Wikipedia

Search results

Wednesday, November 25, 2015

Pemikiran Pendididikan Islam Kontemporer Azyumardi Azra

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Era globalisasi dewasa ini dapat mempengaruhi perkembangan sosial budaya masyarakat muslim Indonesia pada umumnya, atau pendidikan Islam khususnya pesantren. Argumen panjang lebar tidak perlu dikemukakan lagi, bahwa masyarakat muslim tidak bisa menghindarkan diri dari arus globalisasi tersebut, apalagi jika ingin survive dan berjaya di tengah perkembangan dunia yang kian kompetitif.[1] Menurut Fazlur Rahman, pembaruan Islam dalam bentuk apapun yang berorientasi pada realisasi Islam yang asli dan modern harus bermula dari pendidikan.[2] Dengan demikian, pendidikan Islam harus dijadikan sebagai salah satu tema sentral dari agenda rekonstruksi pemikiran ke depan.
Menurut ahli sosiologi, kemajuan dunia pendidikan dapat dijadikan cermin kemajuan masyarakat, dan dunia pendidikan yang amburadul juga dapat menjadi cermin terhadap kondisi masyarakatnya yang juga penuh persoalan.[3] Mulyana menyatakan, bahwa pendidikan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap kemajuan suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan konstitusi serta sarana dalam membangun watak bangsa (Nation Character Building).[4]
            Memasuki abad ke 21, isu tentang perbaikan sektor pendidikan di Indonesia mencuat ke permukaan, tidak hanya dalam jalur pendidikan umum, tapi semua jalur dan jenjang pendidikan, termasuk pendidikan Islam. Karena kelemahan proses dan hasil pendidikan dari sebuah jalur pendidikan akan mempengaruhi indeks keberhasilan pendidikan secara keseluruhan.[5]
Memang harus diakui bahwa, hingga kini pendidikan Islam masih berada dalam posisi problematik. Di satu sisi, pendidikan Islam belum sepenuhnya bisa keluar dari idealisasi kejayaan pemikiran dan peradaban Islam masa lampau yang hegemonik; sementara di sisi lain, pendidikan Islam juga “dipaksa” untuk mau menerima tuntutan-tuntutan masa kini, khususnya yang datang dari Barat, dengan orientasi yang sangat praktis. Kenyataan tersebut acap kali menimbulkan dualisme dan polarisasi sistem pendidikan.[6]
Kenyataan yang demikian, menurut Azyumardi Azra  perlu segera dicarikan solusinya. Menurutnya, dalam pendidikan Islam perlu dikembangkan strategi pendekatan ganda dengan tujuan untuk memadukan pendekatan-pendekatan situasional jangka pendek dengan pendekatan konseptual jangka panjang. Sebab, pendidikan Islam adalah suatu usaha mempersiapkan muslim agar dapat menghadapi dan menjawab tuntutan kehidupan dan perkembangan zaman secara manusiawi. Karena itu, hubungan usaha pendidikan Islam dengan kehidupan dan tantangan itu haruslah merupakan hubungan yang parsial dan bukan hubungan insidental dan tidak menyeluruh. Di sini letak pentingnya sebuah upaya pembenahan dalam sistem pendidikan.
Adapun dalam makalah ini, akan membahas mengenai pemikiran pendidikan islam menurut tokoh pemikir kontemporer Prof. Dr.Azyumardi Azra, M.A, sebagai salah satu tokoh dalam dunia pendidikan Indonesia banyak mengungkap permasalahan pendidikan Islam.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana biografi tokoh Azumardi Azra ?
2.      Apa saja karya - karya Azumardi Azra ?
3.      Bagaimana konsep pemikiran pendidikan menurut tokoh Azumardi Azra ?


C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui biografi tokoh Azunardi Azra.
2.      Untuk mengetahui karya – karya Azmardi Azra.
3.      Untuk mengetahui konsep pemikiran Azumardi Azra.



























