Wikipedia

Search results

Wednesday, January 27, 2016

Masyarakat Madani

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
Wacana dan praksis tentang civil society belakangan ini semakin surut. Kecenderungan ini sedikit mengherankan karena dalam “transisi” menuju demokrasi, seharusnya wacana dan praksis civil society semakin kuat, bukan melemah. Alasannya, eksistensi civil society merupakan salah satu diantara tiga prasyarat pokok yang sangat esensial bagi terwujudnya demokrasi.
Mewujudkan masyarakat madani adalah membangun kota budaya bukan sekedar merevitalisasikan adab dan tradisi masyarakat local, tetapi lebih dari itu adalah membangun masyarakat yang berbudaya agamis sesuai keyakinan individu, masyarakat berbudaya yang saling cinta dan kasih yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan .
1.2  Rumusan Masalah
a.       Apa pengertian masyarakat madani ?
b.      Apa fungsi masyarakat madani?
c.       Apa prinsip-prinsip masyarakat madani?
d.      Apa yang  dimaksud nilai-nilai masyarakat madani?

1.3  Tujuan Masalah
a.       Mengetahui pengertian madani
b.      Mengetahui fungsi masyarakat madani
c.       Mengetahhui prinsip-prinsip masyarakat madani
d.      Mengetahui nilai-nilai masyarakat madani



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Masyarakat Madani
Konsep ini merupakan penerjemahan istilah dari konsep civil society yang pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam ceramahnya pada Simposium Nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada acara Festival Istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta. Konsep yang diajukan oleh Anwar Ibrahim ini merupakan sebuah potret bahwa masyarakat yang ideal adalah kelompok masyarakat yang memiliki peradaban maju. Lebih lanjut Anwar Ibrahim menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Masyarakat mendorong daya usaha serta inisiatif individu baik dari segi pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintahan mengikuti undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu menjadikan keterdugaan atau predictablity serta ketulusan atau transparency sistem.
Munculnya ide tersebut dilatarbelakangi oleh adanya kemelut yang diderita oleh ummat manusia seperti meluasnya kejahatan, sikap melampaui batas dan tidak toleran; kemiskinan dan kemelaratan; ketidakadilan dan kebejatan sosial, kebodohan, kelesuan intelektual dan kemiskinan budaya adalah manifes tasi kritis masyarakat madani. Kemelut ini secara umum dapat disaksikan di kalangan masyarakat Islam baik di Asia maupun Afrika, seolah -olah ummat terjerumus kepada salah satu kezaliman. Kezaliman akibat kediktatoran atau kezaliman yang timbul dari runtuhnya atau ketiadaan order politik serta peminggiran rakyat dari proses politik. Kesimpulan Anwar Ibrahim tentang prinsip dan ide mendasar masyarakat madani: yaitu prinsip moral, keadilan, keseksamaan, musyawarah dan demokrasi.
Penerjemahan civil society menjadi masyarakat madani ini juga dilatarbelakangi oleh konsep kota illahi, kota peradaban atau masyarakat kota. Di sisi lain, pemaknaan Masyarakat Madani ini juga dilandasi oleh konsep tentang Al-Mujtama’ Al-Madani yang diperkenalkan oleh Prof. Naquib al-Attas, seorang ahli sejarah dan peradaban Islam dari Malaysia dan salah seorang pendiri Institute for Islamic Thought and Civilization (ISTAC), yang secara definitif masyarakat madani merupakan konsep masyarakat ideal yang mengandung dua komponen besar yakni masyarakat kota dan masyarakat yang beradab.  
Terjemahan makna masyarakat madani ini, banyak diikuti oleh para cendekiawan dan ilmuan di Indonesia, seperti Nurcholish Madjid, M. Dawam Rahardjo, Azyumardi Azra dan sebagainya. Pada prinsipnya konsep masyarakat madani (civil society) adalah sebuah tatanan komunitas masyarakat yang mengedepankan toleransi, demokrasi dan berkeadaban. Di sisi lain masyarakat madani mensyaratkan adanya toleransi dan menghargai akan adanya pluralisme (kemajemukan).
Istilah masyarakat madani sebenarnya masih baru, hasil pemikiran Prof. Naquib al-Attas seorang filosof kontemporer dari negeri jiran Malaysia, kemudian mendapat legiti masi dari beberapa pakar di Indonesia termasuk seorang Nurcholish Madjid yang telah melakukan rekonstruksi terhadap masyarakat madani dalam sejarah Islam pada artikelnya ”Menuju Masyarakat Madani”. Dan masih banyak lagi dukungan dari pakar-pakar lain.
Sekilas perwujudan masyarakat Madinah itu, yaitu diawali ketika Rasulullah hijrah dari Mekkah menuju kota Yatsrib (sekarang Madinah al Munawwarah). Karena itu, Rasulullah Muhammad saw dalam berdakwah di Makkah selalu mendapatkan rintangan dari kaum kafir, kemudian Muhammad hijrah ke Yatsrib. Di sini, Nabi Muhammad saw mendapatkan sambutan yang luar biasa dari masyarakat setempat, sehingga memudah kan Muhammad untuk berdakwah dan siap menyusun sendi-sendi Masyarakat Madani.
Piagam yang mengatur kehidupan dan hubungan antar komuni tas-komunitas yang merupakan komponen-komponen masyarakat yang majemuk di Madinah. Piagam tersebut Iebih dikenal dengan Piagam Madinah .
