A.
Kurikulum pendidikan seni rupa di sekolah dasar
Pendidikan seni
di negara kita telah mengalami berbagai pembaharuan dariwaktu ke waktu.
Pembaharuan dilakukan guna meningkatkan kualitas pendidikanseni. Salah satu
usaha pemerintah yang secara sentral memperbaharui systempelaksanaan pendidikan
seni adalah penyempurnaan kurikulum. Kurikulum yangsedang dilaksanakan
senantiasa dievaluasi dan disempurnakan setiap periodetertentu untuk menghadapi
perkembangan masyarakat, ilmu pengetahuan,teknologi, dan dinamika kebudayaan
secara keseluruhan. Kurikulum PendidikanSeni telah beberapa kali mengalami
perubahan dan penyempurnaan.
Meninjau
perkembangan atau perubahan kurikulum pendidikan seni di Indonesia pada dasarnya
melihat perkembangan konsep pendidikan seni yang digunakan dalam kurikulum
sekolah di Indonesia. Perkembangan ini secara
langsung menunjuk periodisasi tahun-tahun dimana kurikulum
nasional diberlakukan sejak Indonesia merdeka hingga saat
ini. Walaupun demikian, wawasan tentang penyelenggaraan pendidikan seni
sebelum Indonesia merdeka
perlu juga diketahui untuk memberikan gambaran yang lebih utuh
terhadap perkembangan kurikulum pendidikan seni di
Indonesia. Hal ini perlu dilakukan karena konsep yang menjadi
latar belakang pembentukan kurikulum pendidikan
seni
tersebut sangat dipengaruhi oleh sistem atau konsep, pendidikan sebelumnyayang dibangun
sejak masa penjajahan.[1]
a.
Kurikulum Pendidikan Seni
sebelum Kemerdekaan
Seperti yang telah kita
pelajari pada Kegiatan Belajar sebelumnya pengembangan kurikulum
sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya kebutuhan masyarakat,
perkembangan disiplin ilmu dan perkembangan teknologi.
Berdasarkan beberapa sumber
yang pernah mengikuti pendidikan di jaman penjajahan Belanda, dapat
digambarkan bahwa konsep kurikulum pendidikan seni rupa yang berkembang pada
masa itu merujuk pada konsep pendidikan seni yang berlaku di negeri Belanda.
Masa antara tahun 1930-1945 kurikulum pendidikan seni sangat berorientasi
vokasional dengan penekanan pada penguasaanketerampilan menggambar yang sangat
relevan dengan bidang ketukangan danindustri kecil. Periode antara tahun
1930-1945 sebenarnya diwarnai juga oleh suasana penjajahan Jepang yang
berlangsung singkat (dibandingkan masa penjajahan bangsa Belanda). Masa yang
singkat saat pendudukan Jepang ini tidak
memberikan pengaruh yang berarti
terhadap perubahan atau perkembangan kurikulum pendidikan seni
rupa saat itu. Semangat anti Belanda (sekutu) yang dihembuskan pemerintah
pendudukan Jepang lebih kepada pengalih bahasaan kepada bahasa Indonesia
atau bahasa Jepang segala sesuatu yang berbau Belanda. Buku-buku pelajaran yang
berbahasa Belanda dialih bahasakan ke dalam bahasa Indonesia atau Jepang.
Sayangnya untuk pelajaran seni rupa (karena dianggap tidak memiliki nilai
strategis) upaya itu tidak dilakukan sehingga para guru membuat acauan berdasarkan
interpretasinya masing-masing dan cenderung mengikuti pola kurikulum
sebelumnya. Usaha para guru ini pada umumnya
tidak terlalu mempersoalkan peran pendidikan seni rupa terhadap peserta
didik. Dengan demikian dapat diduga
kurikulum pendidikan seni rupa pada saat itu cenderung masih berwarna vokasional
yang menekankan pada penguasaan keterampilan menggambar. Periode selanjutnya pada
masa perang Kemerdekaan (revolusi fisik) antaratahun 1945-1948. Pada masa ini
semangat untuk mengusir penjajah berkobar dimasyarakat. Perlawanan terhadap
penjajah terjadi hampir diseluruh wilayah Indonesia. Di
sekolah-sekolah, dalam usaha untuk menanamkan semangat melawan penjajah ini,
secara sengaja maupun tidak, mempengaruhi karakteristik materi pembelajaran. Mata
pelajaran olah raga diisi dengan kegiatan bela diri danbaris berbaris ala
tentara, pelajaran menyanyi diisi dengan lagu-lagu perjuangan,demikian juga
dengan pelajaran seni rupa (menggambar) diisi dengan kegiatan menggambar poster-poster
perjuangan dan menggambar yang bertemakan anti penjajahan.
b.
