MAKALAH
HADIS AHKAM
Saksi
Dalam Talaq
BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar
Belakang
Talak
berasal dari kata “ithlaq” yang
menurut bahasa artinya “melepaskan atau meninggalkan”. Sedangkan menurut
Istilah Agama yaitu “melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami
isteri/perkawinan.
Al-Jaziri
mendefinisikan : Talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi
pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu
Saksi adalah orang yg melihat atau
mengetahui sendiri suatu peristiwa (kejadian); orang yg dimintai hadir pada
suatu peristiwa yang dianggap mengetahui kejadian tesebut agar pada suatu
ketika, apabila diperlukan dapat memberikan keterangan yang membenarkan bahwa
peristiwa itu sungguh-sungguh terjadi orang yang memberikan keterangan di muka
hakim untuk kepentingan pendakwa atau terdakwa yang memberikan keterangan.
- Rumusan
Masalah
- Apa
sesungguhnya pengertian talaq ?
- Apa saja rukun dalam takaq ?
- Apa saja syarat wajib dan kewajiban menjadi saksi ?
- Tujuan
Makalah
- Menambah
pemahaman tentang perceraian
- Mengentahui
apa saja dalam tentang talaq
BAB
II
PEMBAHASAN
- Hadis Tentang Saksi Dalam Talaq
عن
عمران بن حصين رضي الله عنه انه سءل عن الر جل يطلق شم يرا جح , ول
يشهد
, فق ل : أ شهد على طلل قها , و على ر جعتها ر وا ه ابو داو د هكدا مو قو فا , و
سنده صحيحز.
Artinya
:
Dari Imron Bin Husen Rodiallahu bahwa sanya ia di tanya
seorang laki-laki yang di Talaq kemudian dia rujuk kembali dan imron tidak
mengetahui hal tersebut, kemudian laki-laki berkata aku mengetahui istri
menalaq aku dan aku mengetahui ketika istriku merujuk kembali.
Rowahu dari Abu Daud ( cerita itu benar dan sanadnya shoheh).
. Pengertian Talak
Talak berasal dari kata “ithlaq” yang menurut bahasa artinya
“melepaskan atau meninggalkan”. Sedangkan menurut Istilah Agama yaitu “melepaskan tali
perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri/perkawinan.
Al-Jaziri mendefinisikan : Talak
ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya
dengan menggunakan kata-kata tertentu.
Menurut Abu Zakaria Al-Anshari :
Talak yaitu melepas tali akad nikah dengan kata talak dan yang semacamnya.
Jadi,
talak ialah suatu perbuatan suami yang melepas ikatan perkawinan dengan isteri
dengan menggunakan kata-kata tertentu.
Islam memberikan hak
talak hanya kepada laki-laki saja. Karena ia yang lebih bersikeras untuk
melanggengkan tali perkawinannya yang dibiayainya dengan harta begitu besar,
sehingga kalau dia mau cerai atau kawin lagi ia perlu membiayanyinya lagi dalam
jumlah yang sama atau lebih banyak lagi.
Perempuan
yang dicerai wajib
dilunasi sisa maharnya yang belum dibayarkannya, diberi uang hadiah talak dan diberi uang belanja selama masa iddahnya.
dilunasi sisa maharnya yang belum dibayarkannya, diberi uang hadiah talak dan diberi uang belanja selama masa iddahnya.
Hukum Perceraian (Thalaq) ada 5 :
1. Makruh
Secara asal, hukum perceraian adalah makruh
(dibenci).
Jika seorang suami menceraikan istrinya tanpa ada sebab, maka itu adalah makruh.
Jika seorang suami menceraikan istrinya tanpa ada sebab, maka itu adalah makruh.
Secara asal, perceraian adalah sesuatu yang tidak disukai
oleh Allah dan justru disukai oleh Iblis.
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَإِنْ عَزَمُوا
الطَّلاَقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Dan jika kalian bertekad kuat untuk thalaq,
maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Q.S al-Baqoroh:227).