Kemudian Yatsrib diubah menjadi sebuah kota sete Iah dilakukan perjanjian antara Muhammad dan Pen duduknya dari berbagai golongan. Perjanjian itu dapat disebut sebagai suatu social contrac oleh para orientalis. Itulah sebabnya maka perjanjian tersebut dalam konteks teori politik disebut sebagai Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah, di dalamnya terdapat pasal-pasal yang menjadi hukum dasar sebuah negara, yakni negara kota yang kemudian disebut Madinah (al-Madinah al Munawarah) atau (al Madinah al Nabi), artinya Kota yang bercahaya dan Kota Nabi.
Mengenai isi perjanjian Piagam Madinah itu lebih lanjut secara garis besarnya merupakan peraturan atau undang-undang yang mengatur kehidupan warga Madinah, baik peraturan untuk sesama kaum Muslimin ataupun dengan kaum Yahudi dan Non Muslim lainnya yang siap hidup serta saling bekerja sama.
Berdasarkan Piagam Madinah inilah dapat dijelas ka hakekat sebuah masyarakat madani itu. Dalam ko munitas Yahudi serta sekutunya yang dipersatukan oleh Nabi Muhammad dalam satu ummat berdasarkan fakta historis yang mengandung tiga unsur. Pertama, mereka hidup dalam wilayah tertentu yakni Madinah sebagai tempat yang mengikat mereka untuk hidup bersama dan bekerja sama. Kedua, mereka bersedia dipersatukan dalam satu ummat merupakan aktualisasi dari kesadaran umum dan keinginan akan hidup bersama untuk be kerja sama dalam mencapai tujuan umum, yaitu untuk mewujudkan kerukunan dan kemaslahatan masya rakat secara bersama-sama. Ketiga, mereka mengakui dan menerima Muhammad saw sebagai pemimpin ter tinggi atau pemegang otoritas politik yang legal dalam kehidupan mereka. Otoritas ini dilengkapi dengan institusi peraturan, yaitu Piagam Madinah yang ber laku bagi individu-individu dan setiap kelompok. Dengan demikian penduduk Madinah merupakan satu ummat dan masyarakat Politik.  
Dalam perspektif ini, masyarakat madani adalah masyarakat yang mengacu kepada nilai-nilai kebajikan umum, yang disebut al-khair. Masyarakat seperti itu harus dipertahankan dengan membentuk persekutuan-persekutuan, perkumpulan, perhimpunan atau asosiasi yang memiliki visi dan pedoman perilaku. Cermin masya rakat Madinah itu adalah masyarakat yang didirikan di atas ketetapan hati para pendukungnya untuk tetap bertahan dalam cara, jalan dan pesan Allah baik Qur’ani ataupun Kauni sebagai perwujudan suatu kultur dan peradaban yang sehat dan berakar kokoh dalam proses kesejarahan, sekaligus yang berpenampilan kerahmatan , dalam susunan dan tata kemasyarakatan. Yaitu suatu ciri masyarakat Islami dengan pendukung-pendukung yang tercbih dahulu berkepribadian Islami.
Dengan demikian, masyarakat madani adalah sebuah masyarakat Ideal, di mana civil society, yang hingga kini masih sulit ditemukan terjemahannya yang tepat itu, sebenarnya merupakan sebagian saja dari masyarakat madani. Hal ini kalau civil society diartikan sebagai sesuatu ”ruang publik” yang independen dari negara sebagaimana di definisikan oleh Habermas. Tapi ruang publik bebas ini merupakan bagian yang esensial dari masyarakat madani, bahkan merupakan ciri utamanya.
2.2 Fungsi Masyarakat Madani dalam Negara
Adapun fungsi masyarakat Madani dalam sebuah negara dapat dideskripsikan sebagai berikut, yaitu; pertama, meniadakan ketidakadilan dan kesenjangan dalam masyarakat. Kedua, melindungi kepentingan penduduk yang universal. Kepentingan tersebut meliputi elemen sipil, politik dan sosial. Menurut Nurcholish Madjid, negara Madinah merupakan negara modern pertama di dunia yang dibangun ber dasarkan prinsip-prinsip demokrasi. Paradigma ini apabila ditarik dalam konteks Keindonesiaan, yakni menurut Nurcholish Madjid, masyarakat madani bukan lah sebuah tatanan masyarakat tanpa militer, tetapi se buah masyarakat yang menyelesaikan persoalan dengan keadaban (civility). Yaitu masyarakat yang kepentingan anggotanya tentang hak milik, hak kehidupan, kebebasan dan hak-hak lainnya terjamin. Munculnya fenomena semakin kuatnya tuntutan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, pada satu sisi dan cita-cita mewujudkan masyarakat madani (civil society), nampaknya tidak boleh ditawar-tawar lagi. Keduanya menjadi variabel utama yang secara konkret, konsisten dan berkelanjutan diwujudkan oleh seluruh elit politik pemerintahan (penguasanegara). Keduanya mempunyai hubungan yang saling membutuhkan. Dengan kata lain, pemerintahan yang bersih menjadi prasyarat tumbuh dan berkembangnya masyarakat madani yang sehat. Sebaliknya tumbuh dan berkembangnya masyarakat madani jelas akan menuntut performance pemerintahan yang bersih, yang digambar kan sebagai sebuah pemerintahan yang efesien dan efektif bersih dan profesional.