Kurikulum Pendidikan Seni
Setelah Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan
kurikulum pendidikan seni rupa (menggambar) di Indonesia masih mengikuti
pola kurikulum pendidikan seni di Belanda terutama di wilayah Indonesia bagian
Timur. Buku-buku yang digunakan adalah buku
terbitan Belanda yang
dipandang memenuhi tuntutan rencana pembelajaran seperti “Cara Menggambar”
karangan A.J. Cock cs dan “Marilah Menggambar” karangan J. Slechter,
keduanya adalah buku yang diperuntukan bagi Sekolah Dasar. Isi buku tersebut
adalah bagaimana teknik menggambar dan bagaimana
menggunakan teknik tersebut
untuk mengekspresikan pikiran melalui gambar. Buku-buku yang dipengaruhi
gerakan reformasi pendidikan seni di Belanda ini telah mengarah kepada
reformasoi mata pelajaran menggambar. Sasaran reformasiini adalah
menggambar konvensional yang esensial ke menggambar ekspresi yangkontekstual
serta perubahan prinsip pendidikan seni dari pola transmisi menjadipola
pemfungsian seni sebagai sarana pendidikan secara umum. Istilah seni puntelah
merangkum semua cabang seni termasuk menggambar.
Selain Belanda, pengaruh perubahan kurikulum pendidikan
seni setelah kemerdekaan juga datang dari Amerika dengan
dikirimkannya sarjana-sarjana pendidikan kita ke nAmerika dan negara-negara
lainnya. Pengaruh Amerika ini sangat terasa terutama dengan buku-bukunya
seperti “Education Through Art” karya terkenal dari Herbert Read, “Creative and
Mental Growth” karya Victor
Lowenfeld, dan “Art as
Experience” karya J. Dewey. Isi buku-buku ini terutama tentang penggunaan seni
dalam pendidikan dengan tujuan bukan untuk menjadikan seorang anak
terampil dalam seni, tetapi untuk mengembangkan potensi peserta didik
secara utuh.
c.
Kurikulum Pendidikan Seni
1975 dan 1984
Pada tahun 1975 terjadi
perubahan yang menyeluruh pada mata pelajaran ekspresi, yang
sebelum itu dalam kurikulum sekolah umum dikenal dengan nama mata pelajaran
menggambar dan seni suara. Pembaharuan dapat dilihat dengan penggantian
namamata pelajaran itu menjadi Pendidikan Kesenian‟.Istilah mata pelajaran
juga digant i menjadi „bidang studi‟, sehingga pembaharuan itu selengkapnya menjadi „bidang
studi pendidikan kesenian‟. Isibidang studi pendidikan kesenian itu merupakan penggabungan
pelajaran menggambar dan seni suara ditambah sub bidang
studi lain yaitu seni tari dan teater, yang pada kurikulum sebelumnya tidak
ada. Pelajaran menggambar danseni suara diubah namanya menjadi seni rupa dan
seni musik. Selengkapnya bidang studi pendidikan
kesenian berisi sub-sub bidang studi seni rupa, senimusik, seni tari, dan seni
teater (drama). Kurikulum 1975 disempurnakan lagi pada tahun 1984 dengan
sebutan kurikulum 1984. Penyempurnaan ini ditandai oleh
penggantian istilah pendidikan kesenian menjadi pendidikan seni. Penyempurnaan
kurikulum ini terutama ditujukan kepada kendala yang ditimbulkan oleh
terlalu luasnya materi bahan ajar yang ditentukan dalam kurikulum 1975
dibandingkan dengan alokasi waktu yang disediakan. Dalam
pendidikan seni justru terjadi perubahan yang cukup besar,peran pendidikan
untuk menyiapkan tenaga trampil yang siap kerja ditiadakan,dan peran untuk
pengembangan ilmu seni juga diperkecil demikian juga denganalokasi waktunya di
tingkat sekolah menegah atas dikurangi hanya diberikan dikelas satu dan dua
saja.
d.
Kurikulum Pendidikan Seni
1994
Perbedaan yang cukup
mendasar dalam kurikulum 1994 setelah pemberlakuan kurikulum 1984
adalah digunakannya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional sebagai
dasar dari pembuatan kurikulum. Kurikulum 1994 Sekolah Dasar yang berlaku
saat itu sangat jauh berbeda dengan kurikulumsebelumnya. Perbedaan itu meliputi
sistem pembelajarannya yang menggunakan integrated learning‟ atau pembelajaran terpadu
antara beberapa cabang seni. Nama pendidikan seni berubah pula menjadi Kerajinan
Tangan dan Kesenian”.Ruang lingkup materi kerajinan tangan meliputi
berbagai kegiatan sederhana kerumah tanggaan yang mudah
dilakukan oleh anak-anak untuk keperluan hidupnya sehari-hari, dan
termasuk di dalamnya pekerjaan kesenirupaan.
