Wikipedia

Search results

Wednesday, November 25, 2015

AKHLAK BERNEGARA


AKHLAK BERNEGARA


     A.    Pendahuluan
Umat manusia tentunya menginginkan surga sebagai tempat tujuan. Untuk mencapai surga, kita harus melewatinya di kehidupan duniawi ini. Mencari pahala sebanyak-banyaknya dengan menjalankan semua perintahnya dan menjauhi segala larangan. Walaupun manusia tidak sempurna, tetapi tidak ada salahnya jika kita sebagai manusia mempelajari hal apa saja yang menjadi perintah Allah dan apa saja yang dilarang Allah.
Salah satu dari berbagai hal yang harus kita pelajari adalah akhlaq. Banyak akhlak di dalam islam yang harus kita pelajari agar bisa dilaksanakan dikehidupan nyata. Terdapat banyak akhlak yaitu Akhlak kepada Allah, Akhlak kepada Rasulullah,Akhlak kepada Kedua Orang Tua dan Guru,Akhlak kepada Diri Sendiri,Akhlak di Tengah Masyarakat,Akhlak terhadap Lingkungan,Akhlak dalam Bernegara. Dan masih banyak lagi. semua akhlak harus kita tahu batasan-batasannya, yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Semua akhlak penting, karena akhlaq bisa menentukan kepribadian. Tidak ada satu akhlak pun yang tidak penting.
Di zaman globalisasi ini, banyak orang yang mengaku islam tapi akhalq nya tidak seperti yang diajarkan Rasulullah saw. Banyak orang yang akhlaq nya sudah rusak karena pengaruh sekularisme, dan pengaruh-pengaruh lain dari barat. Sangat memprihatinkan keadaan tersebut. Jika generasi penerus bangsa akhlaq nya tidak bagus, lalu mau jadi apa negara kita ini? Jika disuatu saat nanti, indonesia dipenuhi budaya yang seperti ini, warga tidak berakhlaq memilih presiden yang tidak berakhlaq. Bisa anda bayangkan keadaan negeri kita jika keadaannya seperti itu? Dari kasus tersebut, salah satu akhlaq yang penting yang harus kita ketahui adalah akhlak dalam bernegara.
Bagaimana seharusnya sikap kita sebagai manusia yang taat kepada Allah menjalankan kewajiban sebagai seorang warga negara dalam suatu negara? Bernegara di dalam islam sudah terjadi sejak zaman Rasulullah saw. banyak hal yang harus kita lakukan untuk memenuhi kewajiban kita sebagai hamba Allah dan juga sebagai Warga negara. Patuh terhadap aturan negara juga merupakan salah satu yang Allah perintahkan.



     B.     Akhlak
     a.       Pengertian akhlak
Akhlak merupakan komponen dasar islam yang ketiga berisi ajaran tentang perilaku atau sopan santun. Atau dengan kata lain akhlak dapat disebut sebagai aspek ajaran islam yang mengatur perilaku manusia. Dalam pembahasan akhlak diatur mana perilaku yang terfgolong baik dan buruk.
Akhlak maupun syariah pada dasarnya mengajarkan perilaku manusia, yang berbeda di antara keduanya adalah obyek materia. Syariah melihat perbuatan manusia dari segi hukum, yaitu wajib, sunat, mubah, makruh, dan haram. Sedangkan akhlak melihat perbuatan manusia dari segi nilai atau etika, yaitu perbuatan baik dan buruk.
Akhlak merupakan bagian yang sangat penting dalam ajaran agama islam, karena perilaku manusia merupakan objek utama ajaran islam. Bahkan maksud diturunkan agama adalah untuk membimbing sikap dan perilaku manusia agar sesuai dengan fitrahnya. Agama menyuruh manusia agar meninggalkan kebiasaan buruk dan menggantikannya dengan ikap dan perilaku yang baik. Agama menuntun manusia agar memelihara an mengembangkan kecenderungan mental yang bersih dan jiwa yangsuci. Karena itulah rasul bersabda “tiadalah aku diutus melainkan untuk menyempurnakan akhlak dan perilaku manusia”
Alhasil, akhlak merupakan sistematika islam. Sebagai sistem, akhlak memiliki spektrum yang luas, mulai sikap terhadap dirinya, orang lain. Dan makhluk lain, serta terhadap tuhannya.
     b.      Ruang lingkup akhlak
Adapun ruang lingkup bidang studi akhlak adalah:
  1. Akhlak terhadap diri sendiri meliputi kewajiban terhadap dirinya disertai dengan larangan merusak, membinasakan dan menganiyaya diri baik secara jasmani (memotong dan merusak badan), maupun secara rohani (membirkan larut dalam kesedihan).
  2. Akhlak dalam keluarga meliputi segala sikap dan perilaku dalam keluarga, contohnya berbakti pada orang tua, menghormati orang tua dan tidak berkata-kata yang menyakitkan mereka.
  3. Akhlak dalam masyarakat meliputi sikap kita dalam menjalani kehidupan soaial, menolong sesama, menciptakan masyarakat yang adil yang berlandaskan Al-Qur’an dan hadis.
  4. Akhlak dalam bernegara meliputi kepatuhan terhadap Ulil Amri selama tidak bermaksiat kepada agama, ikut serta dalam membangun Negara dalam bentuk lisan maupun fikiran.
  5. Akhlak terhadap agama meliputi berimn kepada Allah, tidak menyekutukan-Nya, beribadah kepada Allah. Taat kepada Rasul serta meniru segala tingkah lakunya.
Prinsip akhlak dalam Islam yang paling menonjol adalah bahwa manusia dalam melakukan tindakan-tindakannya, ia mempunyai kehendak-kehendak dan tidak melakukan sesuatu. Ia harus bertanggung jawab atas semua yang dilakukannya dan harus menjaga perintah dan larangan akhlak. Tanggung jawab itu merupakan tanggung jawab pribadi muslim, begitupun dalam kehidupan sehari-hari harus selalu menampakkan sikap perbuatan berakhlak. Akan tetapi akhlak bukalah semata-mata hanya perbuatan akan tetapi lebih kepada gambaran jiwa yang tersembunyi.

     C.     Negara
Pengertian negara menurut dalam ensiklopedi Pouler Politik Pembangunan Pancasila (1983: 224) dijelaskan secara etimologis bahwa istilah negara berasal dari nagari atau nagara (sansakerta) yang berarti kota,desa,daerah,wilayah,atau tempat tinggal seorang pangeran. Negara dalam bahasa inggris sering disebut state atau staat dalam bahasa Belanda. Kata state berasal dari bahasa latin stato. Istilah stato digunakan pertama kali oleh Machiaveli untuk menyebut wilayah negara atau pemerintahan yang dikuasai. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ber-negara diartikan sebagai mempunyai negara dan menjalankan pemerintahan negara.
Seperti yang telah diungkapkan oleh beberapa tokoh ilmu negara, terdapat pengertian negara yang beraneka ragam. Salah satunya yang tela dikutip oleh Miriam Budiardjo (2007:39-40)    
1.      Roger H. Soltau menyatakan bahwa negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama, atas nama masyarakat.
2.      Max Weber mengemukakan bahwa negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah.

Dari definisi-definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa negara adalah suatu organisasi di antara sekelompok atau beberapa kolompok manusia yang bersama-sama mendiami suatu wilayah tertentu dengan mengakui adanya suatu pemerintahan yang mengurus tata tertib dan keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok manusia tadi. Negara adalah organisasi yang memiliki wilayah,rakyat, dan pemerintahan yang berdaulat serta mempunyai hak istimewa, seperti hak memaksa, hak monopoli, hak mencangkup semua, yang bertujuan untuk menjamin perlindungan, keamanan, keadilan, serta tercapainya tujuan bersama.