Sebagaimana digambarkan oleh Anthony Giddens: Pembaharuan Masyarakat Madani mensyaratkan adanya kemitraan antara pemerintah dan masyarakat Madani, pembaharuan komunitas dengan meningkatkan prakarsa lokal, keterlibatan sektor ketiga, perlindungan ruang publik lokal, pencegahan kejahatan dengan basis komunitas dan adanya keluarga yang demokratis.  
Dengan demikian, maka peradaban yang besar adalah peradaban yang menciptakan lingkungan yang cocok secara politik, sosial, ekonomi, kultural, dan ma terial dan mengantarkan seseorang bisa mengamalkan pesan perintah-perintah Tuhan dalam seluruh aktifitas nya, tanpa harus dirintangi oleh institusi-institusi masya rakat. Institusi-institusi tersebut tidak boleh menyebab kan adanya kontradiksi antara keyakinan agama dan perbuatan, atau menekan seseorang untuk menyimpang dari kewajiban-kewajibannya terhadap Allah, Tuhan sekalian alam. Bagaimana pun, majunya suatu peradaban dalam sains, literatur, dan seni; bagaimanapun warna warninya pencapaian dalam arsitek, perlengkapan, pakaian, dan makanan; bagaimana pun jauhnya peradaban itu meraih kemajuan material; dalam pan dangan sejarawan muslim, itu tetap ”terbelakang” dan ”kurang” jika tidak menyediakan lingkungan yang kondusif untuk pengabdian terhadap Tuhan dan pengamalan ajaran-ajaran-Nya yang terkandung dalam pesan syariat. Artinya dalam hal ini menciptakan masyarakat yang memiliki dimensi ganda yakni di mensi kemanusiaan dan dimensi ke-Tuhanan, dimensi material dan spiritual, dimensi lahiriah-batiniah dan sebagainya.
2.3 Prinsip-prinsip Masyarakat Madani
Masyarakat madani yang dicontohkan oleh Nabi pada hakekatnya adalah reformasi total terhadap masyarakat yang hanya mengenal supremasi kekuasaan pribadi seorang raja seperti yang selama itu menjadi pengertian umum tentang negara. Meskipun secara eksplisit Islam tidak berbicara tentang konsep politik, namun wawasan tentang demokrasi yang menjadi elemen dasar kehidupan politik masyarakat madani bisa ditemukan di dalamnya. Wawasan yang dimaksud tercermin dalam prinsip-prinsip Masyarakar Madani adalah; persamaan (equality), kebebasan, hak-hak asasi manusia, serta prinsip musyawarah.
2.3.1 Persamaan (equality)
Prinsip persamaan ini bisa ditemukan dalam suatu ide bahwa setiap orang, tanpa memandang jenis ke lamin, nasionalitas, atau status semuanya adalah makhluk Tuhan. Dalam Islam Tuhan menegaskan “se sungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa” (al-Hujurat (49):13). Nilai dasar ini dipandang memberikan landasan pemahaman bahwa di mata Tuhan manusia memiliki derajat yang sama. Pemahaman inilah yang kemudian muncul dalam Hadis Nabi yang menegaskan bahwa “tidak ada ke lebihan antara orang Arab dan orang yang bukan Arab kecuali takwanya”. Dari sini kemudian dipahami bahwa Islam memberi kan dasar konsep tentang ekualitas. Berbeda dengan konsep ekualitas yang ada pada masyarakat Yunani, ekualitas yang ada dalam Islam, misalnya, bukan men jadi subordinasi dari keadaan apa pun yang datang sebelumnya. Ekualitas menurut orangorang Yunani hanya berarti dalam tatanan hukum..
Perbedaan di antara Islam dan Barat klasik mengenai konsep ekualitas sebagian tergambar di dalam termi nologi politik dari dua macam budaya ini. Al-Qur’an hanya menyebutkan manusia (insan), tidak membeda kan keyakinan dan politik yang dianutnya, tetapi tidak menyebut kata warga negara. Oleh karena itu, kaum Muslim di zaman modern ini mencoba menemukan kon sep warga negara ini dengan kata muwatin (Arab), yang jelas merupakan istilah baru. Meskipun demikian banyak hak politik individu tidak banyak didefenisikan di dalam sumber-sumber tradisional pemikiran politik Islam. Posisi manusia sendiri, dalam masa pra-sosialnya, memperoleh tempat yang tinggi dalam al-Qur’an sebagai wakil Tuhan di bumi” (al-Baqarah (2):30). Sebaliknya bagi rakyat Romawi, kata latin homo, yang berarti ma nusia, tidak menunjuk pada sesuatu kecuali manusia, seorang yang tidak memiliki hak, dan karenanya disamakan setatusnya dengan budak. ( St Thomas Aquinas, 1948) Jika demokrasi dimaksudkan sebagai sebuah sistem pemerintahan yang menentang kediktatoran, Islam bisa bertemu dengan demokrasi karena di dalam Islam tidak ada ruang bagi putusan hukum sepihak yang dilakukan oleh seorang atau kelompok tertentu. Dasar semua keputusan dan tindakan dari sebuah negara Islam bukan ide mendadak dari seseorang tetapi adalah syari’ah, yang merupakan sebuah perangkat aturan yang tertuang dalam al-Qur’an dan Tradisi Nabi. Syari’ah adalah salah satu manifestasi dari kebijakan ilahi, yang mengatur semua fenomena yang ada di alam, materi maupun