Konteks ayat tersebut adalah bentuk peringatan
dan ancaman: “jika kalian berbuat demikian…sesungguhnya Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui”, sehingga itu menunjukkan bahwa perceraian tidaklah
disukai oleh Allah. Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Syaikh Ibn Utsaimin
rahimamullah.
Hal yang menunjukkan bahwa perceraian
adalah sesuatu yang disukai oleh Iblis dan bala tentaranya (syaithan) adalah
hadits:
إِنَّ إِبْلِيسَ
يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ
مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا فَيَقُولُ
مَا صَنَعْتَ شَيْئًا قَالَ ثُمَّ يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ مَا تَرَكْتُهُ
حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ قَالَ فَيُدْنِيهِ مِنْهُ
وَيَقُولُ نِعْمَ أَنْتَ
Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di
atas air kemudian mengirim pasukannya (ke berbagai penjuru). Pihak yang
terdekat kedudukannya dari Iblis adalah yang paling besar menimbulkan fitnah. Salah satu dari mereka datang
(menghadap Iblis) dan menyatakan: Aku berbuat demikian dan demikian. Iblis
menyatakan: engkau belum berbuat apa-apa. Kemudian datang satu lagi
(melaporkan): Aku tidak tinggalkan ia (manusia) hingga aku pisahkan ia dengan
istrinya. Kemudian Iblis mendekatkan kedudukannya dan mengatakan: bagus engkau
(H.R Muslim).
2. Mubah
Yaitu ketika ada sesuatu
kebutuhan,seperti kurang baik pergaulan dengan istri.
Misalnya, jika seorang laki-laki sudah tidak mampu
lagi untuk bersabar hidup bersama istrinya.
Secara asal,
al-Quran dan Sunnah memberikan bimbingan kepada suami untuk tetap bersabar
ketika mengalami sesuatu yang tidak ia sukai ada pada istrinya.
فَإِنْ
كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ
خَيْرًا كَثِيرًا
“Jika kalian membenci mereka (para istri), bisa
jadi kalian membenci sesuatu, sedangkan Allah menjadikan padanya kebaikan yang
banyak” (Q.S anNisaa’:19).[1]
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman kepada
Rasul-Nya:
يَاأَيُّهَا
النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
“Wahai Nabi, jika kalian menthalaq para wanita,
maka thalaqlah pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)…”(Q.S ath-Tholaq ayat 1)
Thalaq bukanlah suatu yang haram, karena Allah tidak
menyatakan kepada NabiNya: “janganlah kalian menthalaq”. Sebagaimana hal ini
dijelaskan oleh Syaikh Ibn Utsaimin.
Demikian indahnya syariat Islam, memberikan
solusi atas segala permasalahan. Sebagian orang kafir menganggap ajaran Islam
tidak berpihak kepada kaum wanita dengan adanya thalaq. Padahal, dalam kondisi
tertentu thalaq (perceraian) adalah jalan keluar terbaik bagi suatu
permasalahan. Seseorang wanita akan lebih baik dicerai jika seandainya dibiarkan
tetap tinggal bersama suaminya, tapi ia ditelantarkan, tidak mendapat kasih
sayang dan perhatian, bahkan justru sering disakiti dengan ucapan atau
perbuatan.
3. Mustahab
(disukai/ dianjurkan)
Dalam kondisi tertentu perceraian adalah sesuatu yang dianjurkan. Hal ini jika dikhawatirkan memudharatkan salah satu atau kedua belah pihak bagi suami istri jika pernikahan itu dilanjutkan
Contohnya, jika istri bersikap dominan pada suami,
sedangkan suaminya penakut. Mudah dipengaruhi, namun sulit mempengaruhi orang
lain. Sikap istri tidak baik dan sangat sulit diharapkan perubahannya,
dikhawatirkan menimbulkan mudharat (kegunaan ) bagi sang suami, maka dalam batas tertentu
dianjurkan untuk bercerai.