BAB II
PEMBAHASAN

A.      Biografi Tokoh
            Azyumardi Azra lahir di Lubuk Alung, Sumatera Barat, pada tanggal 4 Maret 1955. Terlahir sebagai anak ketiga dari keluarga yang sangat agamis. Sejak kecil, Azra dididik kedua orang tuanya untuk mencintai ilmu pengetahuan. Meskipun secara finansial kondisi keuangan keluarga Azra termasuk pas-pasan, keluarga ini tetap mementingkan pendidikan anak-anaknya hingga kejenjang yang lebih tinggi. Berkat kerja keras sang ayah dan gaji yang diperoleh oleh sang ibunda, Ramlah, yang berprofesi sebagai guru agama pada waktu itu, sejak kecil Azra mendapat kesempatan mengenyam pendidikan. Melalui ayahnya pula ia belajar mencintai ilmu. Kedua orang tuanya menyadari betul bahwa mereka tidak dapat mewariskan dan membekali harta benda kepada anak-anaknnya, selain dorongan untuk menuntut ilmu pengetahuan.
            Pendidikan awal Azra dimulai dari Sekolah Dasar yang berada didekat rumahnya. Sejak kecil, Azra telah dikenal sebagai anak yang rajin dan pandai, bahkan ia sudah dapat menbaca sebelum memasuki sekolah dasar.
            SMPnya dilanjukan di Sekolah Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) Padang. Disekolah menengah ini, bakat Azra sebagai seorang yang cerdas sudah kelihatan, yakni dibidang ilmu hitung atau matematika. Bakat kemahirannya inilah pada saat itu dia mendapat sebutan dari teman-temannya “Pak Karniyus” nama guru Aljabar dan Ilmu Ukur di sekolahnya. Kalau Pak Karniyus tidak hadir maka Azra yang menggantikan mengajar di depan kelas. Sedangkan dibidang ilmu keagaamam, Azra banyak mendapatkan dan bersentuhan dengan nilai-nilai Islam modernis dan tradisional yang didapat di luar sekolah.[7]
            Pendidikan yang ditempuhnya berikutnya meliputi Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta pada tahun 1982, Saat Kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Azra sudah dikenal sebagai seorang aktivis, baik diorganisasi intra maupun ekstra universitas. Pertama-tama, dia terpilih sebgai Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan terpilih sebagai Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat periode 1981-1982. Sebagai bukti dari aktivitas intelektualisme yang digeluti Azra dalah keterlibatannya di dunia Jurnalistik atau tulis menulis dimedia masa. Saat itu, dia telah bergabung di Majalah Panji Masyarakat sebagai wartawan. Sambil melaksanakan tugasnya sebagai wartawan, rupanya sejak saat itu dia mengasah kepiawaiannya dalam mengolah kata dalam bentuk karya tulis.
Kemudian pendidikan Azra berikunya yaitu Master of Art (M.A.) pada Departemen Bahasa dan Budaya Timur Tengah, Columbia University tahun 1988, Master of Philosophy (M.Phil.) pada Departemen Sejarah, Columbia University tahun 1990, dan Doctor of Philosophy Degree (Ph.D) tahun 1992, dengan disertasi berjudul The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia : Network of Middle Eastern and Malay-Indonesian ‘Ulama in the Seventeenth and Eighteenth Centuries.[8]sejak 2007 sampai sekarang, sebagai guru besar sejarah; dan Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Sebelumnya dia adalah Rektor IAIN/UIN Syarif Hidayatullah selama dua periode (IAIN, 1998-2002, dan UIN, 2002-2006).[9]
            Azyumari Azra ialah doctor dan guru besar sejarah, namun pemikirannnya tentang pendidikan Islam tidak diragukan. Ketika menjadi rector universitas Islam paling bergengsi di Indonesia, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, selama dua periode dengan perkembangan yang mencengangkan, pemikiran pendidikannya hampir tidak pernah dipertanyakan orang. Azyumari Azra, Putra Lubuk Alung, Padang Pariaman, Sumatra Barat ini merupakan tokoh intelektual dan tokoh pembaharuan pendidikan Islam Indonesia. Sebagai seorang pemikir dan actor pendidikan sekaligus, dia bahkan dianggap sebagai salah satu penopang gerbong bagi lahirnya kaum intelektual muslim di Indonesia.[10]
            Kehidupan rumah tangga Azra dimulia ketika ia menyunting gadis idaman, Ipah Farihah, kelahiran Bogor 19 Agustus 1959, setelah menyelesaikan pendidikan sarjananya pada 13 Maret 1983. Dan pernikahnya dikarunia empat orang anak : Raushanfikri Usada, Firman El-Amny Azra, Muhammad Subhan Azra, Emily Sakina Azra.
            Secara singkat, paparan riwayat hidup diatas bahwa Azra tidak hanya seorang ahli di bidang sejarah, melainkan juga mahir dibidang lain, seperti keagaman, filsafat, teologi, tasawuf, aliran modern, polotik dan pendidikan. Dengan keluasan keilmuan yang dimilikinya, kini Azra telah menulis lebih dari 30 buku tentang Islam. Ia pun telah mengoleksi buku sekitar 25.000 judul buku yang kini tertata rapi diperpustakkan pribadinya. Sehingga Azra dikenal sebagai pemikir dan pembaharu pendidikan di Indonesia.

