Wikipedia

Search results

Wednesday, November 25, 2015

pemikiran pendidikan islam menurut Cak Nur(Nur kholis Majid)

BAB 1
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Munculnya gelombang pemikiran di dunia islam, terutama di bidang teologi dan filsafat pada zaman klasik. Islam, yang pada saat itu di anggap asing walaupun pada hakikatnya untuk melihat islam secara lebih dinamis dan sekaligus membela islam dan arus gelombang hellenisme, juga terpaksa harus berkonfrontasi dengan pemuka-pemuka itu sendiri. Bahkan, munculnya kecenderungan pemikiran filsafat di dunia islam, yang lebih banyak menggunakan kerangka berpikir rasional dalam memahami ajaran-ajaran islam, tidak luput dari tuduhan bahwa upaya itu di anggap sebagai pengrusakan ajaran-ajaran islam. Ketika terjadi gerakan pembaruan di dunia islam pada zaman modern, fenomena serupa juga terjadi. Gerakan para pembaru yang pada hakekatnya muncul untuk melakukan penyegaran terhadap pemahaman islam dan sekaligus meresponi tantangan modernitas, terpaksa harus berjibaku dengan masyarakat muslim sendiri.[1]

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa biografi Nur Cholis Madjid ?
2.      Apa saja karya-karya Nur Cholis Madjid ?
3.      Bagaimana konsep pemikiran pendidikan islam menurut Nur Cholis Madjid ?
4.      Relevansi Pemikiran Pendidikan Islam Nur Chalis  Madid?

C.     TUJUAN dan KEGUNAAN
1.      Untuk mengetahui biografi Nur Cholis Madjid.
2.      Untuk mengetahui karya-karya Nur Cholis Madjid.
3.      Untuk mengetahui konsrp pemikiran pendidikan Islam menurut Nur Cholis Madjid.
4.      Untuk mengetahui relevansi pemikiran pendidikan Nur Cholis Madjid.

BAB II
PEMBAHASAN

1.      BIOGRAFI NUR CHOLIS MADJID
Nurcholis madjid di lahirkan pada tanggal 17 maret 1939 di desa Mojoanyar, jombang, jawa timur. Studi tingkat dasar ditempuh nurcholis madjid di dua tempat, yaitu SR (sekolah rakyat) bareng dari madrasah al-Wathariiyah. Di dua tempat tersebut, nurcholis menimba ilmu selama kurang lebih 4 tahun dengan prestasi terbaik. Sekolah menengah tingkat awal dijalani nurcholis di pesantren Darul Ulum Rejoso, jombang, dan lagi-lagi disini nurcholis memperlihatkan prestasi belajar yang mengagumkan. Namun, karena pertimbangan psikologis di tempat tersebut, nurcholis sekedar sempat mondok kurang lebih 2 tahun. Untuk selanjutnya, nurcholis dikirim sebagai studi di pesantren Modern Gontor, diponorogo, jawa timur. Setelah nyantri selama kurang lebih 5 tahun, nurcholis melanjutkan studinya ke IAIN syarif hidayatullah jakarta dengan mengambil jurusan “Bahasa Arab dari sejarah kebudayaan islam” sebagai konsentrasi. Dilembaga pendidikan ini, nurcholis telah memperlihatkan kecenderunganya kepada upaya memahami islam secara rasional. Hal itu terbukti dari karya tulis akhir yang diajukanya. Skripsi penyelesaian yang diajukanya mengambil tema Al-Qur’an ‘Arabiyun Lughat wa’Alaniyun mu’nun ( Al-Qur’an secara bahasa Arab, secara makna adalah Universal). Jenjang pendidikan tertinggi ( program doktor ) di tempuh nurcholis di University of Chicago, Amerika Serikat. [2]
Pengaruh yang cukup menentukan perkembangan intelektual nurcholis madjid ialah lembaga pendidikan gontor, sebuah pesantren modern yang namanya cukup populer hingga sekarang. Cukup lama nurcholis madjid berada di tempat pendidikan ini, yaitu kurang lebih 5 tahun, sejak usia 16 tahun sampai usia 21 tahun. Pengaruh lain yang ikut menunjang intelaktual nurcholis madjid ialah lembaga pendidikan tingkat perguruan tinggi, yaitu fakultas adab IAIN syarif hidayatullah dengan mengambil keahlian di bidang bahasa arabdan sejarah kebudayaan islam.
Faktor lain yang ikut mempengaruhi perkembangan intelektual nurcholis madjid ialah wadah organisasi, HINI. Pada lembaga perkumpulan ini, nurcholis madjid sempat terpilih sebagai ketua umum selama dua periode, yaitu periode 1966-1969 dari periode 1969-1971. Kepemimpinan nucholis madjid ditingkat nasional dalam organisasi kemahasiswaan nya seperti HINI, merupakan hal amat penting dalam jalur intelektualnya. Pengaruh lain yang cukup menetukan perkembangan intelektualnya ialah perkenalan dengan tokoh intelektual muslim terkemuka di indonesia di masa itu, tokoh ntelektual indonesia yang ikut mempengaruhi perkembangan intelektualnya salah satunya adalah ayahnya sendiri, yaitu Mumamad Natsir dari Hamka.

2.      KARYA-KARYA NURCHOLIS MADJID
Sebagai seorang pemikir keislaman yang produktif, nurcholis telah menulis sekian banyak nukilan tentang masalah keislaman. Nukilan-nukilan itu disunting dari komplikasikan menjadi buku dengan tema-tema yang cukup menarik. Diantara bukunya ialah : khazanah intelektual islam, bulan bintang, jakarta, 1984 (sebagai editor dari sekaligus memberikan kata pengantar), islam kemodernan dari keindonesiaan, inizan, bandung, 1987, dan lain-lain.[3]

3.      KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT NURCHOLIS MADJID
a.       Tujuan
Tujuan pokok pendidikan adalah agar peserta didik secara aktif mampu mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian  diri,  kepribadian,  kecerdasan  serta  keterampilan  yandiperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan tidak hanya memberikan pengajaran keahlian khusus (spesialisasi), tetapi juga pemberian pengetahuan, pertimbangan, kebijaksanaan dan kearifan kepada peserta didik. Untuk sampai pada titik ini, pendidikan mesti diberikan dengan basis saling menghargai dan menghormati keberbagaian atau keragaman (pendidikan multikultural).
Sebagai negara yang memiliki multikulturalitas tinggi, semestinya Indonesia menerapkan pendidikan agama Islam –dan juga pendidikan keagamaan lainnya yang berwawasan multikultural pluralistik, sehingga output-nya   adalah terbentuk peserta  didik  yanmemiliki  wawasan  dan sikap  multikultural  dengan  indikator berusahmelaksanakan  nilai-nilai  multikultural-pluralistik  dalam  hidup kesehariannya  atas  dasar  pandangan  hidup  yang  berorientasi  bahwa  keragaman dalam  aspek  apa pun merupakan  sesuatu  yang tidak dapaditolak  eksistensinya sehingga mesti diapresiasi secara arif positif. Dalam istilah Nurcholish Madjid bersikap arif positif terhadap kebhinekaan adalah diwujudkan dengan pemahaman bahwa pluralitas   tidak dipandang sebagai kebaikan negatif (negative good) yang kegunaannya  hanya ditilik dari aspek penyingkiran  fanatisisme,  melainkan  lebih dipahami  sebagai  genuine  engagement  of diversities  within  the bond  ocivility (pertalian sejati keragaman dalam ikatan-ikatan keadaban) bahkan pluralitas merupakan  suatu  keharusan  bagi keselamatan  umat manusia  melalumekanisme pengawasan dan pengimbangan di antara sesamanya sehingga mewajibkan tatanakehidupan toleran, terbuka dan menjunjung tinggi supremasi hukum.[4]
Kendati demikian, menegakkan pendidikan agama Islam berwawasan atau berbasis  multikultural  di negara  inbukan  sesuatu  yang  mudah,  sebab  terdapat banyak aral dan tantangan yang menghadapinya. Secara garis besar setidaknyaterdapat  enam  tantangan  pokok,  pertama,  konformisme kedua,  sumber  daya manusia guru; ketiga, perubahan sosial politik; keempat, radikalisme atau fundamentalisme; kelima, perubahan orientasi, dan keenam, globalisasi.[5]
b.       Materi
Nilai-nilai Pluralisme Islam sebagai Bassis Pendidikan Agama Islam Multi kulttural Pluralistik
Nurcholish menyadari kenyataan rendahnya kualitas pendidikan umat Islam, sehingga sangat menganjurkan umat Islam untuk menyadari kelemahannya, untuk kemudian  berbenah  diri.  Aktivitas  indapat  diawali  dalam  kaitannya  dengan lembaga keilmuan Islam tersebut dengan meningkatkan kualitas perpustakaan, pembenaha metodolog dalam   pengajaran   da pengkajia dan   penelitian. Kelemahan  itu,  antara  lain  terjadi  disebabkan  oleh  lemahnya  kesadaran  sejarah, karena tiadanya sikap kritis, sehingga umat Islam tidak dapat memilah antara yang murni ajaran dan yang merupakan produk sejarah. Dalam konteks ini, Nurcholish menyerukan kesediaan belajar dari sejarah sangat penting untuk ditanamkan sejak dini pada terdidik.
Ketika belajar dari sejarah inilah, sikap kritis dan reflektif merupakan suatu kemestian, dengan alasan: pertama sejarah bukan sesuatu yang sakral kedua, sejarah merupakan bagian dari ilmu-ilmu sosial yang tidak memiliki kadar kepastian setinggi ilmu-ilmu eksakta, sehingga mengesankan sebagaai luwes, lunak dan kurang pasti. Ketiga, melalui sejarah dapat diketahui bermainya faktor-faktor hubungan hidup antara manusia, yaitu faktor-faktor sosial budaya.[6] Dengan berpijak pada argumentasi diatas, Nurcholish menggariskan pentingnya melakukan beberapa hal sebagai berikut:
1)      Penelaahan kembali pemahaman orang-orang Muslim terhadap agamanya. Ini terutama relevan bagi mereka yang melakukan kajian ilmiah yang secara metodologis tentunya harus dengan semangat disengaged, namun secara pribadi, secara keimanan misalnya, tetap engaged.
2)      Sekaligus  dengan  itujustru untuk  memenuhi  syarat  keilmiahan-nya,  juga diperlukan penelaahan kembali sejarah pemikiran Islam sejak masa-masa awal sampai sekarang,
3)      Juga masih tetap dalam konteks 1 dan 2 itu, perlu telaah tentang milieu Islam yang ada dalam sejarah, terutama segi-segi sosial, politik dan kultural, tetapi mungkin juga telaah ini diperluas ke dalam segi-segi etnis, linguistik dan lain- lain.
4)      Daitu  semua  mengharuskan  adanya  tenaga  yang memadai, baik  dari segi kualitas maupun kuantitas.
5)      Kemudian harus didukung dengan fasilitas riset yang cukup khususnya dalam bentuk perpustakaan yang memenuhi syarat.[7]
Itulah antara lain beberapa hal substantif yang mesti dilakukan dalam proses pendidika agama   Islam Dengan  mengawal pembenahan   segi-seg kualitas keilmuan  itu,  diharapkan  umat  Islam  akan  lebih  arif,  dalam  arti  menyadari kelemahan atau kekurangannya.  Sepadan dengan itu, adalah penting ditradisikan pula wawasan tentan idea of progress, optimis   dan sikap terbuka. Ketiga sikap ini, yakni idea of progress, optimis dan terbuka dalam pandangan Nurcholish merupakan sikap yang quranik dalam makna bersedia belajar  dari komunitas yang lain dengan tulus dalam makna yang seluas-luasnya, dengan alasan adanya dimensi haniff pada diri manusia, tanpa terkecuali. Melalui  pemahaman  tentang h{ani>f tersebut, kaum Muslim dapat belajar dari siapapun dengan tanpa hambatan, sampai pada tataran teologis sekalipun.
Dalam rangka menghilangkan atau sekurang-kurangnya meminimalisasi hambatan-hambatan teologis dalam belajar dan menjaalin kehidupan bersama dengan komunitas yang berbeda dalam segala hal yang paling mendasar, yakni perbedaan teologis perlu dilandasi oleh nilai-nilai subtansial Ilahiah. Dalam rangka membentuk sikap mental yang cenderung kepada upaya pencarian   titik   tem (commo platform) denga segal derivasiny kepada terdidik, dalam pandangan Nurcholish, peran keluarga (rumah tangga) sedemikian besar. dapat ditradisikan dalam keluarga, jika orang tua memiliki pemahaman yang memada tentan aspek   yan palin mendalam   dari   dimens kemanusiaan sebagaimana  disebutkan  di atas,  yang  merupakan  elemen  mendasar  dari konsep pluralisme-multikultural.[8]
Bagi  Nurcholish,  paham  kemajemukan  masyarakat  yang  dimiliki  ajaran Islam merupakan salah satu nilai keislaman  yang sangat tinggi bagi kemodernan dan merupakan salah satu ajaran pokok Islam yang sangat relevan dengan zaman sekarang Pluralisme dalam Islam yang kemudian melahirkan adanya konsep ahl al-Kitab,   yang dari konsep ahl al-Kitab itulah melahirkan konsep zimmah yakni perlindungan,  dalam hal ini perlindungan kepada golongan non-Muslipenganut kitab suci. Karena itu dalam pandangan Nurcholish-ahl al-Kita juga disebut golongan ahl al- zimma atau kaum zimmi, yang berarti mereka yang harus dilindungi”. Dalam hal ini  lanjut Nurcholish Nabi  mengingatkan  dalam sebuah sabdanya  barang  siapa  yang  menyakiti  seorang  zimmi  maka  ia tidak  termasuk golonganku (man aza> zimmiyan  fa laysa minni>).
c.       Metode
Sebagai sebuah konsep yang mesti dituangkan dalam sistem kurikulum, pendidikan agama  (Islam)  berwawasan  multikultural  secarumum  menggunakan  berbagai pendekatan (approaches)  dan metode yang beragam. Pendekatan-pendekatan yang  mungkin  dapat  dilakukan  dalam mengimplementasikan pendidikan agama (Islam) berbasis multikultural adalah (1) PendekataHistoris,   (2) Pendekatan  Sosiologis,  (3) Pendekatan  kultural, (4) Pendekatan psikologis(5)  Pendekatan  estetik, dan (6) Pendekatan  Berperspektif  Gender.
Keenam pendekatan  ini  sangat  memungkinkan  untuk  terciptanya  kesadaran  pluralistik multikultura dalam  pendidika agama   (Islam serta  dalam  penerapanny sangatlah mungkin diterapkan secara integratif, sehingga sangat memungkinkan pula untuk terbentuknya suatu bentuk pendekatan baru.
Sedangkan metode yang umum digunakan dalam pelaksanaan pendidikan multikultural (sehingga dapat juga digunakan dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam berwawasan multikultural)  antara lain adala (1) Metode Kontribusi; (2) Metode Pengayaan;  (3) Metode Transformasi;  (4) Metode Pembuatan Keputusan dan Aksi Sosial.
Pendekatan dan metode-metode di atas, dalam aplikasinya tidak dapat diberi batasan  dengan  tegas,  dalam  arti semua  pendekatan  dan metode  tersebut  dapat diaplikasikan secara simultan dan integratif dalam suatu proses pembelajaran.
Di antara implementasi dari aplikasi simultan dan integral pendekatan dan metode di atas adalah  terwujudnya  cooperative  teaching  (pembelajaran kooperatif),[9] yang sangat memungkinkan terdidik  berkomunikasi  interaktif satu dengan yang lainnya dengan optimal sehingga terwujud kesalingterbukaan dan kesalingpemahaman secara proporsional.