spiritual, natur maupun sosial. Beberapa Istilah di dalam al-Qur’an menjelaskan karakter normatif tentang kebijaksanaan Tuhan ini seperti sunnatullah (hukum Al lah atau orang sering menyebutnya dengan ”hukum alam,”) mizan (timbangan), qist dan ’adl (keduanya berarti adil). Pada tingkat yang abstrak, semua ekspresi ini bisa memenuhi persyaratan awal demokrasi yaitu tegaknya hukum. Beberapa penulis menyatakan bahwa karena alasan ini sebuah negara Islam mestinya disebut, bukan teokrasi, tetapi adalah sebuah ”nomocracy.” Perbedaannya memang tidak terlalu menyolok karena apa yang dipandang suci dan mengikat dalam Islam buka hukum pada umumnya, tetapi hanya hukum yang datang dari Tuhan. Islam sesungguhnya menegaskan perlunya pemerintahan berdasarkan norma dan petunjuk jelas, bukan berdasarkan pada preferensi perorangan. Bagi kalangan Barat dan kelompok Muslim tertentu penggalian konsep hukum buatan manusia dari wawasan syari’ah dipandang sebagai sebuah cara yang kurang memuaskan untuk merumuskan sebuah elemen rekayasa sosial. Namun demikian, harus diakui bahwa seseorang sesungguhnya tidak menemukan banyak kelemahan dengan cara ini, kecuali apa yang mungkin dianggap kuno. Karena dalam sejarah pemikiran politik Barat konsep hukum modem juga merupakan sebuah produk perkembangan perdebatan abad pertengahan mengenai sifat kebijaksanaan Tuhan. Gagasan hukum sebagai ”sebuah tatanan rasional yang menyangkut kebaikan umum dan ketentraman masyarakat” telah dibicarakan oleh St Thomas Aquinas dari persepsi akal Tuhan sebagai satu-satunya sumber yang memancarkan semua tingkat kosmis dan tatanan.
2.3.2 Kebebasan dan Hak Asasi Manusia
Di samping elemen seperti yang disebutkan di atas. Islam juga menekankan kebebasan dan hak-hak asasi manusia, dua komponen yang menjadi ciri penting ma syarakat madani. Menjadi seorang mukmin yang baik, orang harus bebas merdeka. Apabila keyakinan sese orang itu karena paksaan maka keyakinan yang dimiliki itu bukanlah merupakan keyakinan yang sesungguh nya. Dan jika seorang Muslim itu secara bebas menye rahkan diri kepada Tuhan, ini tidak berarti bahwa ia telah mengorbankan kebebasannya.
Karena pilihan untuk menyerahkan diri itu semata didasarkan atas kebebasan yang dimilikinya. Hal ini karena di sisi lain Tuhan juga menegaskan kepada manusia untuk bebas memilih taat atau tidak kepada perintah-Nya. Dasar ajaran mengenai kebebasan ini memperoleh momentum penting dalam sejarah umat manusia, yang selalu diwarnai oleh tindakan pembelengguan hak serta kebebasan manusia. Sejarah mencatat bahwa mereka yang menjadi sasaran ketidakadilan selalu berada pada pihak kaum yang lemah. Budak oleh tuannya, kaum miskin oleh mereka yang kaya, rakyat oleh penguasa, yang bodoh oleh yang pandai, yang miskin spiritual dan agama oleh kaum pendeta atau ulama. Dunia seakan -akan tidak pernah kosong dari tindakan semena-mena manusia terhadap sesamanya, dalam kekaisaran Romawi kuno sejarah menyaksikan bagaimana bayi yang lahir dalam keadaan cacat sering menghadapi resiko mati karena kebijakan kaisar yang menghendaki keperkasaan karena tuntutan perang. Di Mesir kuno pernah di berlakukan perintah untuk membunuh bayi laki-laki hanya karena Fir’aun takut tergeser dari singgasananya. Sebaliknya di Arab Jahiliyah, wanita dianggap tidak ada nilainya untuk sebuah harga diri bagi kehidupan ber suku,akibatnya setiap bayi perempuan lahir harus dikubur hidup-hidup.
Pengalaman hidup manusia seperti yang disebutkan di atas dan kondisi sosial masyarakat Arab sewaktu Islam muncul, yang sarat dengan perbudakan, mem berikan suatu pemahaman bahwa secara semantis makna bebas (hurr) yang dimaksud oleh Islam itu ber lawanan dengan budak (’abd). Bukankah salah satu misi penting sosial Islam adalah membebaskan perbudakan. Selain wawasan kebebasan seperti yang dimaksudkan ini, sejak periode awal Islam beberapa pemikir Muslim juga mengembangkan doktrin ikhtiyar (pilihan atau kebebasan berkehendak), yang merupakan sebuah pra kondisi substantif diterimanya konsep kebebasan seperti yang dipahami filsafat politik Barat. Perbudakan adalah salah satu rintangan yang paling serius menyangkut kedua tuntutan pokok manusia, kehendak untuk hidup dan kehendak untuk bebas. Walaupun ia telah dipraktikan oleh setiap peradaban manusia yang besar dalam sejarah, dalam pengertian dilembagakan dan pemilikan legal terhadap manusia sebagai barang bergerak, perbudakan pada akhirnya secara uni versal dikutuk dan dicabut, baik oleh hukum intemasional maupun domestik. Upaya ini yang pertama menyerukan adalah Islam dengan langkahlangkah gaya al-Qur’an yang halus dan sistematis.