B.       Karya-Karyanya
            Pada tahun 1999, Azra menerbitkan enam buku terbarunya sekaligus, dan diluncurkan pada 21 September 1999. Keenam buku itu adalah Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium Baru, dan Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidkan Islam (Jakarta: Logos Wacana ilmu), Islam reformasi : Dinamika Intelektual dan Gerakan (Jakarta: Rajawali Pers), Konteks Berteologi di Indonesia : Pengalaman Islam (Jakarta : Paramadina), Menuju Masyarakat Madani : Gagasan, Fakta, dan Tantangan : dan Renaisans Islam Asia Tenggara : Sejarah Wacana dan Kekuasaan (Bandung : Rosdakarya). Buku terakhir ini terpilih sebagai buku terbaik humaniora dan ilmu-ilmu sosial, Yayasan Buku Utama 1999.
            Pada 2000, ia menerbikan dan meluncurkan buku kumpulan wawancaranya di beberapa media massa nasional dan intenasional, Islam Substantif : Agar Umat Tidak Jadi Buih (Bandung: Mizan). Dua tahun kemudian, pada 2002, ia kemudian menerbitkan dan meluncurkan buku-buku terbarunya, antara lain : Historiografi Islam Kontemporer, Pendidikan Baru Pendidikan Nasional, Menggapai Solidaritas, Konflik Baru Antar-Peradaban dan Islam Nusantara.
            Pada tahun 2003, Azra menerbitkan buku, yang merupakan terjemahan tesis MA-nya di Columbia Unversity, 1988. Buku itu adalah Surau : Pendidikan Islam Tradisional di Tengah Modernisasi dan Transisi (Ciputat : Logos Wacana Ilmu), yang mengulas dan menganalisa surau sebagai lembaga adat, agama, dan pendidikan di Sumatera Barat. Satu tahun kemudian, pada tahun 2004, Azra menerbitkan buku edisi revisi yaitu “Jaringan Ulama : Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Akar Pembaruan Islam di Indonesia”, diterbitkan Kencana, Jakarta. Tidak hanya itu, ditahun yang sama, Azra menerbitkan “The Origins of Islamic reformism in Southeast Asia : Network of Malay-Indonesia and Middle Eastern ‘Ulama in the Seventeenth and Eighteenth Centuries”, diterbitkan Asian Studies Association of Australia in Association with Allen & Unwin and Unversity of Pers, Hanolulu.
            Pada tahun 2005, Azra kembali menerbitkan buku berjudul : “Dari Hardvard Hingga Makkah”. Buku ini diedit Idris Thaha dan diterbitkan Republika. Pada tahun 2006, Azra kembai menulis buku dalam bahas Inggris, “Indonesia, Islam dan Democracy: Dynamics in a Global Context” yang diterbitkan The Asia Foundation, Solistice (Jakarta, Singapore) and ICIP (International Centre for Islam and Pluralism).
            Penghargaan yang di peroleh, yaitu :
a.       Doktor Honoris Cuasa dari Amerika Serikat, tepatnya dari Carrol College pada 7 Mei 2005. Gelar tersebut didasarkan pada keputusan dewan penyantun Carrol College dengan sejumlah pertimbangan, di antaranya Azra dinilai sebagai ilmuan dan pribadi yang berkomitmen pada pengembangan saling pengertian dan perdamaian berbasis pada ide mulitrikulturalisme. Selian itu, dia juga dinilai senantiasa mendorong kaum muslimin, untuk menciptakan hubungan multinasional dengan menempatkan perdamaian sebagai motif utama.
b.      Menerima penghargaan Bintang Mahapura dari Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono pada 15 Agustus 2005. Azra dinilai sebagai salah satu putra Indonesia yang turut berjasa dalam mengembangkan pemikirannya terhadap pembanguan bangsa dan demokrasi.
c.       Memperoleh “30th Mizan Award” sebgai penulis paling produktif 2003.
d.      Mendapatkan “50th  Anniversary Award” dari The Asia Foundation (TAF) pada 7 April 2005, di Jakarta.

C.      Konsep Pemikiran Pendidikan Islam Menurut Azumardi Azra
1.      Tujuan Pendidikan Islam
            Azyumardi Azra mengerucutkan tujuan pendidikan menjadi dua bagian, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Menurut Azra, tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertakwa kepada-Nya, dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan di akhirat. Dalam konteks sosial-masyarakat, bangsa dan negara, maka pribadi yang bertakwa ini menjadi rahmatan lil ‘alamin, baik dalam skala kecil maupun besar. Tujuan hidup manusia dalam Islam inilah yang dapat disebut juga sebagai tujuan umum atau akhir pendidikan Islam.[11]
            Adapun tujuan khusus, menurut Azra lebih praxis sifatnya, sehingga konsep pendidikan Islam jadinya tidak sekedar idealis ajaran-ajaran Islam dalam bidang pendidikan. Sehingga dapat dirumuskan harapan-harapan yang ingin dicapai dalam tahap-tahap penguasaan kognitif, afektif, dan psikomotorik, sekaligus dapat pula dinilai hasil-hasil yang telah dicapai. Dari tahapan-tahapan inilah kemudian dapat dicapai tujuan-tujuan yang lebih terperinci.[12]
            Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa tujuan pendidikan secara esensial adalah terwujudnya peserta didik yang memahami ilmu-ilmu keislaman dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, terwujudnya insan kamil, yakni manusia yang kembali kepada fitrahnya dan kepada tujuan kehidupan­nya sebagaimana ia berikrar sebagai manusia yang datang dari Allah dan kembali kepada Allah.

2.      Kurikulum Pendidikan Islam
            Istilah kurikulum pada awal mulanya digunakan dalam dunia olahraga pada zaman Yunani Kuno. Curriculum berasal dari kata currir, artinya pelari; dan curere, artinya tempat berpacu. Curriculum diartikan jarak yang harus ditempuh oleh pelari.[13] Kurikulum adalah perangkat mata pelajaran yang diajarkan pada lembaga pendidikan.[14] Kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan dan sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengajaran pada semua jenis dan tingkat pendidikan.[15]
            Kemudian lebih detail Azyumardi Azra menyatakan, bahwa kurikulum merupakan pencapaian tujuan-tujuan yang lebih terperinci lengkap dengan materi, metode, dan sistem evaluasi melalui tahap-tahap penguasaan peserta didik terhadap berbagai aspek; kognitif, afektif, dan psikomotorik.[16] Pengertian ini sejalan dengan pendapat Crow yang dikutip oleh Abuddin Nata, bahwa kurikulum adalah rancangan pengajaran yang isinya sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistematik yang diperlukan sebagai syarat untuk menyelesaikan suatu program pendidikan tertentu.[17] Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kurikulum merupakan sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh peserta didik untuk memperoleh gelar atau ijazah.
            Jika diaplikasikan dalam kurikulum pendidikan Islam, maka kurikulum berfungsi sebagai pedoman perencanaan yang digunakan oleh pendidik untuk membimbing peserta didiknya ke arah tujuan tertinggi pendidikan Islam, yaitu mengacu pada konseptualisasi manusia paripurna (insan kamil).
            Perencanaan pendidikan bagi peserta didik muslim baik di Negara mayoritas Islam maupun minoritas memerlukan perombakan radikal dalam bidang kurikulum menyangkut struktur dan mata pelajaran (subject matter). Oleh karena itu, perencanaan pendidikan Islam harus berlandaskan dua nilai pokok dan permanen, yakni; persatuan fundamental masyarakat Islam tanpa dibatasi ruang dan waktu, dan persatuan masyarakat internasional berdasarkan kepentingan teknologi dan kebudayaan bersama atas nilai-nilai kemanusiaan. Dengan kata lain, setiap materi yang diberikan kepada peserta didik harus memenuhi dua tantangan pokok: pertama, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi; kedua, penanaman pemahaman pengalaman ajaran agama.
            Dengan demikian, untuk membahas kurikulum pendidikan Islam seyogianya diarahkan pada:
a.       Orientasi pada perkembangan peserta didik.
b.      Orientasi pada lingkungan sosial.
c.       Orientasi pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.[18]
            Dalam hal ini, pengembangan kurikulum harus memberikan arah dan pedoman untuk memenuhi kebutuhan peserta didik yang disesuaikan dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Selain itu, orientasi kurikulum diarahkan juga untuk memberi kontribusi pada perkembangan sosial, sehingga output-nya mampu menjawab dan mengejawantahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Demikian juga, pendiidikan Islam harus berorientasi terhadap ilmu pengetahuan yang memuat sejumlah mata pelajaran dari berbagai disiplin ilmu, termasuk teknologi.
            Azra menegaskan, bahwa kurikulum pendidikan Islam jelas selain mesti berorientasi kepada pembinaan dan pengembangan nilai agama dalam diri peserta didik, kini harus pula memberikan penekanan khusus pada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hanya dengan cara ini, pendidikan Islam bisa fungsional dalam menyiapkan dan membina SDM seutuhnya, yang menguasai iptek dan berkeimanan dalam mengamalkan agama. Hanya dengan cara ini pula, secara sistematis dan programatis dapat melakukan pengentasan kemiskinan secara bertahap namun pasti.[19]
            Oleh karena itu, sudah saatnya untuk lebih serius dalam menangani sistem pendidikan Islam. Dengan berusaha mencapai tujuan pendidikan Islam yang  berdasarkan kurikulum pendidikan Islam, yang secara ideal berfungsi membina dan menyiapkan peserta didik yang berilmu, berteknologi, berketerampilan tinggi, dan sekaligus beriman dan beramal saleh.

3.      Demokratisasi Pendidikan Islam
            Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, dati kata “demos” berarti rakyat dan “crato” berarti pemerintah. Maka demokrasi adalah pemerintahan di tangan rakyat. Jika dihubungkan dengan pendidikan, maka demokrasi pendidikan merupakan suatu pandangan yang mengutamakan persamaan hak, kewajiban dan perlakuan oleh tenaga kependidikan terhadap peserta didik dalam proses pendidikan.[20]
            Menurut Azyumardi Azra, demokratisasi adalah proses menuju demokrasi. Sedangkan demokratisasi pendidikan menurut Azra, proses menuju demokrasi di bidang pendidikan. Dengan demikian, demokratisasi pendidikan adalah proses menuju demokrasi pendidikan Islam. Menurut Azra, demokratisasi pendidikan Islam bertujuan akhir pembentukan masyarakat Indonesia yang demokrasi, bersih, bermoral, dan berakhlak serta berpegang teguh pada nilai keadaban. Selain itu, Azra juga mengemukakan beberapa ciri demokratisasi pendidikan Islam, yaitu:
a.       Adanya kurikulum yang dinamis dan memberikan ruang bagi terwujudnya kreatifitas peserta didik, mempunyai semangat untuk melakukan perubahan sosial.
b.       Perubahan paradigma pendidikan Islam, merubah paradigma dari  otoriter ke demokratis, tertutup ke keterbukaan, doktiner ke partisipatoris.
c.       Adanya sinkronisasi antara lembaga-lembaga pendidikan Islam dengan lingkungan masyarakat.

4.      Modernisasi Pendidikan Islam
            Azyumardi Azra menyebutkan, bahwa gagasan dan program modernisasi pendidikan Islam memiliki akar-akarnya dalam gagasan dan program modernisasi pemikiran dan institusi Islam secara keseluruhan. Baginya, modernisasi pemikiran dan kelembagaan merupakan prasyarat kebangkitan kaum muslimin di masa modern. Karena itu, pemikiran dan kelembagaan Islam termasuk pendidikan haruslah dimodernisasi dan diperbaharui sesuai dengan kerangka modernitas.[21]
            Bagi Azra gagasan modernisasi pendidikan Islam tidak hanya menjadi wacana, melainkan juga harus menjadi kenyataan dan dipraktekan. ide dan kenyataan harus dibangun bersama-sama, karena dengan cara inilah sebuah ide dapat dirasakan manfaatnya.[22]
            Azra menekankan perlunya kerangka berpikir selayaknya mengalami perubahan dan penyesuaian terhadap perkembangan zaman. Diperlukan pemikiran yang terbuka dengan wawasan yang luas dan adaptif agar mampu menyeleksi trend dan perkembangan gaya hidup.
            Hubungan antara modernisasi dan pendidikan menurut Azra, pada satu segi pendidikan dipandang sebagai suatu variabel modernisasi yang merupakan prasyarat dan kondisi yang mutlak bagi masyarakat untuk menjalankan program dan mencapai tujuan-tujuan modernisasi. Tetapi pada segi lain, pendidikan sering dianggap sebagai objek modernisasi. Dalam hal ini, pendidikan negara-negara yang tengah menjalankan program modernisasi pada umumnya dipandang masih terbelakang dalam berbagai hal, dan karena itu, sulit diharapkan bisa memenuhi dan mendukung program modernisasi. Karena itu, pendidikan harus diperbarui atau dimodernisasi, sehingga dapat memenuhi harapan dan fungsi yang dipikulnya.[23]
          Secara garis besar melihat dari input-uotput dunia pendidikan Islam yang kemudian perlu disentuh dengan "modernisasi" secara umum Azyumardi Azra menggambarkan:
a.      Input dari masyarakat ke dalam sistem pendidikan.
1)      Ideologis-normatif: Orientasi-orientasi ideologis tertentu yang diekspresikan dalam norma-norma nasional (Pancasila, misalnya) menuntut sistem pendidikan untuk memperluas dan memperkuat wawasan nasional peserta didik.
2)      Mobilisasi politik: Kebutuhan bagi modernisasi dan pembangunan menuntut sistem pendidikan untuk mendidik, mempersiapkan dan menghasilkan kepemimpinan modernitas dan inovator yang dapat memelihara dan bahkan meningkatkan momentum pembangunan.
3)      Mobilisasi ekonomi: Kebutuhan akan tenaga kerja yang handal menuntut sistem pendidikan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi SDM yang unggul dan mampu mengisi berbagai lapangan kerja yang tercipta dalam proses pembangunan. Dalam hal ini, lembaga-lembaga pendidikan Islam tidak sekedar menjadi lembaga transfer dan transmissi ilmu-ilmu Islam, tetapi sekaligus juga harus dapat memberikan keterampilan (skill) dan keahlian (abilities).
4)      Mobilisasi sosial: Peningkatan harapan bagi mobilitas sosial dalam modernisasi menuntut pendidikan untuk memberikan akses dan venue ke arah tersebut. Dengan demikian, pendidikan Islam bukan sekedar untuk memenuhi kewajiban menuntut ilmu belaka, tetapi harus juga memberikan modal sehingga kemungkinan akses bagi peningkatan sosial.
5)      Mobilisasi kultur: Modernisasi yang menimbulkan perubahan-perubahan kultur menurut sistem pendidikan untuk mampu memelihara stabilitas dan mengembangkan  warisan cultural yang kondusif bagi pembangunan.

b.      Output bagi masyarakat
1)      Perubahan sistem nilai: dengan memperluas peta kognitif peserta didik, maka pendidikan menanamkan nilai-nilai yang merupakan alternatif bagi sistem  nilai tradisional.
2)      Output politik: Kepemimpinan modernitas dan innovator yang secara langsung dihasilkan sistem pendidikan dapat diukur kekuatan dan intelektual yang direkrut dari lembaga-lembaga pendidikan.
3)      Output ekonomi: dapat diukur dari tingkat ketersediaan SDM atau tenaga kerja yang terlatih dan siap pakai, baik white collar maupun blue collar.
4)      Output sosial: Dapat dilihat dari tingkat integrasi sosial dan mobilitas peserta didik ke dalam masyarakat secara keseluruhan.
5)      Output kultural: Tercermin dari upaya-upaya pengembangan kebudayaan ilmiah, rasional dan inovatif, peningkatan peran integratif agama dan pengembangan bahasa pendidikan.[24]
      Dengan kerangka modernisasi di atas, pendidikan Islam diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dunia modern. Dengan bermodalkan lahirnya lembaga pendidikan Islam yang beronrientasi pada modernisme, melahirkan SDM yang profesional, dan mampu memberikan akses ke arah mobiltas sosial. 
            Dasar-dasar pendidikan Islam, secara prinsipil diletakkan pada dasar-dasar ajaran Islam dan seluruh perangkat kebudayaannya, yaitu :
  1. Dasar pendidikan Islam pertama adalah, al-Quran dan Sunnah.
  2. Dasar pendidikan Islam kedua adalah, nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan ajaran al-Quran dan Sunnah atas prinsip mendatangkan kemanfaatan dan menjauhkan kemudharatan bagi manusia.
  3. Dasar pendidikan Islam ketiga adalah, warisan pemikiran Islam. Dalam hal ini hasil pemikiran para ulama, filosof, cendekiawan muslim, khususnya dalam pendidikan.
Dari dasar-dasar pendidikan Islam itulah kemudian dikembangkan suatu sitem pendidikan yang mempunyai karakteristik tersendiri yang berbeda dengan sistem-sistem pendidikan lainnya. Secara singkat karakteristik pendidikan Islam adalah sebagai berikut:[25]
1)      Karakteristik Pertama pendidikan Islam, adalah penekanan  bahwa pencarian ilmu pengetahuan, penguasaan dan pengembangan atas dasar ibadah kepada Allah.
2)      Karakteristik Kedua pendidikan Islam, adalah pengakuan akan potensi dan kemampuan seseorang untuk berkembang dalam saauatu kepribadian. Setiap pencari ilmu dipandang sebagai makhluk tuhan yang perlu dihormati dan disantuni agar potensi-potensi yang dimilikinya dapat teraktualisasi dengan sebaik-baiknya.
3)      Karakteristik ketiga pendidikan Islam, adalah pengamalan ilmu pengetahuan atas dasar tanngung jawab kepada tuhan dan masyarakat manusia. Disini pengetahuan bukan hanya untuk diketahui dan dikembangkan, melainkan sekaligus dipraktekkan dalam kehidupan nyata.
Perbincangan tentang Islamisasi ilmu dan teknologi, bukan tidak bermanfaat. Ia dapat merupakan langkah awal untuk membangun paradigma lebih Islami, bukan hanya pada tingkat mayarakat muslim tetapi juga pada tingkat global.
Azumardi Azra mengidentifikasi masalah-masalah pokok seputar pengembangan sains dalam pendidikan Islam, yakni :
  1. Lemahnya masyarakat ilmiah
  2. Kurang integralnya kebijaksanaan sains nasional
  3. Tidak memadainya anggaran penelitian
  4. Kurangnya kesadaran dikalangan sektor ekonomi tentang pentingnya penelitian ilmiah
  5. Kurang memadainya fasilitas perpustakaan, dokumentasi dan pusat informasi
  6. Isolasi ilmuwan
  7. Birokrasi, restriksi dan kurangnya insentif.[26]
Konsep yang melatarbelakangi beragamnya keberadaan studi Islam di lembaga pendidikan tinggi menimbulkan perbincangan menyangkut susunan mata kuliah, kurikulum, silabus, pengadaan staf pengajar yang baik.
Namun demikian, setelah perbincangan mengenai tantangan era milenium. Terlepas dari perkembangan ilmu dan teknologi yang pesat, setidaknya dalam beberapa dekade terakhir, semakin banyak orang tertarik untuk melihat kembali agama-agama dan ajaran-ajaran spiritual.