Atau sebaliknya, istri seringkali disakiti hatinya oleh suami. Menyebabkan hidupnya tidak tentram dan tenang, serta suami sangat sulit diubah perilakunya, maka dalam batas tertentu, perceraian adalah sesuatu yang mustahab untuk dilakukan.
Atau sebaliknya, istri seringkali disakiti hatinya oleh suami. Menyebabkan hidupnya tidak tentram dan tenang, serta suami sangat sulit diubah perilakunya, maka dalam batas tertentu, perceraian adalah sesuatu yang mustahab untuk dilakukan.
4. Wajib
Jika seorang suami melakukan ilaa’, yaitu
bersumpah untuk tidak menggauli istrinya (jimak) lebih dari 4 bulan, misalkan
ia bersumpah: Saya tidak akan menggauli istri saya selama setahun. Itu adalah ilaa’. Diberikan
batas waktu 4 bulan bagi sang suami. Jika sudah sampai 4 bulan, maka diberi
pilihan: apakah ia mau kembali (menggauli istrinya) dan membayar kaffaroh (kafir)
sumpah, atau ia menthalaq (menceraikan) istrinya. Jika ia tidak mau dua-duanya,
maka hakim wajib memaksa suami untuk menceraikan istrinya.
Wajib menceraikan istri pula
jika sang istri melakukan perbuatan keji (zina) dan tidak bisa diharapkan
taubatnya. Kalau sang suami tidak menceraikannya, maka suami masuk kategori
dayyuts, yang diancam dalam hadits Nabi: tidak masuk surga.
5.
Haram
Diharamkan bagi suami
menceraikan istrinya pada saat haid, atau pada saat suci dan di masa suci itu
sang suami telah berjimak dengan istrinya. Diharamkan juga mengucapkan thalaq
lebih dari satu. Misalkan dengan mengatakan: aku thalaq engkau dua kali, atau
aku thalaq engkau seratus kali. Ucapan demikian adalah haram.
Kelima poin di atas disarikan dengan beberapa
penambahan dari penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam asy-Syarhul Mumti’ syarh
Zaadil Mustaqni’.
Hal yang perlu dipahami adalah: keputusan cerai
atau tidak adalah di tangan suami.
Sebaliknya, bagi istri tidak
boleh (haram) meminta kepada suami untuk menceraikannya tanpa ada sebab syar’i.
Hal ini berdasarkan hadits:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ فِي غَيْرِ
مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
“Wanita mana saja yang meminta cerai dari
suaminya tanpa ada alasan (syar’i), maka haram baginya bau surga” (H.R
Ibnu Majah, dishahihkan Syaikh al-Albany)
Alasan syar’i bagi
wanita untukk meminta cerai pada suami di antaranya: jika suami tidak
menjalankan kewajibannya, atau istri ditelantarkan, atau istri sering
didzhalimi/disakiti, atau suami telah murtad, atau memiliki akhlak yg buruk,
atau suka berbuat dosa besar dan sulit diubah.
Saksi adalah orang yang melihat atau
mengetahui sendiri suatu peristiwa (kejadian); orang yang dimintai hadir pada
suatu peristiwa yang dianggap mengetahui kejadian tesebut agar pada suatu
ketika, apabila diperlukan dapat memberikan keterangan yang membenarkan bahwa
peristiwa itu sungguh-sungguh terjadi orang yang memberikan keterangan di muka
hakim untuk kepentingan pendakwa atau terdakwa yang memberikan keterangan.
6.
Sunnah,
Yaitu
Jika istri tidak menjaga kehormatanya (bermata keranjang) dan telah diberi nasehat tetapi tidak
diperhatikan nasehat suaminya.
- Syarat Wajib dan Kewajiban
menjadi Saksi
Untuk memberitahukan kesaksian yang
dapat diterima serta dapat di jadikan pembuktian kuat wajib memenuhi
syarat-syarat tertentu yaitu :
a)
Beragam Islam
Saksi dalam hal ini haruslah
beragama Islam karena syarat para fuqaha menetapkan, bahwa dalam kesaksian ini
yang dapat diterima bagi kesaksian seseorang haruslah beragama Islam.
b)
Baliqh
Saksi yang belum mencapai usia
baliqh tidak dapat dijadikan sebagai saksi, terlebih memberikan kesaksian.
c)
Berakal
Persaksian dari pada saksi dapat
dijadikan saksi sebagai pembuktian dalam Peradilan Agama jika saksi memiliki
akal dan jiwa yang sehat sebagai salah satu syarat yang harus dimiliki oleh
saksi dalam suatu persaksian.
d)
Merdeka
Merdeka ialah saksi dalam memberikan
kesaksian harus termasuk orang yang merdeka yaitu tidak sebagai budak
atau orang yang tidak memiliki kebebasan hidup seperti manusia lainnya.
e)
Adil
Sifat keadilan dari saksi dalam
memberikan kesaksian sangatlah menentukan dalam penilaian hakim karenanya sifat
adil dalam hal ini ialah menjauhi perbuatan dosa, baik hati, menjaga kehormatan
diri, dan bukan musuh atau lawan dari pihak yang berperkara.
Saksi-saksi yang dipanggil ke muka
sidang pengadilan mempunyai kewajiban menurut hukum yaitu[2]
:
- Kewajiban untuk menghadap atau
datang memenuhi panggilan persidangan, yang mana dirinya dipanggil dengan
patut dan sah
- Kewajiban untuk bersumpah
sebelum memberi keterangan, sumpah ini menurut ketentuan agamanya
dan bagi suatu agama yang tidak memperkenankan adanya sumpah maka diganti
dengan mengucapkan janji
- Kewajiban
untuk memberikan keterangan yang benar
Dalam peraturan perundang-undangan
tentang hukum acara perdata tidak ada persyaratan secara mutlak untuk diterima
sebagai saksi, baik jenis kelamin, sifat, dan beberapa jumlah ideal. Perbedaan
agama tidak menjadi halangan untuk diterimanya seseorang menjadi saksi, karena
prinsip utama dalam masalah pembuktian adalah terungkapnya suatu kebenaran
suatu peristiwa yang menjadi sengketa antara para pihak dimuka majelis hakim,
dengan hal tersebut keadilan dan kebenaran dapat ditegakkan.
Dalam dalam Q.S. an Nisah (4) 135 yaitu :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا
كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّه
Terjemahnya
:
“Wahai
orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan,
menjadi saksi karena Allah…”
Sehingga dengan adanya kesaksian
dari saksi tersebut diharapkan akan terungkapnya suatu kebenaran diantara
pihak-pihak yang berperkara dengan sebab itulah maka berdosa hukumnya bagi
orang yang memenuhi syarat untuk menjadi saksi menolak untuk tidak memberikan
kesaksiannya, berdasarkan firman Allah SWT di dalam Al-Qur’an Q.S. al Baqarah
(2) 283 yaitu :
وَلا تَـكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ
يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ ءَاثِمٌ قَلْبُـهُ وَاللَّهُ بـِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
Terjemahnya
:
“…dan
janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
B. Rukun dan Syarat Talak
1.
Suami
a) Suami harus
berakal
b) Baligh
c) Atas
kemauannya sendiri, tanpa dipaksa orang lain
d) Kedudukan suami
yang mentalak itu harus berdasarkan atas akad perkawinan yang sah
2. Isteri
a) Isteri
itu tetap berada dalam perlindungan suami.
b) Kedudukan
isteri yang ditalak itu harus berdasarkan atas akad perkawinan yang sah
3. Sighat talak
Ialah
kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap isterinya yang menunjukkan talak,
baik itu secara jelas maupun sindiran, baik berupa ucapan/lisan, tulisan,
isyarat bagi tuna wicara ataupun dengan suruhan orang lain
4. Qashdu (sengaja)
Artinya bahwa yang diucapkannya itu
memang bermaksud untuk mentalak isteri, bukan untuk maksud lain
5. Saksi
Kebanyakan fuqaha berpendapat bahwa
talak itu dapat terjadi tanpa persaksian, yakni dipandang sah oleh hokum Islam
suami menjatuhkan talak terhadap isterinya tanpa kehadiran dan kesaksian dua
orang saksi, karena talak itu hak suami sehingga suami berhak sewaktu-waktu
menggunakan haknya itu tanpa menghadirkan dua orang saksi, dan sahnya talak itu
tanpa tergantung kepada ada atau tidaknya saksi.
Namun, di Indonesia harus melalui
pengadilan agama yang disitu jatuh atau tidaknya talak tergantung kepada hakim
yang memutuskan. Telah diputuskan pada bab Putusnya Perkawinan pada Bagian
kesatu didalam pasal 115 yang berbunyi :
“Perceraian
hanya dapat dilakukan di depan siding Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama
tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.
C. KESAKSIAN TALAK
Kesaksian Talak Menurut Ahli Fikih
dan Menurut Hukum Positif.
Kalangan mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i (kecuali pada qaul qadimnya Imam Syafi’i berpendapat bahwa pengucapan talak seorang suami terhadap isterinya memerlukan dua orang saksi ) dan Hanbali berpendapat bahwa pengucapaan talak seorang suami terhadap isterinya tidak perlu adanya saksi, alasan mereka berpendapat demikian karena talak merupakan hak mutlak seorang suami terhadap isterinya, sedangkan suami yang akan menjatuhkan talak terhadap isterinya itu tidak dituntut untuk menghadirkan saksi, selain itu mereka berpendapat tidak ada satu dalilpun yang menunjukkan bahwa seorang suami dalam menjatuhkan talak terhadap isterinya memerlukan saksi.
Kalangan mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i (kecuali pada qaul qadimnya Imam Syafi’i berpendapat bahwa pengucapan talak seorang suami terhadap isterinya memerlukan dua orang saksi ) dan Hanbali berpendapat bahwa pengucapaan talak seorang suami terhadap isterinya tidak perlu adanya saksi, alasan mereka berpendapat demikian karena talak merupakan hak mutlak seorang suami terhadap isterinya, sedangkan suami yang akan menjatuhkan talak terhadap isterinya itu tidak dituntut untuk menghadirkan saksi, selain itu mereka berpendapat tidak ada satu dalilpun yang menunjukkan bahwa seorang suami dalam menjatuhkan talak terhadap isterinya memerlukan saksi.
Berbeda halnya dengan ulama Syi’ah
Imamiyah mereka berpendapat bahwa seorang suami yang akan menjatuhkan talak
terhadap isterinya perlu disaksikan oleh dua orang saksi dengan mengambil
argumerntasi pengertian secara umum surah at Talak (65) ayat 2 (Abdul Aziz
Dahlan et.al 1996:1783) yang berbunyi sebagai berikut :
artinya :…. Dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu, dan hendaklah kamu tegakkan
kesaksian itu karena Allah…..(Q.S. at-Talak ayat 2).
Imam Abu Dawud menceritakan bahwa
Imran bin Husain pernah ditanya tentang seseorang yang menjatuhkan talak
isterinya tanpa saksi, kemudian ia rujuk dengan isterinya itu tanpa saksi pula.
Imran bin Husain ketika itu menyatakan “ dia talak isterinya tidak sesuai
dengan sunah (Rasulullah) dan dia kembali kepada isterinya tidak sesuai dengan
sunnah. Persaksikanlah talaknya itu dan persaksikan pula rujuknya.
Menurut pasal 66 ayat (1) UU
No.1/1974 sebagaimana yang penulis kutip di atas maka talak yang akan diucapkan
oleh suami terhadap isterinya selain setelah mengikuti sidang-sidang dan
mendapat izin dari Pengadilan, maka Pengadilan membuka sidang guna penyaksian
terhadap suami yang akan menjatuhkan talak terhadap isterinya.[3]
Tampaknya
pembuat Undang-undang pencantuman pasal 66 ayat (1) UU No.1/1974 diilhami
pendapat ulama Syi’ah dan (qaul qadimnya Imam Syafi’i) yang mensyaratkan adanya
dua orang saksi bila seseorang akan menceraikan atau mentalak isterinya.
