya terutama dengan isterinya dan anak-anaknya.
· Sekali pola pembagian peran berdasarkan
jenis kelamin itu terbentuk, tidak berubah hingga sekarang.
2) Teori teknik lingkungan
Teori ini berdasarkan pada apa yang dianggap
sebagai hukum alam, yaitu kelangkaan sumber daya dan tekanan penduduk. Teori
ini menjelaskan bahwa upaya untuk mengontrol pertumbuhan penduduk telah menjadi
masalah sejak dulu, dalam konteks ini subordinasi perempuan berakar pada peran
reproduktif mereka.
3) Teori sosiobiologi
Menurut teori ini laki-laki muncul akibat
seleksi alam terutama ketahanan tubuh.
4) Teori sruktural
Teori ini dibangun berdasarkan asumsi bahwa
subordinasi perempuan adalah kultural sekaligus Universal. Salah satu kelompok
teori yang masuk golongan struktural ini beranggapan bahwa perempuan mempunyai
status yang lebih rendah dan otoritas yang lebih sedikit daripada laki-laki.
Dengan demikian status relatif perempuan tergantung pada derajat keterlibatan
mereka dalam arena publik dan partisipasi laki-laki dalam arena
domestik. Kelompok lain dari teori struktural berpendapat bahwa subordinasi itu
struktural, akan tetapi ia berakar pada pembagian kerja berdasarkan
gender.pembagian kerja ini bersumber pada asosiasi simbolik yang universal
antara perempuan dengan alam dan laki-laki dengan budaya.
BAB
III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Pluralisme (bahasa Inggris: pluralism),
terdiri dari dua kata plural (beragam)
dan isme (paham) yang
berarti beragam pemahaman, atau bermacam-macam paham. pluralisme
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), plu·ra·lis·me adalah keadaan
masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya). Bangsa Indonesia sendiri adalah bangsa yang sering disebut sebagai
bangsa paling majemuk di dunia. beraneka adat istiadat
serta beragam agama di anut. Kendati demikian kehidupan berjalan apa
adanya selama bertahun-tahun. Orang dengan suku berbeda dapat hidup rukun
dengan suku lain yang berbeda adat, bahasa, agama dan kepercayaan
Sedangkan Gender itu berasal dari bahasa Latin “GENUS”
yang berarti jenis atau tipe. gender adalah
perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari
tingkah lakunya.
DAFTAR PUSTAKA
izin copas ya kak, terima kasihh
ReplyDeleteIZIN COPAS
ReplyDeleteIzin copas
ReplyDeleteIzin brader
ReplyDeleteIzin kakak semoga bermanfaat
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete