Wikipedia

Search results

Wednesday, April 6, 2016

MAKALAH HADIS AHKAM Saksi Dalam Talaq

MAKALAH HADIS AHKAM

Saksi Dalam Talaq



BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang

Talak berasal dari kata “ithlaq” yang menurut bahasa artinya “melepaskan atau meninggalkan”. Sedangkan menurut Istilah Agama yaitu “melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri/perkawinan.
            Al-Jaziri mendefinisikan : Talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu
Saksi adalah orang yg melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa (kejadian); orang yg dimintai hadir pada suatu peristiwa yang dianggap mengetahui kejadian tesebut agar pada suatu ketika, apabila diperlukan dapat memberikan keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh terjadi orang yang memberikan keterangan di muka hakim untuk kepentingan pendakwa atau terdakwa yang memberikan keterangan.


  1. Rumusan Masalah
  1. Apa sesungguhnya pengertian talaq ?
  2. Apa saja rukun dalam takaq ?
  3. Apa saja syarat wajib dan kewajiban menjadi saksi ?


  1. Tujuan Makalah
  1. Menambah pemahaman tentang perceraian
  2. Mengentahui apa saja dalam tentang talaq





BAB II
PEMBAHASAN

  1. Hadis Tentang Saksi Dalam Talaq

عن عمران بن حصين رضي الله عنه انه سءل عن الر جل يطلق شم يرا جح , ول
يشهد , فق ل : أ شهد على طلل قها , و على ر جعتها ر وا ه ابو داو د هكدا مو قو فا , و سنده صحيحز.

Artinya :

Dari Imron Bin Husen Rodiallahu bahwa sanya ia di tanya seorang laki-laki yang di Talaq kemudian dia rujuk kembali dan imron tidak mengetahui hal tersebut, kemudian laki-laki berkata aku mengetahui istri menalaq aku dan aku mengetahui ketika istriku merujuk kembali.
Rowahu dari Abu Daud ( cerita itu benar dan sanadnya shoheh).


.    Pengertian Talak

         Talak berasal dari kata “ithlaq” yang menurut bahasa artinya “melepaskan atau meninggalkan”. Sedangkan menurut Istilah Agama yaitu “melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri/perkawinan.
            Al-Jaziri mendefinisikan : Talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu.
            Menurut Abu Zakaria Al-Anshari : Talak yaitu melepas tali akad nikah dengan kata talak dan yang semacamnya.

Jadi, talak ialah suatu perbuatan suami yang melepas ikatan perkawinan dengan isteri dengan menggunakan kata-kata tertentu.
Islam memberikan hak talak hanya kepada laki-laki saja. Karena ia yang lebih bersikeras untuk melanggengkan tali perkawinannya yang dibiayainya dengan harta begitu besar, sehingga kalau dia mau cerai atau kawin lagi ia perlu membiayanyinya lagi dalam jumlah yang sama atau lebih banyak lagi.
            Perempuan yang dicerai wajib
dilunasi sisa maharnya yang belum dibayarkannya, diberi uang hadiah talak dan diberi uang belanja selama masa iddahnya.

Hukum Perceraian (Thalaq) ada 5 :

1.      Makruh

Secara asal, hukum perceraian adalah makruh (dibenci).
Jika seorang suami menceraikan istrinya tanpa ada sebab, maka itu adalah makruh.
Secara asal, perceraian adalah sesuatu yang tidak disukai oleh Allah dan justru disukai oleh Iblis.

Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاَقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Dan jika kalian bertekad kuat untuk thalaq, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Q.S al-Baqoroh:227).

Konteks ayat tersebut adalah bentuk peringatan dan ancaman: “jika kalian berbuat demikian…sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”, sehingga itu menunjukkan bahwa perceraian tidaklah disukai oleh Allah. Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Syaikh Ibn Utsaimin rahimamullah.

Hal yang menunjukkan bahwa perceraian adalah sesuatu yang disukai oleh Iblis dan bala tentaranya (syaithan) adalah hadits:

إِنَّ إِبْلِيسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا فَيَقُولُ مَا صَنَعْتَ شَيْئًا قَالَ ثُمَّ يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ قَالَ فَيُدْنِيهِ مِنْهُ وَيَقُولُ نِعْمَ أَنْتَ

Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air kemudian mengirim pasukannya (ke berbagai penjuru). Pihak yang terdekat kedudukannya dari Iblis adalah yang paling besar menimbulkan fitnah. Salah satu dari mereka datang (menghadap Iblis) dan menyatakan: Aku berbuat demikian dan demikian. Iblis menyatakan: engkau belum berbuat apa-apa. Kemudian datang satu lagi (melaporkan): Aku tidak tinggalkan ia (manusia) hingga aku pisahkan ia dengan istrinya. Kemudian Iblis mendekatkan kedudukannya dan mengatakan: bagus engkau (H.R Muslim).

2.      Mubah

Yaitu ketika ada sesuatu kebutuhan,seperti kurang baik pergaulan dengan istri.

         Misalnya, jika seorang laki-laki sudah tidak mampu lagi untuk bersabar hidup bersama istrinya.
    Secara asal, al-Quran dan Sunnah memberikan bimbingan kepada suami untuk tetap bersabar ketika mengalami sesuatu yang tidak ia sukai ada pada istrinya.
فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

“Jika kalian membenci mereka (para istri), bisa jadi kalian membenci sesuatu, sedangkan Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak (Q.S anNisaa’:19).[1]
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman kepada Rasul-Nya:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ

“Wahai Nabi, jika kalian menthalaq para wanita, maka thalaqlah pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)…”(Q.S ath-Tholaq ayat 1)

Thalaq bukanlah suatu yang haram, karena Allah tidak menyatakan kepada NabiNya: “janganlah kalian menthalaq”. Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Syaikh Ibn Utsaimin.
Demikian indahnya syariat Islam, memberikan solusi atas segala permasalahan. Sebagian orang kafir menganggap ajaran Islam tidak berpihak kepada kaum wanita dengan adanya thalaq. Padahal, dalam kondisi tertentu thalaq (perceraian) adalah jalan keluar terbaik bagi suatu permasalahan. Seseorang wanita akan lebih baik dicerai jika seandainya dibiarkan tetap tinggal bersama suaminya, tapi ia ditelantarkan, tidak mendapat kasih sayang dan perhatian, bahkan justru sering disakiti dengan ucapan atau perbuatan.

3.      Mustahab (disukai/ dianjurkan)

          Dalam kondisi tertentu perceraian adalah sesuatu yang dianjurkan. Hal ini jika dikhawatirkan memudharatkan salah satu atau kedua belah pihak bagi suami istri jika pernikahan itu dilanjutkan
Contohnya, jika istri bersikap dominan pada suami, sedangkan suaminya penakut. Mudah dipengaruhi, namun sulit mempengaruhi orang lain. Sikap istri tidak baik dan sangat sulit diharapkan perubahannya, dikhawatirkan menimbulkan mudharat (kegunaan ) bagi  sang suami, maka dalam batas tertentu dianjurkan untuk bercerai.
           Atau sebaliknya, istri seringkali disakiti hatinya oleh suami. Menyebabkan hidupnya tidak tentram dan tenang, serta suami sangat sulit diubah perilakunya, maka dalam batas tertentu, perceraian adalah sesuatu yang mustahab untuk dilakukan.

4.      Wajib

Jika seorang suami melakukan ilaa’, yaitu bersumpah untuk tidak menggauli istrinya (jimak) lebih dari 4 bulan, misalkan ia bersumpah: Saya tidak akan menggauli istri saya selama setahun. Itu adalah ilaa’. Diberikan batas waktu 4 bulan bagi sang suami. Jika sudah sampai 4 bulan, maka diberi pilihan: apakah ia mau kembali (menggauli istrinya) dan membayar kaffaroh (kafir) sumpah, atau ia menthalaq (menceraikan) istrinya. Jika ia tidak mau dua-duanya, maka hakim wajib memaksa suami untuk menceraikan istrinya.

Wajib menceraikan istri pula jika sang istri melakukan perbuatan keji (zina) dan tidak bisa diharapkan taubatnya. Kalau sang suami tidak menceraikannya, maka suami masuk kategori dayyuts, yang diancam dalam hadits Nabi: tidak masuk surga.
    
5.      Haram

Diharamkan bagi suami menceraikan istrinya pada saat haid, atau pada saat suci dan di masa suci itu sang suami telah berjimak dengan istrinya. Diharamkan juga mengucapkan thalaq lebih dari satu. Misalkan dengan mengatakan: aku thalaq engkau dua kali, atau aku thalaq engkau seratus kali. Ucapan demikian adalah haram.
Kelima poin di atas disarikan dengan beberapa penambahan dari penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam asy-Syarhul Mumti’ syarh Zaadil Mustaqni’.
Hal yang perlu dipahami adalah: keputusan cerai atau tidak adalah di tangan suami.
Sebaliknya, bagi istri tidak boleh (haram) meminta kepada suami untuk menceraikannya tanpa ada sebab syar’i. Hal ini berdasarkan hadits:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
“Wanita mana saja yang meminta cerai dari suaminya tanpa ada alasan (syar’i), maka haram baginya bau surga” (H.R Ibnu Majah, dishahihkan Syaikh al-Albany)
Alasan syar’i bagi wanita untukk meminta cerai pada suami di antaranya: jika suami tidak menjalankan kewajibannya, atau istri ditelantarkan, atau istri sering didzhalimi/disakiti, atau suami telah murtad, atau memiliki akhlak yg buruk, atau suka berbuat dosa besar dan sulit diubah.

Saksi adalah orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa (kejadian); orang yang dimintai hadir pada suatu peristiwa yang dianggap mengetahui kejadian tesebut agar pada suatu ketika, apabila diperlukan dapat memberikan keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh terjadi orang yang memberikan keterangan di muka hakim untuk kepentingan pendakwa atau terdakwa yang memberikan keterangan.

6.      Sunnah,
Yaitu Jika istri tidak menjaga kehormatanya (bermata keranjang)  dan telah diberi nasehat tetapi tidak diperhatikan nasehat suaminya.

  1. Syarat Wajib dan Kewajiban menjadi Saksi

Untuk memberitahukan kesaksian yang dapat diterima serta dapat di jadikan pembuktian kuat wajib memenuhi syarat-syarat tertentu yaitu :
a)     Beragam Islam
Saksi dalam hal ini haruslah beragama Islam karena syarat para fuqaha menetapkan, bahwa dalam kesaksian ini yang dapat diterima bagi kesaksian seseorang haruslah beragama Islam.

b)     Baliqh
Saksi yang belum mencapai usia baliqh tidak dapat dijadikan sebagai saksi, terlebih memberikan kesaksian.
c)     Berakal
Persaksian dari pada saksi dapat dijadikan saksi sebagai pembuktian dalam Peradilan Agama jika saksi memiliki akal dan jiwa yang sehat sebagai salah satu syarat yang harus dimiliki oleh saksi dalam suatu persaksian.
d)     Merdeka
Merdeka ialah saksi dalam memberikan kesaksian harus termasuk orang yang merdeka yaitu tidak sebagai budak atau  orang yang tidak memiliki kebebasan hidup seperti manusia lainnya.
e)     Adil
Sifat keadilan dari saksi dalam memberikan kesaksian sangatlah menentukan dalam penilaian hakim karenanya sifat adil dalam hal ini ialah menjauhi perbuatan dosa, baik hati, menjaga kehormatan diri, dan bukan musuh atau lawan dari pihak yang berperkara.
Saksi-saksi yang dipanggil ke muka sidang pengadilan mempunyai kewajiban menurut hukum yaitu[2] :
  1. Kewajiban untuk menghadap atau datang memenuhi panggilan persidangan, yang mana dirinya dipanggil dengan patut dan sah
  2. Kewajiban untuk bersumpah sebelum memberi keterangan, sumpah ini menurut ketentuan agamanya  dan bagi suatu agama yang tidak memperkenankan adanya sumpah maka diganti dengan mengucapkan janji
  3. Kewajiban untuk memberikan keterangan yang benar
Dalam peraturan perundang-undangan tentang hukum acara perdata tidak ada persyaratan secara mutlak untuk diterima sebagai saksi, baik jenis kelamin, sifat, dan beberapa jumlah ideal. Perbedaan agama tidak menjadi halangan untuk diterimanya seseorang menjadi saksi, karena prinsip utama dalam masalah pembuktian adalah terungkapnya suatu kebenaran suatu peristiwa yang menjadi sengketa antara para pihak dimuka majelis hakim, dengan hal tersebut keadilan dan kebenaran dapat ditegakkan.
Dalam dalam Q.S. an Nisah (4) 135 yaitu :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّه
Terjemahnya :
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah…”

Sehingga dengan adanya kesaksian dari saksi tersebut diharapkan akan terungkapnya suatu kebenaran diantara pihak-pihak yang berperkara dengan sebab itulah maka berdosa hukumnya bagi orang yang memenuhi syarat untuk menjadi saksi menolak untuk tidak memberikan kesaksiannya, berdasarkan firman Allah SWT di dalam Al-Qur’an Q.S. al Baqarah (2) 283 yaitu :

 وَلا تَـكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ ءَاثِمٌ قَلْبُـهُ وَاللَّهُ بـِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
Terjemahnya :
“…dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

B.  Rukun dan Syarat Talak
1. Suami
                a)   Suami harus berakal
                b)   Baligh
                c)    Atas kemauannya sendiri, tanpa dipaksa orang lain
                d)   Kedudukan suami yang mentalak itu harus berdasarkan atas akad perkawinan yang sah
2. Isteri
              a)  Isteri itu tetap berada dalam perlindungan suami.
              b)  Kedudukan isteri yang ditalak itu harus berdasarkan atas akad perkawinan yang sah
3. Sighat talak
            Ialah kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap isterinya yang menunjukkan talak, baik itu secara jelas maupun sindiran, baik berupa ucapan/lisan, tulisan, isyarat bagi tuna wicara ataupun dengan suruhan orang lain
4.   Qashdu (sengaja)
            Artinya bahwa yang diucapkannya itu memang bermaksud untuk mentalak isteri, bukan untuk maksud lain
5.   Saksi
Kebanyakan fuqaha berpendapat bahwa talak itu dapat terjadi tanpa persaksian, yakni dipandang sah oleh hokum Islam suami menjatuhkan talak terhadap isterinya tanpa kehadiran dan kesaksian dua orang saksi, karena talak itu hak suami sehingga suami berhak sewaktu-waktu menggunakan haknya itu tanpa menghadirkan dua orang saksi, dan sahnya talak itu tanpa tergantung kepada ada atau tidaknya saksi.
Namun, di Indonesia harus melalui pengadilan agama yang disitu jatuh atau tidaknya talak tergantung kepada hakim yang memutuskan. Telah diputuskan pada bab Putusnya Perkawinan pada Bagian kesatu didalam pasal 115 yang berbunyi :
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan siding Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.






C.   KESAKSIAN TALAK

Kesaksian Talak Menurut Ahli Fikih dan Menurut Hukum Positif.
Kalangan mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i (kecuali pada qaul qadimnya Imam Syafi’i berpendapat bahwa pengucapan talak seorang suami terhadap isterinya memerlukan dua orang saksi ) dan Hanbali berpendapat bahwa pengucapaan talak seorang suami terhadap isterinya tidak perlu adanya saksi, alasan mereka berpendapat demikian karena talak merupakan hak mutlak seorang suami terhadap isterinya, sedangkan suami yang akan menjatuhkan talak terhadap isterinya itu tidak dituntut untuk menghadirkan saksi, selain itu mereka berpendapat tidak ada satu dalilpun yang menunjukkan bahwa seorang suami dalam menjatuhkan talak terhadap isterinya memerlukan saksi.
Berbeda halnya dengan ulama Syi’ah Imamiyah mereka berpendapat bahwa seorang suami yang akan menjatuhkan talak terhadap isterinya perlu disaksikan oleh dua orang saksi dengan mengambil argumerntasi pengertian secara umum surah at Talak (65) ayat 2 (Abdul Aziz Dahlan et.al 1996:1783) yang berbunyi sebagai berikut :
artinya :…. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu, dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah…..(Q.S. at-Talak ayat 2).
Imam Abu Dawud menceritakan bahwa Imran bin Husain pernah ditanya tentang seseorang yang menjatuhkan talak isterinya tanpa saksi, kemudian ia rujuk dengan isterinya itu tanpa saksi pula. Imran bin Husain ketika itu menyatakan “ dia talak isterinya tidak sesuai dengan sunah (Rasulullah) dan dia kembali kepada isterinya tidak sesuai dengan sunnah. Persaksikanlah talaknya itu dan persaksikan pula rujuknya.
Menurut pasal 66 ayat (1) UU No.1/1974 sebagaimana yang penulis kutip di atas maka talak yang akan diucapkan oleh suami terhadap isterinya selain setelah mengikuti sidang-sidang dan mendapat izin dari Pengadilan, maka Pengadilan membuka sidang guna penyaksian terhadap suami yang akan menjatuhkan talak terhadap isterinya.[3]
Tampaknya pembuat Undang-undang pencantuman pasal 66 ayat (1) UU No.1/1974 diilhami pendapat ulama Syi’ah dan (qaul qadimnya Imam Syafi’i) yang mensyaratkan adanya dua orang saksi bila seseorang akan menceraikan atau mentalak isterinya.
Dari uraian tersebut di atas maka menurut fikih dan hukum positif ada perbedaan dan kesamaan tentang seseorang yang akan menceraikan isterinya yaitu
  1. Persamaannya, menurut ulama Syi’ah Imamiyah (termasuk qaul qadimnya Imam Syafii) dan hukum positif bahwa seseorang dalam mengucapkan/mentalak isterinya perlu adanya saksi.
  2. Perbedaannya, bahwa jumhur ulama mengatakan, pengucapan talak seorang suami terhadap isterinya tidak perlu adanya saksi, sedangkan dalam hukum positif menyatakan bahwa dalam menjatuhkan talak seorang suami terhadap isterinya diperlukan saksi
Tindakan Pengadilan Terhadap Perkara Cerai Talak di Bawah Tangan Sementara Pihak Berperkara Akan Rujuk.
Terhadap pertanyaan dari Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD kepada Mahkamah Agung RI yang dikutip pada awal tulisan ini, maka Pengadilan (Hakim) dalam memeriksa perkara tersebut haruslah bijaksana. Dari satu sisi sebagai muslim hukum fikih yang berjalan dan hidup di tengah-tengah masyarakat muslim di Nangroe Aceh Darussalam perlu mendapat apresiasi, karena sebagai muslim yang patuh terhadap ajaran agamanya perlu mendukung hukum yang hidup di masyarakat terutama sekali hukum syari’ah. Dari sisi lain sebagai muslim plus sebagai hakim Negara wajib untuk menegakkan hukum yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia termasuk Undang-undang dan peraturan lain tentang perkawinan.
Dalam Islam seorang suami yang akan menceraikan atau mentalak isterinya haruslah mengetahui rukun dan syarat dalam melakukan talak terhadap isteri yang akan diceraikannya.
Kalangan ahli fikih kontemporer seperti Muhammad Abu Zahra, Ali Hasbalah, Ali Al-Khalif, Mustafa As-Siba’i , Mustafa Ahmad az Zarqa, Abdur Rahman As-Sabuni dan Sayid Sabiq berpendapat bahwa kesaksian dalam talak sangat logis, sehingga terjadi keseimbangan (tawazun) kepentingan kesaksian dalam masalah perkawinan dan perceraian.
Mereka-mereka yang penulis sebutkan di atas berpendapat bahwa “dalam perubahan situasi dan kondisi yang diakibatkan perkembangan zaman, persoalan saksi semakin penting karena waziib ad-diin (tanggung jawab religius) masing-masing suami semakin melemah, sehingga dikhawatirkan talak tersebut dapat digunakan secara sewenang-wenang.
UU. No.1/1974, PP. No.9/1975 dan KHI tidak mentolerir adanya perceraian di bawah tangan, hal itu dimaksudkan agar seorang suami tidak semena-mena menceraikan isterinya tanpa adanya aturan yang harus dipedomani.
Lalu bagaimana tindakan hakim dalam memproses perkara yang ditangani atas kasus yang diajukan oleh Mahkamah Syariyah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam tersebut?. Karena yang diajukan itu ada beberapa pertanyaan maka solusinya sebagai berikut:

a.      Sesuai hukum acara yang berlaku bagi Pengadilan Agama dalam bidang perkawinan bahwa selama perkara yang diajukan oleh pihak-pihak berperkara belum diputus, maka kewajiban hakim untuk mengusahakan perdamaian secara maksimal. jelas bahwa kedua belah pihak berperkara akan mengakhiri berperkara di Mahkamah Syar’iyah (bisa dibaca Pengadilan Agama), apakah tindakan pihak-pihak tersebut atas prakarsa atau upaya hakim dalam mendamaikan, ataukah karena inisiatif pihak-pihak sendiri mengingat anakanaknya perlu mendapat perhatian dari orang tuanya.Apalagi kalau pihak Termohon/isteri datang dalam persidangan, maka hakim sebelum melanjutkan pemeriksaan menyarankan agar pihak-pihak menempuh proses mediasi sesuai amanat Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 tahun 2008.
     Nah, bila hal itu telah terjadi ( damai ) maka hakim menyarankan agar Pemohon/Penggugat membuat pernyataan mencabut perkaranya (kalau pihak Termohon/Tergugat hadir maka diperlukan persetujuannya) sehingga tidak ada alasan bagi hakim untuk melanjutkan pemeriksaan atas perkara yang mereka ajukan ke Mahkamah Syar’iyah ( Pengadilan Agama ).
       Kesimpulannya, apabila tercapai perdamaian maka perkara perceraian tersebut dicabut, untuk itu hakim membuat penetapan yang menyatakan perkara telah dicabut karena perdamaian dan menyatakan demi hukum (positif) para pihak masih dalam ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Akta Nikah yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan yang bersangkutan, di mana mereka dahulu melakukan perkawinannya. Penetapan yang semacam ini tidak dapat dimintakan upaya hukum. (Mujahidin 2008:172)

b.    Talak tiga yang sesuai dengan tata cara syari’at yang sempat diucapkan oleh pihak suami terhadap isterinya (diluar sidang Mahkamah Syar’iyah/Pengadilan Agama) itu bukanlah wewenang Mahkamah Syar’iyah/Pengadilan Agama justeru Pengadilan tidak mentolerirnya, karena perceraian bisa terjadi bila dilakukan di depan sidang Mahkamah Syar’iyah/Pengadilan Agama.
           Pasal 65 UU No.1/1974 menyatakan bahwa “ Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

c.    Benarkah bila Mahkamah Syar’iyah/Pengadilan menganggap tidak ada talak tiga, maka akan bertentangan dengan hati nurani ? karena mereka telah menjatuhkan talak dengan tata cara syariat Islam.Menurut pasal 65 dan 82 UU No.1/1974 jo pasal `115 KHI bahwa sebelum perkara (perkawinan) belum final/diberi putusan maka hakim wajib untuk mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara.
           Dalam mendamaikan bukan berarti bahwa hakim hanya berusaha agar pihak-pihak mengakhiri sengketanya dengan harapan dapat kembali rukun, damai tetapi mendamaikan diartikan lebih dari itu, termasuk di dalamnya upaya mendamaikan itu hakim menasehati dan memberi arahan kepada kedua belah pihak yang akan mengakhiri sengketanya, termasuk memberi arahan kepada pihak-pihak terutama sekali kepada suami yang telah menjatuhkan talaknya secara liar (tanpa prosedur yang diatur dalam Undang-undang).
        Karena Pemohon telah menjatuhkan talaknya yang ketiga secara liar/di bawah tangan (talak bain kubra), maka hakim atau mediator memberi nasehat-nasehat kepada pihak-pihak bahwa secara fikih Pemohon tidak dapat lagi rujuk kepada isterinya sebelum isterinya menikah lagi dengan laki-laki lain dan bercerai setelah adanya hubungan suami isteri.
        Nah, karena perceraian itu dilakukan di bawah tangan, maka perkawinan isterinya terhadap suami yang kedua tentu juga di bawah tangan, dan seterusnya dalam proses/langkah-langkah seterusnya. Memang repot dan memang repot dan ribet, itulah konsekwensinya bagi masyarakat yang tidak taat hokum.