Dari uraian tersebut di atas maka
menurut fikih dan hukum positif ada perbedaan dan kesamaan tentang seseorang
yang akan menceraikan isterinya yaitu
- Persamaannya, menurut ulama Syi’ah Imamiyah (termasuk
qaul qadimnya Imam Syafii) dan hukum positif bahwa seseorang dalam
mengucapkan/mentalak isterinya perlu adanya saksi.
- Perbedaannya, bahwa jumhur ulama mengatakan, pengucapan
talak seorang suami terhadap isterinya tidak perlu adanya saksi, sedangkan
dalam hukum positif menyatakan bahwa dalam menjatuhkan talak seorang suami
terhadap isterinya diperlukan saksi
Tindakan Pengadilan Terhadap Perkara
Cerai Talak di Bawah Tangan Sementara Pihak Berperkara Akan Rujuk.
Terhadap pertanyaan dari Mahkamah
Syar’iyah Provinsi NAD kepada Mahkamah Agung RI yang dikutip pada awal tulisan
ini, maka Pengadilan (Hakim) dalam memeriksa perkara tersebut haruslah
bijaksana. Dari satu sisi sebagai muslim hukum fikih yang berjalan dan hidup di
tengah-tengah masyarakat muslim di Nangroe Aceh Darussalam perlu mendapat
apresiasi, karena sebagai muslim yang patuh terhadap ajaran agamanya perlu
mendukung hukum yang hidup di masyarakat terutama sekali hukum syari’ah. Dari
sisi lain sebagai muslim plus sebagai hakim Negara wajib untuk menegakkan hukum
yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia termasuk Undang-undang dan
peraturan lain tentang perkawinan.
Dalam Islam seorang suami yang akan
menceraikan atau mentalak isterinya haruslah mengetahui rukun dan syarat dalam
melakukan talak terhadap isteri yang akan diceraikannya.
Kalangan ahli fikih kontemporer
seperti Muhammad Abu Zahra, Ali Hasbalah, Ali Al-Khalif, Mustafa As-Siba’i ,
Mustafa Ahmad az Zarqa, Abdur Rahman As-Sabuni dan Sayid Sabiq berpendapat
bahwa kesaksian dalam talak sangat logis, sehingga terjadi keseimbangan
(tawazun) kepentingan kesaksian dalam masalah perkawinan dan perceraian.
Mereka-mereka yang penulis sebutkan
di atas berpendapat bahwa “dalam perubahan situasi dan kondisi yang diakibatkan
perkembangan zaman, persoalan saksi semakin penting karena waziib ad-diin
(tanggung jawab religius) masing-masing suami semakin melemah, sehingga
dikhawatirkan talak tersebut dapat digunakan secara sewenang-wenang.
UU. No.1/1974, PP. No.9/1975 dan KHI
tidak mentolerir adanya perceraian di bawah tangan, hal itu dimaksudkan agar
seorang suami tidak semena-mena menceraikan isterinya tanpa adanya aturan yang
harus dipedomani.
Lalu bagaimana tindakan hakim dalam memproses perkara yang ditangani atas kasus yang diajukan oleh Mahkamah Syariyah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam tersebut?. Karena yang diajukan itu ada beberapa pertanyaan maka solusinya sebagai berikut:
Lalu bagaimana tindakan hakim dalam memproses perkara yang ditangani atas kasus yang diajukan oleh Mahkamah Syariyah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam tersebut?. Karena yang diajukan itu ada beberapa pertanyaan maka solusinya sebagai berikut:
a.
Sesuai hukum acara yang berlaku bagi Pengadilan Agama dalam bidang perkawinan
bahwa selama perkara yang diajukan oleh pihak-pihak berperkara belum diputus,
maka kewajiban hakim untuk mengusahakan perdamaian secara maksimal. jelas bahwa
kedua belah pihak berperkara akan mengakhiri berperkara di Mahkamah Syar’iyah
(bisa dibaca Pengadilan Agama), apakah tindakan pihak-pihak tersebut atas prakarsa
atau upaya hakim dalam mendamaikan, ataukah karena inisiatif pihak-pihak
sendiri mengingat anakanaknya perlu mendapat perhatian dari orang
tuanya.Apalagi kalau pihak Termohon/isteri datang dalam persidangan, maka hakim
sebelum melanjutkan pemeriksaan menyarankan agar pihak-pihak menempuh proses
mediasi sesuai amanat Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 tahun 2008.
Nah, bila hal itu
telah terjadi ( damai ) maka hakim menyarankan agar Pemohon/Penggugat membuat
pernyataan mencabut perkaranya (kalau pihak Termohon/Tergugat hadir maka
diperlukan persetujuannya) sehingga tidak ada alasan bagi hakim untuk
melanjutkan pemeriksaan atas perkara yang mereka ajukan ke Mahkamah Syar’iyah (
Pengadilan Agama ).
Kesimpulannya, apabila tercapai perdamaian maka perkara perceraian tersebut dicabut, untuk itu hakim membuat penetapan yang menyatakan perkara telah dicabut karena perdamaian dan menyatakan demi hukum (positif) para pihak masih dalam ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Akta Nikah yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan yang bersangkutan, di mana mereka dahulu melakukan perkawinannya. Penetapan yang semacam ini tidak dapat dimintakan upaya hukum. (Mujahidin 2008:172)
Kesimpulannya, apabila tercapai perdamaian maka perkara perceraian tersebut dicabut, untuk itu hakim membuat penetapan yang menyatakan perkara telah dicabut karena perdamaian dan menyatakan demi hukum (positif) para pihak masih dalam ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Akta Nikah yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan yang bersangkutan, di mana mereka dahulu melakukan perkawinannya. Penetapan yang semacam ini tidak dapat dimintakan upaya hukum. (Mujahidin 2008:172)
b. Talak tiga
yang sesuai dengan tata cara syari’at yang sempat diucapkan oleh pihak suami
terhadap isterinya (diluar sidang Mahkamah Syar’iyah/Pengadilan Agama) itu
bukanlah wewenang Mahkamah Syar’iyah/Pengadilan Agama justeru Pengadilan tidak
mentolerirnya, karena perceraian bisa terjadi bila dilakukan di depan sidang
Mahkamah Syar’iyah/Pengadilan Agama.
Pasal 65 UU No.1/1974 menyatakan
bahwa “ Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua
belah pihak.
c. Benarkah
bila Mahkamah Syar’iyah/Pengadilan menganggap tidak ada talak tiga, maka akan
bertentangan dengan hati nurani ? karena mereka telah menjatuhkan talak dengan
tata cara syariat Islam.Menurut pasal 65 dan 82 UU No.1/1974 jo pasal `115 KHI
bahwa sebelum perkara (perkawinan) belum final/diberi putusan maka hakim wajib
untuk mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara.
Dalam mendamaikan bukan berarti
bahwa hakim hanya berusaha agar pihak-pihak mengakhiri sengketanya dengan
harapan dapat kembali rukun, damai tetapi mendamaikan diartikan lebih dari itu,
termasuk di dalamnya upaya mendamaikan itu hakim menasehati dan memberi arahan
kepada kedua belah pihak yang akan mengakhiri sengketanya, termasuk memberi
arahan kepada pihak-pihak terutama sekali kepada suami yang telah menjatuhkan
talaknya secara liar (tanpa prosedur yang diatur dalam Undang-undang).
Karena Pemohon telah menjatuhkan
talaknya yang ketiga secara liar/di bawah tangan (talak bain kubra), maka hakim
atau mediator memberi nasehat-nasehat kepada pihak-pihak bahwa secara fikih
Pemohon tidak dapat lagi rujuk kepada isterinya sebelum isterinya menikah lagi
dengan laki-laki lain dan bercerai setelah adanya hubungan suami isteri.