2.3.3 Prinsip Musyawarah
Kondisi yang mempengaruhi perkembangan doktrin musyawarah dan kekhalifahan, yang telah menimbulkan konsepsi keliru seperti yang disebut di atas, pada dasarnya adalah persoalan sejarah dan karenanya tidak bisa dihubungkan dengan al-Qur’an. Pada masa Nabi Muhammad, kekuasaan utama memang ada pada Nabi, dan putusan yang dibuatnya mengikat bagi semua kaum Muslim. Kecuali dalam urusan agama, hal-hal yang menyangkut dengan kerakyatan dan urusan sosial dan politik, Nabi sering melakukan musyawarah dengan para sahabat. Setelah dia, dan terutama selama periode perluasan daerah kekuasan Islam berlangsung, musyawarah menjadi sebuah persoalan yang formal yang dipakai oleh khalifah sebagai media konsultasi dengan para sahabat Nabi. Formalisasi dan pelembagaan musyawarah ke dalam badan perwakilan tidak mungkin terwujud karena tuntutan untuk berperang masih terus berlanjut, baik karena cepatnya kemenangan yang mereka peroleh maupun karen persoalan internal di kalangan militer sendiri.. Meskipun mereka ini berbeda mengenai jumlah orang yang mewakili untuk mengangkat seorang Khalifah, namun mereka setuju prinsip-prinsip pe milihan itu harus ditegakkan. Masyarakat bisa menuntut hak mereka dari seorang Khalifah jika ia memaksakan diri atau mengambil kekuasaan itu secara tidak syah. Masyarakat juga berhak untuk tidak mematuhi dan bahkan memaksa pemimpin yang tidak syah ini untuk turun tahta.
2.4 Nilai-nilai Masyarakat Madani
Gersangnya tatanan sosial yang mapan bisa menghan curkan kehidupan berbangsa, menghancurkan demokrasi dan menghilangkan keadilan, kemerdekaan, per samaan serta hak asasi manusia lainnya. Pengalaman perjalanan sejarah bangsa Indonesia selama lebih se tengah abad menunjukkan ketiadaan seperti yang dimaksudkan. Oleh karena itu, upaya penataan kembali sistem kehidupan berbangsa secara mendasar dilaku kan dengan mencari rumusan baru yang diharapkan bisa menjamin tegaknya demokrasi, keadilan, HAM, toleransi, serta pluralisme. Di antara sumber utama rumusan itu, agama (Islam) menjadi rujukan yang sangat penting. Setelah sekian lama, ada keengganan menjadi kan agama sebagai rujukan validitas pandangan hidup sosial politik. Oleh karena itu, dalam persoalan penting yang menjadi tekanan bukan membicarakan pe nyikapan agama terhadap konsep ”masyarakat madani” tetapi mencoba memaparkan dasardasar teologis filosofis tentang elemen utama atau nilai-nilai pundamental ”masyarakat madani” yang ada dalam wawasan Islam dan juga pengalaman praktis dalam sejarah masyarakat Muslim. Karena itu sikap budaya (cultural attitude) dan sikap keagamaan (religious attitude) serta pengakuan atas hak-hak asasi manusia (human rights) merupakan unsur yang sangat penting untuk dibicarakan. Selain itu, aspek penting lainnya yang juga perlu dibicarakan adalah mengenai wawasan Islam tentang politik, yang memberikan nilai nilai dasar kehidupan berdemokrasi. Semua elemen ini menjadi pilar penting tegaknya institusi sosial yang menjamin munculnya ”masyarakat madani”.