a.      Negara dan agama
Dikalangan cendikiawan muslim, polemik tentang hubungan antara agama dan negara masih terjadi perbedaan pendapat. Di indonesia, misalnya muncul dua pendapat atau pandangan yaitu pendapat dan pandangan Nurcholis Madjid dan H.M. Rasjidi. Nurcholis Madjid mengemukakan gagasan pembaharuan dan mengecam dengan keras konsep negara islam sebagai berikut :
“dari tinjauan yang lebih prinsipil, konsep “negara islam” adalah suatu distorsi hubungan proporsional antara agama dan negara. Negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi yang dimensinya adalah rasional dan kolektif, sedangkan agama adalah aspek kehidupan yang dimensinya adalah spiritual dan pribadi”. Menurut Tahir Azhary pandangan Nurcholis ini jelas telah memisahkan antara kehiupan negara dan agama. Seorang intelektual muslim terkemuka yaitu M.Rasjidi yang pernah menjabat Mentri Agama dan Duta Besar di Mesir dan Pakistn, serta Guru Besar Hukum Islam dan Lembaga-Lembaga Islam di Universitas Indonesia dengan sangat segan telah menulis suatu buku dengan judul “Koreksi Terhadap Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi”. Kritik H.M.Rasjidi terhadap pandangan Nurcholis dikutip oleh Muhammad Tahir Azhari, Guru Besar Hukum Islam di Fakultas Hukum UI dalam bukunya yang berjudul Negara Hukum, Suatu studi tentang Prinsip-Prinsip nya dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada periode Negara Madinah dan Masa.
H.M. Rasjidi menunjukan bahwa pendapatnya bertentangan dengan pendapat Nurcholis Madjid. Namun menurut penulis, perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena perbedaan dalam memahami ajaran islam dan tidak berarti bahwa Nurcholis tidak percaya kepada al-Qur’an. Karena selama ini pemikiran Nurcholis dibidang lain juga tidak bertentangan dengan umumnya umat islam. Memang Nurcholis madjid mengatakan bahwa antara agama dan negara tidak dapat dipisahkan, yaitu melalui individu warga negara terdapat pertalian tak terpisahkan antara motvasi ataupun sikap batin bernegara dan kegiatan atau sikap lahir bernegara. Namun antara keduanya harus dibedakan dalam dimensi spiritual guna mengurus dan mengawasi sikap batin wagra negara, maka tak mungkin pula memberikan predikat keagamaan pada negara tersebut. Pandangan yang hampir mirip dengan Nurkholis Madjid adalah suatu pemikiran yang pernah dikedepankan oleh H. Moh.Syafa’at Mintaredja dalam bukunya Islam dan Politik;Islam dan Negara Indonesia. Mintaredja mempertegas pandangannya itu dengan menggunakan kalimat dengan bahasa inggris “between religion and state in the islam”. Dengan demikian, menurut Mintaredja, dalam batas tertentu ada juga pemisahan antara negara dan agama. Argumen yang ia gunakan untuk memperkuat pendapatnya itu adalah sebuah hadis Rasulullah yang ia pahami bahwa “Kamu lebih mengetahui urusan keduniaanmu/keduniaanmu” tanpa menjelaskan latar belakang lahirnya hadis itu.
Dalam konklusi bahwa dalam batas tertentu, dalam islam ada juga pemisahan antara negara dan agama, M.Tahrir Azhary berpendapat, baik Nurkholis maupun Mintaredja telah terjebak kedalam pikiran yang rancu, karena menurutnya, islam dapat diartikan baik sebagai agama dalam arti sempit, maupun sebagai agama yang berarti luas. Dengan demikian menurut M.Tahrir Azhary, konklusi Mintaredja sesungguhnya kontradiktif dengan jalan pikirannya sendiri. Kalau islam dalam arti luas ia tafsirkan sebagai “way of life now in the earth and in the beaven after death”. Konsekuensi logis dari penafsiran itu seharusnya ialah islam merupakan suatu totalistas yang komprehensif an karena itu tidak mengenal pemisahan antara kehidupan beragama dan negara. M.Tahrir Azhary menyubutkan bahwa hadis yang dipergunakan Mintaredja untuk memperkuat pendapatnya nampaknya kurang tepat dan tidak sesuai dengan konteksnya. Karena sesungguhnya hadis itu adalah dalam konteks pertanian, ketika Nabi menegur seseorang yang melakukan penyilangan pohon kurma. Dengan demikian hadis yang dikemukakan oleh Mintaredja itu tidak ada relevansinya dengan masalah kenegaraan.
Pendekatan Nurkhalis Madjid dan Mintaredja tersenut pernah juga digunakan oleh Ali Abdurrazik, seorang sarjana Mesir yang menulis buku dengan judul al islam wa Usul al-Hukum. Abdurazaik juga sampai paa konklusi yang sama bahwa dalam islam terdapat pmisahan antara agama dan negara. Akan tetapi pendapat mereka tidak mendapat sambutan di kalangan umat islam. Bahkan buku tersebut telah mengguncangkan masyarakat secara luas dan al-Azae secara khusus pada saat keluarnya buku itu. Berkenaan buku tersebut, kmudian dibentuk suatu panitia khusus yang anggotanya terdiri dari para ulama al-Azhar terkemuka untuk mengadili engarangnya. Akhirnya diutuskan pencabutan gelar akademisna dan dia dikeluarkan dari barisan para ulama. Hampir semua ulama dan para pemikir juga menyampaikan sanggahan terhadap tulisannya itu, baik dari kalanga al-Azhar maupun dari luar al-Azhar. Di antara orang-orang yang menulis sanggahan Ali Abdurraziq adalah Al-Allamah asy-Syaikh Muhammad Al-Khadhr Husain, Syaikh al-Azhar sebelum itu dalam bukunya Naqdhu Kitabil islam wa Ushulul Hukmi, begitu pula yang dilakukan seseorang mufti Mesir  pada masa itu, yakni Al-Allaniah Asy-Saikh Muhammad Bukhait Al-Muthi’y. Cara berfikir mereka dinilai sekuler dan sebagaimana ditegaskan H. M. Rasjidi “segala persoalan sekularisasi adalah konteks kebudayaan baat atau Chirtendom (ala Kristen). Dengan demikian sekularisasi dan paham sekularisme tidak dikenal dalam islam.
Berdasakan fakta, jelas bahwa dalam al-Qur’an maupun dalam Sunnah Rasul kehidupan agama (dalam hal ini islam) dengan kehidupannegara tidak mungkin dipisahkan. Keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat. Salah satu doktrin al-Qur’an yang memperkuat pendirian ini adalah adanya ayat yang menyebutkan adanya kesatuan antara hubungan manusia dengan manusia yang terdapat dalam surat ali imran.ayat 112.
ôMt/ÎŽàÑ ãNÍköŽn=tã èp©9Ïe%!$# tûøïr& $tB (#þqàÿÉ)èO žwÎ) 9@ö6pt¿2 z`ÏiB «!$# 9@ö6ymur z`ÏiB Ĩ$¨Y9$# râä!$t/ur 5=ŸÒtóÎ/ z`ÏiB «!$# ôMt/ÎŽàÑur ãNÍköŽn=tã èpuZs3ó¡yJø9$# 4 šÏ9ºsŒ öNßg¯Rr'Î/ (#qçR%x. tbrãàÿõ3tƒ ÏM»tƒ$t«Î/ «!$# tbqè=çGø)tƒur uä!$uŠÎ;/RF{$# ÎŽötóÎ/ 9d,ym 4 y7Ï9ºsŒ $yJÎ/ (#q|Átã (#qçR%x.¨r tbrßtG÷ètƒ ÇÊÊËÈ  
112. mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh Para Nabi tanpa alasan yang benar. yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.


 Ayat tersebut diperkuat lagi dengan firman Allah yang trdapat pada surat AnNisa’ ayat 58-59
 ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $­KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ   $pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ 
Artinya:
58. Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.


Menurut Yusuf al-Qardhawy ayat 58 ditujukan kepada ulil amri dan penguasa, agar mereka memperhatikan amanat dan tetap menetapkan hukum secara adil. Menyia-nyiakan amanat dan keadilan merupakan ancaman yang ditandai dengan kehancuran umat dan negara. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW yang artinya “jika amanat disia-siakan, maka tunggulah kehancurannya”. Ada yang bertanya “bagaimana menyia-nyiakannya?”. Beliau menjawab “jika urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya” (Hadis diriwayatkan al-Bukhary).
Sedangkan ayat 59 surat An-Nisa’, menurut  Yusuf al-Qardhway ditunjukan kepada rakyat yang mukmin, bahwa mereka harus taat kepada “Ulil Ami”. Tetapi dengan sarat, ketaatan ini dilakukan setelah ada ketaatan kepada Allah dan Rasul-nya. Disamin itu,  ada pula perintah untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya jika terjadi silang pendapat atau kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini jelas mengharuskan orang-orang muslim memiliki daulah yang diataati. Jika tidak, urusan ini menjadi sia-sia.
Dalam konteks inilah sesungguhnya masalah hubungan agama islam dengan negara harus ditempatkan. Dengan demikian jelas bahwa dalam islam, agama dan negara memunyai pertalian yang erat. Hal ini didukung kenyataan yang ada dalam sejarah selama masa Rasulullah SAW dan masa Khulufa al-Rasyidin dalam periode Negara Madinah. Fakta ini menunjukan bahwa islam sejak lahirnbya selalu berkaitan dengan aspek-aspek kenegaraan dan kemasyarakatan. Keadaan ini diakui oleh banyak sarjana muslim,seperti yang sudah disebutkan dan juga oleh para sarjana Barat seperti Bernard Lewis berpendapat bahwa “Persembahan kepada kaisar apa-apa yang menjadi milik kaisar, dan kepada “tuhan apa yang menjadi milik tuhan. Tentunya ini adalah doktrin dari praktek kristen. Hal ini benar-benar asing bagi islam. Tiga agama besar timur tengah memiliki banyak perbedaan dalam hubungan mereka dengan negara dan sikapnya terhadap kekuatan politik. Judaisme dipertalikan dengan negara meskipun kemudian dipisahkan darinya bentrokan mereka dengan agama pada saat-saat sekarang ini menimbulkan roblem-problem yang sampai saat ini  belum terpecahkan.  Kristen terpisah bahkan antagonistic dengan negara, dengannya baru dikemudian baru mereka terliba. Sedangkan islam sejak dari masa hidup pendiriannya adalah sebuah negara, dan eperalian antara negara dan agama tertancap tanpa dapat terhapuskan di dalam ingatan dan kesadaran pengikut setianya, di dalam kitab suci, sejarah dan pengalamannya bertahan dengan susah payah sebagai minoritas buronan selama berabad-abad membentuk masyarakat mereka sendiri, hukum-hukum mereka sendiri di dalam suatu institusi yang dikenal dengan nama gereja hingga dengan masuknya kristennya Constantinus Kaisar Roma dan Romanisasi Kristen.
Di dalam prosesnya sangat berbeda sekali. Muhammad tidak mati di tiang salib. Sebagaimana dia seorang Nabi, maka beliau juga seorang prajurit sekaligus negarawan, keala emerintahan dan pendiri dari suatu kerajaan, dan pengikut-pengikutnya ditopang oleh seluruh kepercayaan akan manifestasi. Islam sudah dipertalikan dengan kekuasaan sejak masa-masa awalnbya, sejak tahun-tahun pertama pembentukannya, oleh Nabi dan Pengikut-Pengikutnya yang mula-mula. Petalian antara agama dan kekuasaan, komunitas dan politik ini sudah daat dilihat di dalam al-Qur’an sendiri dan naskah lain yang lebi dini yang atasnya orang islam mendasarkan kepercayaannya. Sebagai salah satu konsekuensinya, di dalam islam agama bukanlah sebagaimana yang dalam kristen suatu sistem atau segmen, di dalam kehidupan, mengatur beberapa hal, sebaliknya agama berhubungan dengan seluruh kehidupan, bukan suatu yuridiksi yang terbatas, melainkan total.
Pendapat bahwa dalam islam, agama dan negara mempunyai pertalian yang erat, didukung oleh fakta sejarah selama masa Rasululllah dan Khulafa’ Rasyidin selama periode Negara Madinah merupakan bukti-bukti yang kuat, bahwa islam sejak lahirnya selalu berkaitan dengan aspek-aspek kenegaraan dan kemasyarakatan. Sejarah telah mengungkapan bahwa rasulullah saw telah semaksimal mempergunakan kekuatan dan pikiran, yang ditopang hidayah Allah berupa wahyu untuk mendirikan daulah islam dan negara bagi dakwah beliau serta pengikutnya pada saat itu tidak ada bentuk kekuasaan yang ditetapkan kecuali kekuasaan syari’at. Oleh karena itu beliau sendiri mendatangi berbagai kabilah, agae mereka beriman kepada rasulullah SAW, mendukung dan ikut menjaga dakwah beliau, hingga akhirnya Allah menganugrahkan “Anshar” dari kaum Aus dan Khazraj yang beriman kepada risalah beliau. Ketika islam sudah menyebar dikalangan masyarakat, maka pada musim haji datang urusan dari mereka yang ter4diri dari tujuh puluh tiga orang laki-laki dan dua wanita, lalu mereka berbaiat kepada beliau dan menyatakan kesediaan untuk melindungi baliau sebagaimana mereka melindungi diri mereka sendiri, istri, dan anak-anak mereka, siap untuk tunduk dan taat,memerinahkan kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar dan seterusnya. Mereka menyatakan baiat atas semua itu sampai hijrah ke Madinah sebagai upaya untuk mendirikan masyarakat yang berdaulat, dengan daulah islam yang berdiri sendiri.
Tatkala Rasulullah SAW wafat pertama kali yang menyibukan para sahabat adalah pemilihan pemimpin bagi mereka. Bahkan mereka lebih mengutamakan urusan ini dari pada penguburan jenazah Rasulullah saw. Maka setelah melalui musyawarah, terpilihlah Abu Bakar dan umat menyerahkan urusan mereka kepada Abu Bakar dan begitu pula yang terjadi setelah Abu Bakar wafat dan seterusnya. Dengan adanya ijma’ sejarah ini, yang dimulai dari era sahabat dan tabi’in, para ulama islam menggunakannya sebagai dalil tentang kewajiban mengangkat pemimpin, yang menjadi simbul terpenting dari eksistensi daulah islam. Sepanjang sejarah, orang-orang muslim tidak pernah mengenal adanya pemisahan antara agama dan daulah, kecuali setelah muncul sekularisme pada zaman sekarang, dimana sebenarnya Rasulullah saw pernah memperingatkan dan memerintahkan untuk melawannya.

b.      Negara dalam islam
Satu-satunya pertimbangan dari manusia modern adalah mendapatkan keuntungan ekonomi atau kekayaan, ia bersedia untuk mengorbankan apapun untuk mencapai tujuan ini, atas nama negara dan karena cinta bangsa. Harta, bangsa, dan negara menduduki tempat kehormatan tertinggi dalam hati orang beradab. Bangsa dan negara sekarang pun sedang membawa peradaban kepada kehancurang yang tidak dapat dihindari. Di arat, suatu negara, sama saja apakah ia diberi etika demokrasi atau fasis, komunis, pasti bertujuan ekspansi, agresi, dan eksploitasi negara lain yang lemah. Agresi dalam salah satu bentuknya adalah sari patinya negara beradab. Yang lemah tidak mempunyai hak apapun: hak hanya dimiliki orang yang punya kuasa, yang mempunyai kekuatan untuk menuntut penghormatan dan perhatian. Mentalitas ini dikembangkan oleh bangsa barat, dan meghasilkan negara-negara yang berusaha mempunyai angkatan perang dan persenjataan yang melebihi negara lain. Dan ini menghasilkan konflik yang mematikan antara negara-negara dan keinginan untuk menghancurkan satu sama lain.
   Sebab pokok dari keadaan ini terletak sama sekali pada konsep matrealisme tentang negara. Tentu saja tiap negara harus mempunyai kekuatan, untuk memberhentikan agresi dan melindungi yang lemah, dalam memberi keadilan sebaik-baiknya kepada semua pihak. Kemajuan ilmu pengetahuan telah melipat gandakan kekuatan ini beribu kali. Lain dari pada itu, pandangan hidup yang matrelialistis tealah membuat orang semakin tidak peduli dalam memergunakan kekuatan dan kekuasaannya terhadap sesama manusia, sedangkan dengan bersamaan kemajuan dalam menguasai alam, penguasaan atas diri sendiri , yaitu satu-satunya yang dapat mengekang kewenang-wenangan manusia terhadap manusia lain. Mengalami kemunduran dan diremehkan. Akibatnya ialah, bahwa kekuasaan negara yang semakin besar ini, yang mau tidak mau, harus dilaksanakan oleh pribadi-pribadi, lebih banyak dipergunakan untuk memperbudak dan menghancurkan manusia daripada untuk menyelamatkannya dari  kesewenang-wenangan dan untuk menjunjung tinggi hak dan keadilan. Benarlah apa yang pernah dikatan orang, bahwa ilmu pengetahuan telah memberikan kepada manusia kekuasaan pantas untuk dewa, tetapi manusia dalam mempergunakannya menyandang kepribadian seorang biadab, malah menjadi ancaman bagi kebahagiaannya, sedangkan orang yang begitu terpesona oleh berhala ini, hinga ia sadar atau tidak sadar dengan bekerja sebagai bagian dari mesin ini, ikut meghancurkan kemanusiaan.
     Islam menciptakan pemerintahan yang bertanggung jawab semacam itu, suatu pemerintahan oleh orangorang yang menyadari, bahwa diatas segala al mereka bertanggung jawab kepada Allah atas semua yang mereka kerjakan. Orang yang harus dihormati dan memberi kepercayaan kepada seseorang untuk memegang pemerintahan itu jelas menghormati dia adalah mereka yang paling banyak menjunjung tinggi kewajiban. Orang yang demikian itulah yang harus diberi otoritas atas orang lain.
            “Masing-masing kamu adalah pemerintah dan masing-masing akan ditanyai tentang warga negaranya; lelaki adalah pemerintah dania akan ditanyai tentang orang yang ada di rumahnya, dan wanita adalah pemerintah rumah atas suaminya dan ia akan ditanyai tentang siapa saja yang dalam peliharaannya; dan seorang pelayan adalah pemerintah terhadap barang milik majikannya dan ia akan ditanyai tentang apa yang diamanatkan kepada dia” (Bu.11:11)
            Semua orang adalah sama dalam hukum termasuk orang yang diserahkan amanah pimpinan dan termasuk pula Nabi Suci sendiri , yang harus tunduk kepada hukum sama seperti tiap pengikutnya.
            Negara islam adalah negara yang demokratis dalam arti yang sesungguhnya. Kepala negara adalah pelayann negara yang dibayar gaji tertentu untuk keperluannya dari kas negara, seperti semua pelayan negara(pegawai). Kewajiban rakyat terhadap negara ialah menghormati undang-undang dan mentaati perintahnya, asal ini tidk minta pendurhakaan terhadap Allah dan Rasulnya. Hukum Qur’an adalah tertinggi, tetapi tidak ada larangan untuk membuat undang-undang untuk memenuhi kebutuhan rakyat asal tidak bertentangan dengan jiwa dari hukum yang diwahyukan. Akan tetapi undang-undang yang diperlukan harus disusun menurut perintah dasar “Dan mereka yang perkaranya dipustuskan dengan musyawarah antara mereka (42:38)
Karena ada perintah-perintah yang jelas untuk bermusyawarah guna membuat undang-undang atau memutuskan perkara yang besar, maka para khalifah pertama mempunyai dewan-dewan untuk menolong mereka dalam hal demikian. Juga dalam sejarah dini islam ini. Imam-imam besar seperti Imam Abu Hanifah secara bebas mempergunakan pengkiasan dalam membentuk undang-undang dan ijtihad diakui sebagai sumebr undangundang islam disamping Qur’an dan Sunnah. Kedua prinsip demokrasi yaitu kedudukan tertingggi dari undang-undang dan mengadakan permusyawaratan pada waktu membuat undang-undang dan mengambil keputusan penting lainnya. Dengan demikian ditetapkan sendiri leh Nabi Suci. Prinsip ketiga dari demokrasi yaitu pemilihan kepala negara juga diakuinya. Ia sampai mengatakan bahwa seorang negro pun  dapat ditunjuk untuk memerintahkan orang arab, dan dalam hal demikian ia harus ditaati seperti semua kepala negara (Bu. 10:54). Karena alasan semacam itulah, maka tindakan pertama dari para sahabat sepeninggalnya adalah memilih kepala negara. Pada waktu tentang wafat nya tersiar, orang muslim berkumpul  dan secara bebas mempebincangkan siapa yang harus menggantikan Nabi Suci ebagai epala negara. Kaum Anshar, penduduk Madinah, berpendapat bahwa harus ada dua kepala, satu dari kaum Quraisy dan satu dari mereka, akan tetapi kekliruan pendapat ini ditujukan oleh Abu Bakar, yang dalam satu khutbah menjelaskan bahwa satu negara harus hanya mempunyai satu kepala (Bu. 62 :6). Dan seterusnya Abu Bakar dipilih, karena sepert Umar katakan, ia adalah yang palinbg baik” dari mereka dan “yang paling pantas di antara kaum Muslim, untuk mengurus perkara mereka” (Bu. 93:2). Pantas untuk memerintah adalah satu-satunya ukuran untuk menentukan pilihan, seperti ditetapkan oleh al-Qur’an “Allah memerintahkan kamu untuk menyerahkan(jabatan) kepercayaan kepada mereka yang sepantas-pantasnya” (4:58

     D.    Akhlak dan Bernegara
      a.      Akhlak bernegara
Sesungguhnya , akhlak adalah nilai pemikiran yang telah menjadi sikap mental yang mengakar dalam jiwa, lalu tampak dalam bentuk tindakan dan perilaku yang bersifat tetap, natural, dan refleks. Jadi, jika nilai islam mencakup semua sektor kehidupan manusia, maka perintah beramal shalih pun mencakup semua sektor kehidupan manusia.
Tentunya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara diperlukan pengertian akhlak bernegara ini untuk membuat diri kita ‘kebal’ terhadap kebatilan yang nantinya akan menggoda iman kita , dalam melaksanakan bakti kita kepada negara.
     1.      Musyawarah
Musyawarah dapat berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu.
Adapun salah satu ayat dalam Al – Qur’an yang membahas mengenai Musyawarah adalah surah Al-Syura ayat 38:
tûïÏ%©!$#ur (#qç/$yftGó$# öNÍkÍh5tÏ9 (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# öNèdãøBr&ur 3uqä© öNæhuZ÷t/ $£JÏBur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZムÇÌÑÈ  
Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Asy-Syura: 38)
Dalam ayat diatas , syura atau musyawarah sebagai sifat ketiga bagi masyarakat Islam dituturkan setelah iman dan shalat . Menurut Taufiq asy-Syawi , hal ini memberi pengertian bahwa musyawarah mempunyai martabat setelah ibadah terpenting , yakni shalat , sekaligus memberi pengertian bahwa musyawarah merupakan salah satu ibadah yang tingkatannya sama dengan shalat dan zakat . Maka masyarakat yang mengabaikannya dianggap sebagai masyarakat yang tidak menetapi salah satu ibadah .
Memang , musyawarah sangat diperlukan untuk dapat mengambil keputusan yang paling baik disamping untuk memperkokoh rasa persatuan dan rasa tanggung jawab bersama . Ali Bin Abi Thalib menyebutkan bahwa dalam musyawarah terdapat tujuh hal penting yaitu , mengambil kesimpulan yang benar , mencari pendapat , menjaga kekeliruan , menghindari celaan , menciptakan stabilitas emosi , keterpaduan hati , mengikuti atsar.



    2.       Perilaku Adil
Di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang memerintahkan supaya manusia berlaku adil dan menegakkan keadilan. Perintah itu ada yang bersifat umum dan ada yang khusus dalam bidang-bidang tertentu. Yang bersifat umum misalnya :
* ¨bÎ) ©!$# ããBù'tƒ ÉAôyèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur Ç!$tGƒÎ)ur ÏŒ 4n1öà)ø9$# 4sS÷Ztƒur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍x6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur 4 öNä3ÝàÏètƒ öNà6¯=yès9 šcr㍩.xs? ÇÒÉÈ  

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl 16:90)
Sedangkan yang bersifat khusus misalnya bersikap adil dalam menegakkan hukum (QS. An-Nisa’ 4: 58); adil dalam mendamaikan conflik (QS. Al-Hujurat 49:9); adil terhadap musuh (QS. Al-Maidah : 8) adil dalam rumah tangga (QS. An-Nisa’ 4:3 dan 129); dan adil dalam berkata (QS. Al-An’am 6:152).