d.      Pendidik
Pendidik adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberi bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai kedewasaannya, maupun melaksanakan tugasnya sebagai mahluk Allah SWT.
Sehubungan  dengan  pendidikan  agama,  Nurcholish  menegaskan  bahwa
pendidikan agama bukan sekadar pengajaran tentang segi-segi ritual dan formal agama  kepada  peserta  didik,  namun  lebih  dalam daraktivitas  demikian, yakn menuntut    tindaka percontohan    lebih   banya daripad pengajaran verbal.[10]
e.    Peserta didik
Pendidikan Islam menurut Nurcholis Madjid harus dapat memberikan arah pengembangan dua dimensi bagi peserta didik, yakni dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan. Jika diklasifikasikan, maka konsep pembaharuan pendidikan Islam Nurcholis Madjid merupakan sebentuk corak pendidikan progresif plus spiritualitas.
 Hal ini dibuktikan dengan memperhatikan dua orientasi pendidikan di atas dan prinsip-prinsip pemikiran Nurcholis Madjid yang kerap menekankan sikap terbuka, fleksibel, kritis dalam berpikir; gagasan tentang demokrasi; desakralisasi atau sekularisasi; atau cita-cita masyarakat madani yang toleran dan plural. Kesemua modalitas ini kemudian diwujudkan sebagai agenda pembaharuan pendidikan Islam melalui seperangkat metodologi yang beberapa di antaranya telah penulis identifikasi sebagai metode berpikir rasional, metode pemecahan masalah, eksperimen, kontemplasi, diskusi, dan penguasaan bahasa asing.
Kegiatan menanamkan nilai-nilai, sesungguhnya akan membentuk pendidikan keagamaan. Nilai – nilai  itu antara lain: Islam, iman, ihsan, taqwa, ikhlas, tawakal, syukur dan sabar. Kemudian nilai-nilai akhlak yang akan mendorong kepada kemanusiaan antara lain: silaturrahmi, persaudaraan, adil, baik sangka, rendah hati, tepat janji, lapang dada, dapat dipercaya, dan sebagainya.





BAB III
RELEVANSI PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM NUR CHOLIS MADJID DENGAN PENDIDIKAN MASA TERKINI


           



[1] Baharuddin, pembaharuan pemikiran islam di indonesia,(harakindo publishing, bandar lampung, 2009), cetakan pertama, hal. 1.
[2] Sardjo marwan. Cak nur,( penamadani, jakarta, 2005), hal. 7.
[3] Op. Cit. Hal. 56.
[4] Ahmad Baso,  Civil  Society versuMasyarakat Madani: Arkeologi  Pemikiran Civil Society dalam Islam Indonesia (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1999),hlm 24.
[5] Hery Noer Ali dan Munzier Suparta, Watak Pendidikan Islam (Jakarta: Friska Agung Insani, 2003), hlm 227-234

[6] Madjid, Pendahuluan, xxvii.
[7] Nurcholish Madjid, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1997),hlm 10.
[8]M. Amin Abdullah, Pendidikan Agama Era Multikultural-Multireligius (Jakarta: PSAP, 2005),hlm 123-144.


[9] Zainal Abidin, ed. Pendidikan Agama Islam dalam Perspektif Multikulturalisme (Jakarta:  Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2009),hlm 211.

[10] Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid,hlm 2418.

No comments:

Post a Comment