2.4.1 Demokrasi
Dampak praktis kehidupan politik Islam pada abad pertengahan nampaknya masih sangat membekas dalam kehidupan bernegara di dunia Islam sekarang ini. Meskipun masyarakat Muslim sekarang sudah terbebas dari dominasi asing (secara fisik) dan memiliki pemerintahannya sendiri, tetapi hampir semua mereka ini dihadapkan pada problem internal, yaitu “kurang demokratis.” Kecuali Turki, kata Bernard Lewis, semua negara yang mayoritas penduduk Muslim dipimpin oleh variasi dari rejim otoriter, otokrasi, despotis, dan sebangsanya.  Dari kalangan sosiolog, dunia Islam digambarkan telah mengalami masa transisi dari ma syarakat yang berorientasi pada ekonomi moneter dan masyarakat demokratis kepada sebuah masyarakat agraris dan rejim militer.” Dua kecenderungan yang mencerminkan watak masyarakat yang berbeda, yang pertama lebih bersifat dinamis dan rasional sedang yang kedua menggambarkan sifat tertutup. Gambaran seperti yang disebutkan di atas itu seakan-akan mengasumsikan bahwa Islam tidak mengenal pemerintahan yang demokrasi. Meskipun benar diakui bahwa konsep demokrasi masih juga menjadi salah satu isu perdebatan antara yang setuju dan yang menentang. Sejak kira-kira abad ke-19, beberapa pemimpin re formist Muslim menyatakan bahwa untuk mengim plementasikan Islam dalam sektor kehidupan umum, pemerintahan harus ditegakkan berdasarkan atas ke hendak rakyat banyak. Salah satu alasan yang menjadi pertimbangan bagi kaum reformist seperti Jamal al-Din al-Afghani adalah karena tanpa partisipasi rakyat di dalam pemerintahan, maka negara Islam tidak akan kuat untuk menghadapi tekanan Barat. Alasan yang lain, agar kemajuan internal bisa dicapai, karena tanpa kemajuan, negara Islam akan tetap lemah, maka partisipasi masyarakat sangat diperlukan. Menurut Fazlur Rahman bahwa Islam sebenar nya, pertama, telah menegaskan peran masyarakat Muslim untuk menegakkan semacam tatanan sosial politik dan untuk mengimbangi ekstrimitas; kedua, kehidupan dan konstitusi internal masyarakat Muslim harus selalu bersifat terbuka dan egaliter, tidak larut dengan kepentingan elitisme serta tidak tertutup dan; ketiga, bahwa kehidupan dan tingkah laku internal masyarakat harus berpusat pada saling aktif berbuat baik dan bekerja sama. Penciptaan tatanan kehidupan masya rakat madani, salah satunya, adalah melalui penegakan kehidupan demokrasi. Wawasan dasar Islam tentang prinsip-prinsip demokrasi seperti keadilan, persamaan, kebebasan, dan musyawarah, demikian juga dengan sikap pluralisme, toleransi, dan pengakuan hak-hak asasi manusia telah berfungsi dengan baik selama masa Nabi dan Khulafaurrasyidin yang tidak lagi kondusif dalam kehidupan sosial politik, yang oleh banyak kalangan intelektual Muslim merefleksikan tatanan masyarakat madani. Kondisi internal ummat setelah periode Khulafaurrasyidin yang tidak lagi kondusif munculnya tatanan kehidupan politik yang demokratis menyebab kan prinsip-prinsip dasar Islam mengenai demokrasi tidak bisa diformulasikan ke dalam lembaga politik yang mapan. Akibatnya perbedaan antara teori (Wawasan Islam tentang demokrasi) dan praktek kehidupan politik terlihat sangat jauh; menjadikan ummat Islam terkesan asing dengan simbol-simbol demokrasi. keadilan, HAM, toleransi, serta pluralisme.
2.4.2 Pluralisme dan Toleransi
Istilah “masyarakat madani” dan civil society berasal dari dua sistem budaya yang berbeda. Masyarakat madani merujuk pada tradisi Arab-Islam sedang civil society tradisi Barat non-Islam. Perbedaan ini bisa memberikan makna yang berbeda apabila dikaitkan dengan konteks asal istilah itu muncul. Oleh karena itu, pemaknaan lain di luar derivasi konteks asalnya akan merusak makna aslinya. Ketidaksesuaian pemaknaan ini tidak hanya menimpa pada kelompok masyarakat yang menjadi sasaran aplikasi konsep ter sebut tetapi juga para interpreter yang akan meng aplikasikannya. Hal lain yang berkaitan dengan perbe daan aplikasi kedua konsep masyarakat ini adalah bahwa civil society telah teruji secara terus menerus dalam ta tanan kehidupan sosial politik Barat hingga mencapai maknanya yang terakhir, yang turut membidani lahir nya peradaban Barat modern. Sedangkan masyarakat madani seakan merupakan keterputusan konsep ummah yang merujuk pada masyarakat Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad. Idealisasi tatanan masyarakat Madinah ini didasarkan atas keberhasilan Nabi mempraktekkan nilai-nilai keadilan, ekualitas, kebebasan, penegakan hukum, dan jaminan kesejahteraan bagi semua warga serta perlindungan terhadap kaum lemah dan kelompok minoritas. Meskipun secara ideal eksistensi Sikap toleran dan pluralis seorang muslim terhadap agama dan pendapat pemeluk agama lain jelas mendapat legitimasi dari ayat-ayat al-Qur’an dan preseden yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya. Salah satu tindakan pertama Nabi untuk mewujudkan masyarakat Madinah ialah menetapkan dokumen perjanjian yang disebut Piagam Madinah (Mitshaq al-Madinah), yang terkenal dengan “Konstitusi Madinah.” Hamidullah menyebutkan bahwa Piagam Madinah merupakan konstitusi tertulis pertama yang ada di dunia, yang me letakkan dasar-dasar pluralisme dan toleransi.
2.4.3 Hak-Hak Asasi Manusia (HAM)
Konsep masyarakat madani dewasa ini telah mengambil peran sebagai sebuah agenda cita-cita masyarakat yang modern untuk Indonesia baru. Sekalipun masyarakat madani telah tiada secara fakta saat ini, tetapi hikmah-hikmahnya tetap masih menyinari aspek-aspek masyarakat modern. Sebagaimana contoh yang diungkapkan oleh NurcholishMadjid.Contoh yang paling mudah dideteksi adalah konsep tentang hak asasi manusia. Dari segi pelaksanaan misi suci beliau, puncak karier Rasulullah saw. ialah terselenggaranya ”pidato perpisahan” yakni (Khutbah al-Wada’). Dalam pidato itulah pertama kalinya manusia diperkenalkan dengan konsep “hakhak asasi”, dengan inti dan titik tolak kesucian “hidup, harta, dan martabat kemanusiaan (ad-dima’ wa al-amwal wa al-a’radh), yang apabila dibahasa inggriskan akan terbaca: life, property, and dignity atau life, fortune, and sacred honor.”
Keagungan konsep hak-hak asasi manusia dengan martabatnya yang tinggi itu, kata Nurcholish Madjid menyebar ke Barat melalui falsafah kemanusia an Giovani Pico Della Mirandolla dan sebagian melalui filsafat John Locke. Maka dari itu, jika kita mengingin kan negara kita menuju masyarakat modern, ada baik nya jika kita merenungkan lebih mendalam bagaimana keindahan dan ketajaman hikmah-hikmah Pidato Per pisahan Nabi dalam membangun hakhak asasi manusia secara universal.Sehingga ikatan batin yang mendalam pada hak -hak asasi manusia tidak akan terwujud jika tidak dipandang sebagai pandangan hidup (way of life). Oleh karena itu, kesadaran tentang hak-hak asasi menuntut kemampuan pribadi bersangkutan untuk menerima, meyakini dan menghayati sebagai bagian dari rasa makna dan tujuan (sense of meaning and purpose) hidup pribadinya.
Makna dan tujuan kemanusiaan perlu ditegaskan, bahwa rasa kemanusiaan haruslah berlandaskan rasa ketuhanan. Malah kemanusiaan sejati hanya terwujud jika dilandasi dengan rasa ke tuhanan itu. Sebab rasa kemanusiaan ataupun antropo sentrisme yang lepas dari rasa ketuhanan atau teo sentrisme akan mudah terancam untuk tergelincir kepada praktek-praktek pemutlakan sesama manusia, sebagaimana pernah didemonstrasikan oleh eksperimeneksperimen komunis (yang “Ateis”). Dari sinilah kemudian hak asasi manusia sebagai elemen utama masyarakat madani, harus didasarkan pada nilai dasar kemanusiaan universal itu.
Bertolak dari nilai kemanusiaan, maka hakekatnya hak-hak asasi manusia itu ialah membangun kebebasan yang manusiawi. Termasuk kebebasan berpendapat. John Stuart Mill Filosof “kebebasan” menyatakan: “...melahirkan pendapat dengan bebas harus dibolehkan asalkan dengan cara yang tidak keras, dan tidak melampaui batas-batas kewajaran...”
2.4.4 Keadilan
Keadilan Sosial Umat Islam, sepanjang ajaran agamanya, tidaklah meng hendaki sesuatu melainkan kebaikan bersama, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah saw dan Sahabat beliau. Ukuran kebaikan itu tidak harus disesuaikan dengan kepentingan golongan sendiri saja, sebab akhirnya agama Islam disebut sebagai rahmat Allah bagi seluruh Alam, umat manusia. Ukuran kebaikan itu ialah kemanusiaan umum sejagat, dan meliputi pula sesama makhluk hidup lain dalam lingkungan yang lebih luas. Sebagaimana pandangan-pandangan al-Qur’an, di tingkat individual, alQur’an berupaya untuk menanam kan kesalehan yang baik atau takwa. Di tingkat sosial al-Qur’an bertujuan menciptakan tatanan sosial politik berbasis etika. Tetapi hal ini harus terjalin hubungan yang erat antara keduanya. Sebab ajaran sosial-politik al-Qur’an menyerukan untuk “mengadakan perbaikan dan menyingkirkan kezaliman di muka bumi. Sehingga prinsip reformasi pertama adalah egalitarianisme kemanusiaan. Warisan sejarah tentang konsepsi keadilan sebenar nya sudah dimulai sejak sekian ribu tahun yang lalu. Yaitu sebuah pemikiran kenegaraan dan kemasyarakatan bangsa Semit di Babilonia. Sebagaimana dimengerti bahwa dari Bangsa Semit inilah lahir beberapa Nabi yang nota bene terakumulasi menjadi bangsa-bangsa Yahudi dan bangsa-bangsa Arab. Jadi dapat disebutkan bahwa tema pokok usaha perbaikan masyarakat oleh para Nabi bagibangsa-bangsa Semit adalah menegakkan keadilan. Dengan kata lain, keadilan merupakan inti tugas suci (risalah) para Nabi. Dalam artian etimologis, menurut Nurcholish Madjid, ‘Adil’ ialah “tengah” atau “Pertengahan”. Sehingga orang yang berkeadilan adalah orang yang sanggup berdiri di tengah tanpa secara a priori memihak. Lebih lanjut Harun Nasution memotret keadilan dalam bahasa Indonesia, hakekatnya berasal dari bahasa Arab al-’adl yang berarti keadaan yang terdapat dalam jiwa sese orang yang membuatnya menjadi lurus. Orang yang adil adalah orang yang tidak dipengaruhi hawa nafsunya, sehingga la tidak menyimpang dari jalan lurus dan dengan demikianbersikap adil. Oleh karena itu al-’adl mengandung arti menentukan hukum dengan benar dan adil, juga berarti mempertahankan hak yang benar.” Sehingga berlaku adil artinya tidak menggunakan standar ganda. Katakanlah yang jahat itu jahat, juga sebutlah yang baik itu baik, sekalipun dipraktikkan oleh musuh musuh kita.Maka adil dalam pandangan Islam ialah setiap orang memperoleh apa yang menjadi haknya. Bukan setiap orang memperoleh bagian yang sama besarnya. Ini menunjukkan Islam menghargai ikhtiar. Setiap orang berhak beroleh kontra prestasi sebanding dengan prestasi yang diberikannya. Adapun prestasi adalah upaya-upaya yang wajar dalam sebuah kom petisi yang jujur. Bukan hasil prestasi namanya jika orang beroleh sesuatu karena fasilitas. Dengan menyitir pandangan Murthadha Muthahhari tentang keadilan, akhirnya Nurcholish Madjid kemudian mengklasifikasi keadilan dalam beberapa bagian. Pertama, keadilan mengandung pengertian perimbangan atau keadaan seimbang (mawzun, balanced),tidak pincang. Jika misalnya suatu masyarakat ingin mampu bertahan dan mantap, maka ia harusberada dalam keseimbangan (muta’adil), dalam arti bahwa bagian-bagiannya harus berada dalam ukuran hubungan satu dengan yang lain nya secara tepat.
Kedua, keadilan mengandung makna persamaan (musawah, egalite) dan tiadanya diskriminasi dalam bentuk apapun. Kesamaan disini tentu terkait dalam sebuah syarat-syarat, misalnya perlakuan yang sama terhadap orang-orang yang mempunyai hak yang sama karena kemampuan, tugas clan fungsi yang sama pula. Ketiga, pengertian keadilan tidak utuh jika kifa tidak memperhatikan maknanya sebagai pemberian perhatian kepada hakhak pribadi dan penunaian hak kepada siapa saja yang berhak (i’tha’ kull dzi haqq haqqahu dibaca: i’tha’ii kulli dzi haqqin haqqahu). Maka kezaliman dalam kaitannya dengan pengertian ini ialah perampasan hak dari orang yang berhak, dan pelanggaran hak oleh yang tak berhak. Akhirnya dapatlah dengan logis dirumuskan bagaimanakah sesungguhnya keadilan yang berpihak pada kemaslahatan sosial. Di mana keadilan sosial merupakan citacita luhur kemanusiaan univer sal termasuk bangsa Indonesia.
Konteks ini akhirnya sampailah pada cita-cita ter bentuknya sebuah masyarakat madani (civil society) di Indonesia yakni menegakkan misi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Misi sucinya yakni, “Tidak boleh ada penindasan oleh manusia atas manusia lain (there should be no exploitation of man by man),” sebab begitu lah seharusnya tujuan sistem sosial ekonomi yang adil, yang bebas dari riba itu. Sebelum “penindasan manusia oleh manusia” itu lenyap, maka tujuan kita bernegara tidak akan tercapai. Sebab konstitusi kita mengatakan bahwa tujuan kita bernegara ialah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Semua wawasan luhur akan tinggal ungkapan klise saja jika tidak ada komitmen keruhanian untuk mewujudkannya.”
Sebagai landasan teologisnya juga sebagai ciri khas metode untuk san daran perwujudan masyarakat madani adalah; Dan jika Kami (Tuhan) hendak membinasakan suatu negeri, maka kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah Maya) di negeri itu (supaya menta’ati Allah) namun mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya keputusan (vonis Tuhan), Kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.(QS. al-Isra’: 16).





BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1.Masyarakat madani adalah masyarakat yang memiliki peradaban maju, masyarakat yang memiliki sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Dengan kata lain, madani (civil society) adalah sebuah tatanan komunitas masyarakat yang mengedepankan toleransi, demokrasi dan berkeadaban dalam realitas adanya pluralisme (kemajemukan), sebagaimana yang telah dicontohkan oleh masyarakat yang bangun Rasulullah SAW.
2.Fungsi masyarakat madani dalam sebuah negara meliputi pertama, meniadakan ketidakadilan dan kesenjangan dalam masyarakat. Kedua, melindungi kepentingan penduduk yang universal. Kepentingan tersebut meliputi elemen sipil, politik dan sosial.
3.Prinsip-prinsip masyarakat madani meliputi prinsip persamaan (equality),   kebebasan, hak-hak asasi manusia, serta prinsip musyawarah.
4.Nilai-nilai masyarakat madani terkandung dalam nilai-nilai penegakkan demokrasi, keadilan, HAM, toleransi, serta toleransi dan penghargaan adanya pluralisme





Daftar Pustaka

Ahmad, Jainuri. 2001. dalam Pengantar “Masyarakat Tamaddun: Kritik
Hermeneutis Mayarakat Madani Nurkholis Madjid.” Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan LP2IF.
Madjid, Nurcholis. Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi: Tantangan dan Kemungkinan. Bandung: Pustaka Hidayah
Noor, Deliar. 1999. Pemikiran Politik di Negeri Barat . Bandung: Mizan. Pulungan. 1994. Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau
dari Pandangan Al-Qur’an. Jakarta: Rajawali Press dan LSIK. Rahardjo, Dawam. 1999. dalam artikelnya “Masyarakat Madani di Indonesia”
Jurnal Paramadina, vol.1, no. 2. Rahman, Fazlur. 1994. Islam. Terj. Ahsin Muhammad.Bandung: Pustaka.
Santoso, Riyadi “Pemerintahan yang Bersih dan Masya rakat Madani”, dalam Jurnal Cides Sintesis, no. 2, th. 5,
Ubaidillah (et. al). 2000. Pendidikan Kewargaan, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani . Jakarta: IAIN Jakarta Press.





No comments:

Post a Comment