d.  Dapatkah Pengadilan memberi putusan agar suami menjatuhkan talak yang ketiga
Oleh karena pihak-pihak akan mengakhiri sengketanya maka hakim tidak ada alasan lagi untuk melanjutkan pemeriksaan atas perkara , bahkan sebaliknya hakim tidak dibenarkan memberi putusan dan mengabulkan permohonan Permohon dengan memberi izin kepada Pemohon untuk mengucapkan ikrar talak tiga, jelas hal itu tidak sesuai dengan Undang-undang, justeru dalam produknya hakim wajib membuat penetapan bahwa perkara tersebut dicabut karena telah terjadi perdamian, kemudian hakim memberitahukan kepada pihak-pihak bahwamereka tidak perlu datang lagi dalam persidangan karena pekaranya telah selesai dan diputus.[4]




BAB III
PENUTUP

  1. Kesimpulan

  Pengertian Talak
        Talak berasal dari kata “ithlaq” yang menurut bahasa artinya “melepaskan atau meninggalkan”. Sedangkan menurut Istilah Agama yaitu “melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri/perkawinan.
            Al-Jaziri mendefinisikan : Talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu.

            Hukum Perceraian (Thalaq) ada 5 :

1.      Makruh
2.      Mubah
3.      Mustahab (disukai/ dianjurkan)
4.      Wajib
5.      Haram

Syarat Wajib dan Kewajiban menjadi Saksi

a)     Beragam Islam
Saksi dalam hal ini haruslah beragama Islam karena syarat para fuqaha menetapkan, bahwa dalam kesaksian ini yang dapat diterima bagi kesaksian seseorang haruslah beragama Islam.
b)     Baliqh
Saksi yang belum mencapai usia baliqh tidak dapat dijadikan sebagai saksi, terlebih memberikan kesaksian.
c)     Berakal
Persaksian dari pada saksi dapat dijadikan saksi sebagai pembuktian dalam Peradilan Agama jika saksi memiliki akal dan jiwa yang sehat sebagai salah satu syarat yang harus dimiliki oleh saksi dalam suatu persaksian.
d)     Merdeka
Merdeka ialah saksi dalam memberikan kesaksian harus termasuk orang yang merdeka yaitu tidak sebagai budak atau  orang yang tidak memiliki kebebasan hidup seperti manusia lainnya.
e)     Adil
Sifat keadilan dari saksi dalam memberikan kesaksian sangatlah menentukan dalam penilaian hakim karenanya sifat adil dalam hal ini ialah menjauhi perbuatan dosa, baik hati, menjaga kehormatan diri, dan bukan musuh atau lawan dari pihak yang berperkara.



  1. Saran

Demikianlah tugas penyusunan makalah ini kami buat dengan harapan semoga bermanfaat bagi pembaca dan dapat memberi motifasi untuk menjadi acuan mahasiswa agar lebih giat membaca.



DAFTAR PUSTAKA


Muhammad bin Ismail Al-Kahlany, Subul al-Salam, Bandung:Dahlan,tth.,jilid 3

Nur, Djamaan,Drs.,H.,Fiqih Munakahat, Semarang:Dina Utama (Toha Putra Gruop), 1993, cet.ke-1

Abidin, Slamet, Drs., dan Aminuddin H., Drs., Fiqih Munakahat, Bandung : CV. Pustaka Setia, 1999, cet. Ke-1, jilid 1 dan 2

Edisi Indonesia : Muhammad Abdus Salam Ibrahim (ed), Panduan Hukum Islam, Jakarta : Pustaka Azzam, 2000





[1] Slamet Abidin dan Aminudin (Fiqih Munakahat 2), h. 74
[2] Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqih Al-Islami wa Adillatuh, (Beirut : Daral al- Fikr, 1989), cet, ke -3, h,29
[3] Ilmu Fiqih II,h. 245. Lihat pula Zakiah Daradjat, op,cit,, h. 188-192
[4] Abul A’la Al Maududi dan Fazl Ahmed, Pedoman Perkawinan dalam Islam, Darul Ulum Press, Jakarta, 1987, h. 44-45

No comments:

Post a Comment