Nah, karena perceraian itu dilakukan di
bawah tangan, maka perkawinan isterinya terhadap suami yang kedua tentu juga di
bawah tangan, dan seterusnya dalam proses/langkah-langkah seterusnya. Memang
repot dan memang repot dan ribet, itulah konsekwensinya bagi masyarakat yang
tidak taat hokum.
d. Dapatkah Pengadilan
memberi putusan agar suami menjatuhkan talak yang ketiga
Oleh karena pihak-pihak akan
mengakhiri sengketanya maka hakim tidak ada alasan lagi untuk melanjutkan
pemeriksaan atas perkara , bahkan sebaliknya hakim tidak dibenarkan memberi putusan
dan mengabulkan permohonan Permohon dengan memberi izin kepada Pemohon untuk
mengucapkan ikrar talak tiga, jelas hal itu tidak sesuai dengan Undang-undang,
justeru dalam produknya hakim wajib membuat penetapan bahwa perkara tersebut
dicabut karena telah terjadi perdamian, kemudian hakim memberitahukan kepada
pihak-pihak bahwamereka tidak perlu datang lagi dalam persidangan karena
pekaranya telah selesai dan diputus.[4]
BAB
III
PENUTUP
- Kesimpulan
Pengertian Talak
Talak berasal dari kata “ithlaq” yang menurut bahasa artinya
“melepaskan atau meninggalkan”. Sedangkan menurut Istilah Agama yaitu
“melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri/perkawinan.
Al-Jaziri mendefinisikan : Talak
ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya
dengan menggunakan kata-kata tertentu.
Hukum Perceraian (Thalaq) ada 5 :
1. Makruh
2. Mubah
3. Mustahab
(disukai/ dianjurkan)
4. Wajib
5. Haram
Syarat
Wajib dan Kewajiban menjadi Saksi
a)
Beragam Islam
Saksi dalam hal ini haruslah
beragama Islam karena syarat para fuqaha menetapkan, bahwa dalam kesaksian ini
yang dapat diterima bagi kesaksian seseorang haruslah beragama Islam.
b)
Baliqh
Saksi yang belum mencapai usia
baliqh tidak dapat dijadikan sebagai saksi, terlebih memberikan kesaksian.
c)
Berakal
Persaksian dari pada saksi dapat
dijadikan saksi sebagai pembuktian dalam Peradilan Agama jika saksi memiliki
akal dan jiwa yang sehat sebagai salah satu syarat yang harus dimiliki oleh
saksi dalam suatu persaksian.
d)
Merdeka
Merdeka ialah saksi dalam memberikan
kesaksian harus termasuk orang yang merdeka yaitu tidak sebagai budak
atau orang yang tidak memiliki kebebasan hidup seperti manusia lainnya.
e)
Adil
Sifat keadilan dari saksi dalam
memberikan kesaksian sangatlah menentukan dalam penilaian hakim karenanya sifat
adil dalam hal ini ialah menjauhi perbuatan dosa, baik hati, menjaga kehormatan
diri, dan bukan musuh atau lawan dari pihak yang berperkara.
- Saran
Demikianlah tugas penyusunan makalah ini
kami buat dengan harapan semoga bermanfaat bagi pembaca dan dapat memberi
motifasi untuk menjadi acuan mahasiswa agar lebih giat membaca.
DAFTAR
PUSTAKA
Muhammad bin Ismail Al-Kahlany, Subul al-Salam,
Bandung:Dahlan,tth.,jilid 3
Nur, Djamaan,Drs.,H.,Fiqih Munakahat, Semarang:Dina Utama (Toha
Putra Gruop), 1993, cet.ke-1
Abidin, Slamet, Drs., dan Aminuddin H., Drs., Fiqih Munakahat,
Bandung : CV. Pustaka Setia, 1999, cet. Ke-1, jilid 1 dan 2
Edisi Indonesia : Muhammad Abdus Salam Ibrahim (ed), Panduan Hukum Islam,
Jakarta : Pustaka Azzam, 2000
No comments:
Post a Comment