Sedangkan yang dimaksud
kesenian meliputi seni tari (seni gerak), seni musik (seni suara). Antara
pengajaran kerajinan tangan dan kesenian dianjurkan menjadi suatu larutan yang
benar-benar terpadu dan terintegrasi dalam satu topik (bahasan) pengajarannya. Pengajaran
terpadu dalam Kerajinan Tangan dan Kesenian(disingkat: KTK) ini bermuatan
wawasan kedaerahan (muatan lokal), sebab didalamnya diharapkan para guru dan
siswa mampu menggali seni kriya (kerajinan)yang tumbuh di daerah sekitarnya.
e.
KBK, Kurikulum 2004 dan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan 2006
Berbagai instrumen
pembelajaran yang sebelumnya ditentukan oleh pemerintah pusat diserahkan ke pemerintah
daerah, termasuk wewenang pengembangan kurikulum. Dalam Kurikulum 2004 yang
lebih dahulu populer dengan sebutan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK),
pemerintah pusat hanya menentukan Standar Kompetensi, Kompetensi
Dasar dan Indikatornya saja. Masing-masing daerah dibawah kordinasi Dinas
Pendidikan pada tingkat Propisnsi, Kabupaten atau Kota.Dalam pengembangaannya,
materi kurikulum pendidikan seni diharapkan sesuaidengan aspirasi kesenian yang
ada didaerahnya masing-masing. Standar kompetensi yang dirumuskan
dalam KBK sangat jelas yaitu mempersiapkan peserta didik agar memiliki
kapabilitas pengetahuan serta keterampilan seni.
Belum genap dua tahun pelaksanaan kurikulum 2004
pemerintah mengeluarkan kurikulum baru tahun 2006 yang
dikenal dengan sebutan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP).
Walaupun tampak tidak terlalu jauh berbeda dengan KBK dan
kurikulum 2004, tetapi konsep kewenangan pengembangan kurikulum yang sangat
besar diserahkan hingga ke tingkat sekolahsesuai dengan kemampuan dan sumber
daya yang dimiliki sekolah. Indikator pencapaian yang muncul
dalam kurikulum 2004 tidak dijumpai lagi dalam Kurikulum 2006 yang
dikeluarkan oleh lembaga baru yaitu Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Nama mata pelajaran Pendidikan Seni pun berubahmenjadi mata pelajaran Seni
Budaya sejak tingkat sekolah dasar hingga sekolahmenengah atas. Berkenaan dengan mata
pelajaran Kesenian yang berubah nama menjadi mata pelajaran Seni Budaya,
dalam Permendiknas no 22 tahun 2006 tentang
Standar Isi Kurikulum 2006
dijelaskan bahwa mata pelajaran Seni Budaya pada dasarnya merupakan pendidikan
seni yang berbasis budaya. Dalam naskah yang sama disebutkan juga bahwa
Pendidikan Seni Budaya dan Keterampilan diberikan di sekolah karena keunikan, kebermaknaan, dan
kebermanfaatan terhadap kebutuhan perkembangan peserta didik.
Kebermaknaan dan kebermanfaatan initerletak pada pemberian pengalaman estetik
dalam bentuk kegiatan berekspresi/berkreasi dan berapresiasi melalui pendekatan: “belajar dengan seni,“belajar
melalui seni” dan “belajar tentang seni.” Peran inilah yang diyakini oleh para pakar pendidikan tidak
dapat diberikan oleh mata pelajaran lain.Pendidikan Seni Budaya memiliki sifat
multi lingual, multi dimensional,
dan multikultural.
Multilingual bermakna pengembangan kemampuan mengekspresikan diri secara
kreatif dengan berbagai cara dan media seperti bahasa rupa, bunyi, gerak,
peran dan berbagai perpaduannya. Multidimensional
bermakna pengembangan
beragam kompetensi meliputi konsepsi (pengetahuan, pemahaman, analisis,
evaluasi), apresiasi, dan kreasi dengan
cara memadukan secara harmonis unsur estetika, logika, kinestetika, dan etika.