     3.      Nomokrasi Islam
Pemikiran tentang negara elah diletakan dasar-dasarnya oleh seorang pemikir islam yang terkenal dan telah diakui otoritasnya oleh sarjana barat yaitu Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun telah menemukan tipologi negara dengan menggunakan tolak ukur kekuasaan. Pada dasarnya ia menggambarkan dua keadaan manusia yaitu keadaan alamiah dan keadaan yang berperadaban. Dalam keadaan yang terakhir inilah manusia mengenal dasar negara hukum.
Ibnu Khaldun berpendapat, bahwa dalam mulk siyasi ada dua macam bentuk negara hukum yaitu (1) siyasah diniyah, dan (2)  siyasah’agliyah. Muhammad Tahir menterjemahkan siyasah diniyah dengan nomokrasi islam dan siyasah’agliyah dengan nomokrasi sekuler. Adapun nomokrasi islam adalah suatu negara hukum yang memiliki prinsip-prinsip umum sebagai berikut (1) prinsip kekuasaan sebagai amanah (2) prinsip musyawarah (3) prinsip peradilan (4) prinsip persamaan (5) prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia (6) prinsip perdamaian (7) prinsip kesejahteraan dan (8) prinsip ketaata rakyat.
Dalam al-Qur’an disebutkan bawa sesungguhnya Penguasa Hakiki dan Mutlak adalah Allah SWT. Kekuasaannya sangat luas dan tidak terbatas, mencangkup segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Hal ini diungkapkan dalam surat Ali Imran , ayat 189
¬!ur ہù=ãB ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur 3 ª!$#ur 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« 퍃Ïs% ÇÊÑÒÈ  
 yang artinya “kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan Allah maha Perkasa atas segala sesuatu


Dalam surat al-Baqarah ayat 30 dilihat dari segi hukum islam ialah posisi mannusia sebagai pengemban amanah Allah. Dalam hal ini Allah telah melimpahkan suatu tugas kepada manusia untuk mengatur dan mengelola bumi ini dengan sebaik-baiknya menurut ketentuan-ketentuan yang ia gariskan.

Dengan demikian kekuasaan yang dimiliki manusia hanyalah sekedar amanah dari Allah swt. Oleh karena itu seorang penguasa dalam memegang amanahnya harus sesuai dengan ketntuan yang telah ditetapkan Allah, yakni harus menerakan prinsip-prinsip umum nomokrasi islam sebagaimana telah disebutkan.
1)      Prinsip kekuasaan sebagai amanah
2)      Prinsip musyawarah
3)      Prinsip keadilan
4)      Prinsip persamaan
5)       Prinsip peradilan bebas
6)      Prinsip perdamaian
7)       Prinsip kesejahteraan
8)       Prinsip ketaatan rakyat




Kesimpulan
Akhlak merupakan komponen dasar islam yang berisi ajaran tentang perilaku atau sopan santun. Atau dengan kata lain akhlak dapat disebut sebagai aspek ajaran islam yang mengatur perilaku manusia. Sedangkan negara adalah suatu organisasi di antara sekelompok atau beberapa kolompok manusia yang bersama-sama mendiami suatu wilayah tertentu dengan mengakui adanya suatu pemerintahan yang mengurus tata tertib dan keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok manusia tadi.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara diperlukan pengertian akhlak bernegara ini untuk membuat diri kita ‘kebal’ terhadap kebatilan yang nantinya akan menggoda iman kita dalam bernegara khususnya. Akhlak bernegara mencangkup dalam kegiatan musyawarah dan keadilan. Sedangkan nomokrasi Islam terdiri dari 8 prinsip yang harus diciptakan dalam sebuah negara.



















Daftar Pustaka

Furqan Arif.2002.Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum.Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Dapartemen Agama RI.Cet II
Azra azyumardi,SuryanaToto,Abduhaq Ishak,Didin Hafiduddin.2002.Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum.Jakarta; Dapatermen Negara RI.Cet III
Nasution Ahmad Bangun;Siregar Rayani Hanum.2013.Akhlak Tasawuf.Jakarta: Raja Grafindo Persada.Cet I
Ali Maulana Muhammad.1935.Islamologi(Dinul Islam).Jakarta:Darul Kutubil Islamiyah
Sunarsono;Sartono Kus Eddy;Dwikusrahmadi Sigit;Sutarini Nany. dkk2013.Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi.Yogyakarta;UNY Press.Cet II
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Asy-Syawi,Taufiq.1997.Syura Bukan Demokrasi.Jakarta;Gema Insani Press(diterjemahkan Z.S)
Ilyas Yunahar.2000.Kuliah Akhlaq.Yogyakarta;Pustaka Pelajar Offset.
Mukti, Takdir dkk.1998.Membangun Moralitas Bangsa.Yogyakarta;LPPI UMY




No comments:

Post a Comment