Sifat multikultural
mengandung makna pendidikan
seni menumbuh kembangkan kesadaran dan kemampuan apresiasi
terhadap beragam budaya Nusantara dan mancanegara. Halini merupakan wujud pembentukan sikap
demokratis yang memungkinkan
seseorang hidup secara
beradab serta toleran dalam masyarakat dan budaya yangmajemuk. Pendidikan Seni Budaya dan Keterampilan
memiliki peranan dalam pembentukan pribadi peserta didik yang harmonis
dengan memperhatikan kebutuhan perkembangan anak dalam mencapai multi kecerdasan yang terdiri atas kecerdasan
intrapersonal, interpersonal, visual
spasial, musikal, linguistik, matematik, naturalis serta kecerdasan adversitas,
kecerdasan kreativitas,kecerdasan spiritual dan moral, dan kecerdasan
emosional.Bidang seni rupa, musik, tari, dan teater memiliki kekhasan
tersendiri sesuai dengan kaidah keilmuan masing-masing.
Dalam pendidikan seni budaya,aktivitas berkesenian harus menampung kekhasan
tersebut yang tertuang dalampemberian pengalaman mengembangkan konsepsi, apresiasi,
dan kreasi. Semuaini diperoleh melalui
upaya eksplorasi elemen, prinsip, proses, dan teknikberkarya dalam konteks
budaya masyarakat yang beragam.[2]
1.
Tujuan Mata Pelajaran Seni Budaya
Mata pelajaran Seni Budaya
bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut.
1. Memahami konsep dan
pentingnya seni budaya
2. Menampilkan sikap
apresiasi terhadap seni budaya
3. Menampilkan kreativitas
melalui seni budaya
4. Menampilkan peran serta
dalam seni budaya pada tingkat lokal, regional, maupun global.
2.
Ruang
Lingkup Mata Pelajaran Seni Budaya
Mata pelajaran Seni Budaya
meliputi aspek-aspek sebagai berikut.
1. Seni rupa, mencakup pengetahuan, keterampilan,
dan nilai dalam menghasilkan karya seni berupa lukisan, patung, ukiran,
cetak-mencetak, dan sebagainya
2. Seni musik, mencakup kemampuan untuk menguasai
olah vokal, memainkan alat musik, apresiasi karya musik
3. Seni tari, mencakup
keterampilan gerak berdasarkan olah tubuh dengan dan tanpa rangsangan bunyi,
apresiasi terhadap gerak tari
4. Seni teater, mencakup
keterampilan olah tubuh, olah pikir, dan olah suara yang pementasannya memadukan unsur seni musik,
seni tari dan seniperan.
Di antara keempat bidang seni yang ditawarkan,
minimal diajarkan satu bidang seni sesuai dengan kemampuan sumberdaya manusia
serta fasilitas yang tersedia.Pada sekolah yang mampu menyelenggarakan
pembelajaran lebih dari satu bidang seni, peserta didik
diberi kesempatan untuk memilih bidang seni yang akan diikutinya. (Depdiknas, 2006). Di sekolah dasar, sesuai Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang tercantum dalam Kurikulum
2006 pelajaran keterampilan diberikan pula dalam
ruang lingkup pendidikan Seni Budaya, sayangnya tidak adapenjelasan mengapa
seni teater (drama) tidak diberikan di tingkat sekolah dasardan mengapa
keterampilan baru diberikan pada kelas dua sekolah dasar. Penambahan nama ”Budaya” dalam pendidikan seni diduga dipengaruhi oleh perubahan orientasi dunia pendidikan yang dipengaruhi efek
globalisasi. Paradigma globalisasi yang berkembang pesat
karena dipengaruhi oleh perkembangan
teknologi komunikasi dan informasi serta transportasi ini menuntut pemahaman budaya yang lebih luas melintasi batas-batas wilayah negara. Antisipasi terhadap pengaruh global inilah yang mungkin mengilhami parapenyusun
kurikulum memberi penekanan pada aspek budaya yang umumnyatergambarkan dalam
karya seni. Dapat disimpulkan bahwa perubahan nama sub-sub bidang studi pada setiap
kurikulum yang disempurnakan, ternyata tidak hanya sekedar penggantian nama, akan tetapi
mengubah pula ruang lingkup pengajarannya.Perubahan itu dilandasi
oleh konsep dasar pendidikan yang berubah dan berkembang pada setiap
kurikulum. Konsep pendidikan seni yang sekarang kita kenal jauh berbeda dengan konsep pendidikan (mata pelajaran) menggambar
dan seni suara.
Perubahan konsep tentu membawa konsekuensi didaktis
dan metodis
yang menuntut berbagai persyaratan yang harus dipenuhi jika kita ingin melaksanakan pendidikan
seni dengan memadai.[3]
No comments:
Post a Comment