BAB III
Relevansi Pemikiran Pendidikan Islam Menurut Azumardi Azra dengan Pendidikan Masa Kini

 Kata kunci untuk memahami pemikiran Azra adalah bagaimana menempatkan permasalahan abad 21 sebagai tantangan pendidikan Islam Indonesia secara keseluruhan. Pada abad ini diperlukan upaya pembaharuan pemikiran pendidikan Islam dengan restrukturisasi sistem dan kelembagaan. Salah satunya adalah mengubah cara pandang yang menganaktirikan ilmu pengetahuan dan teknologi.[27]
Azyumardi menjelaskan pengertian dasar pendidikan Islam yaitu untuk menciptakan kepribadian manusia secara total untuk memenuhi pertumbuhan dalam segala aspeknya sesuai dengan yang diidamkan Islam. Ini mempunyai arti sebagai realisasi taqwa kepada Allah. Dan taqwa sebagai kata kunci sering tidak terjabarkan secara operasional sehingga mudah dalam menentukan alat evaluasi pendidikan.
Maka upaya Pengembangan materi pendidikan Islam sejak mula perkembangannya senantiasa meletakkan pandangan filosofisnya kepada sasaran sentralnya yaitu peserta didik sebagai makhluk Tuhan yang memiliki potensi fitrah dimana religiusitas Islami menjadi intinya, dikembangkan secara vertikal dan horisontal menuju kehidupan lahir dan batin yang bahagia.[28]
Sehubungan dengan peningkatan “peran serta” pemberdayaan masyarakat dalam pendidikan Islam kiranya perlu ditindak lanjuti secara konseptual yang lebih praktice. Misalnya saja peningkatan peran serta masyarakat dalam pemberdayaan manajemen pendidikan. Karena pada kenyataanya penerapan manajemen di lembaga Islam menghadapi berbagai kendala  baik yang bersifat teologis, politik, dan ekonomi financial.[29]
Sementara itu berkaitan dengan pemikirannya bahwa lembaga pendidikan Islam “harus diperbaharui sesuai dengan kerangka “modernitas”, mempertahankan pemikiran kelembagaan Islam “tradisional” hanya akan memperpanjang nestapa ketidakberdayaan kaum muslim dalam berhadapan dengan kemajuan dunia modern”. Menurut kami sangat dipengaruhi oleh idealisme beliau dalam rangka  menghapus pen-dikotomi-an ilmu pengetahuan. Gagasan Azra mengenai pentingnya modernisasi pesantren dan madrasah merupakan upaya untuk mengintagrasikan pendidikan Islam kedalam Mainstream sistem pendidikan Nasional.
Bagi Azra gagasan modernisasi pendidikan Islam tidak hanya menjadi wacana, melainkan juga harus menjadi kenyataan dan dipraktekan. Bagi Azra ide dan kenyataan harus dibangun bersama-sama, karena dengan cara inilah sebuah ide dapat dirasakan manfaatnya.[30]
Itulah sebabnya, ketika beliau menjabat yang dilakukan adalah yang menginginkan lulusan IAIN haruslah orang yang berpikiran rasional, modern, demokratis dan toleran. Lulusan yang tidak memisahkan ilmu agama dengan ilmu umum, tidak memahami agama secara literer, menjadi Islam yang rasional bukan Islam yang madzhabi atau terikat pada satu mazhab tertentu saja.Untuk mencapai ide tersebut institusinya harus di benahi agar ilmu umum dan agama bisa saling berinteraksi. Dan satu-satunya cara adalah mengembangkan IAIN menjadi Universitas sehingga muncullah Fakultas Sains, Ekonomi, Teknologi, MIPA, Komunikasi, Matematika, dan lain-lain.
Disisi lain ketika  Azyumardi menggagas pengembangan kampusnya, disampaikan bahwa “agar supaya wawasan keIslaman akademik yang dikembangkannya harus mempunyai wawasan keIndonesiaan sebab hidup kampusnya di Indonesia. “Jadi, keIslaman yang akan kita kembangkan itu adalah keIslaman yang kontekstual dengan Indonesia karena tantangan umat muslim di sini adalah tantangan Indonesia”. Pendekatannya terhadap agama adalah pendekatan yang tidak berdasarkan fanatisme dalam bermazhab dan memahami agama.
Namun demikian dengan segala upaya dan perubahan yang telah dilakukan, masih banyak kritikan yang mengatakan bahwa hingga saat ini IAIN/UIN belum mampu mengubah sikap dasar kebanyakan mahasiswanya. Realitanya lingkungan kampus dan pengajarannya belum memiliki kaitan yang erat dengan masyarakatnya. Hal ini dapat dilihat dari masih rendahnya angka partisipasi dari mahasiswa dan lulusan IAIN/UIN dalam membuka kesempatan kerja dan kemandirian sosialnya. Padahal, tatkala pendidikan memiliki kaitan yang erat dengan hubungan sosial, maka situasi ini menjelaskan pendidikan dapat memberikan pengaruh yang signifikan bagi perubahan sosial yang ada.[31]
Selain hal tersebut,  pembahasan Azra tentang problematika IAIN, ada kesamaan dalam pembahasan yang ditulis oleh Amrullah Achmad dalam buku Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta. Berkaitan dengan perkembangan mutakhir yang dialami agama-agama didunia, sebenarnya tidak perlu menghawatirkan masa depan lembaga pendidikan Islam. Namun sistem dan muatan  pendidikan Islam itu sendiri harus ditingkatkan, sehingga dapat memenuhi kebutuhan dunia modern. Dengan mengembangkan aspek-aspek tertentu, pendidikan Islam dapat diharapkan memberikan sumbangan yang lebih baik bagi umat manusia.
Sementara itu keberadaan pendidikan Islam dan pengembangan SDM dalam era globalisasi masih dibahas pada bab pertama ini. Dilihat dari tuntutan internal dan tantangan eksternal global tadi, amaka diantara keunggulan yang mutlak dimiliki bangsa dan negara Indonesia adalah penguasaan sains dan keunggulan kualitas sumberdaya manusia (SDM). Selain itu diungkapkan juga beberapa dilema pesantren dalam menyiapkan calon ulama yang berwawasan luasPeningkatan kualitas SDM melalui pendidikan merupakan salah satu cara paling efektif untuk mengentaskan kemiskinan, walaupun ini mungkin memerlukan waktu yang panjang.
Pendidikan dalam masyarakat modern atau masyarakat yang tengah bergerak kearah modern (modernizing) pada dasarnya berfungsi untuk memberikan kaitan antara anak didik dan lingkungan sosio kulturalnya yang terus berubah. Dalam banyak hal pendidikan secara sadar digunakan sebagai instrumen untuk perubahan dalam sistem politik dan ekonomi. Kemunculan modernisasi pendidikan Islam di Indonesia berkaitan erat dengan gagasan modernisme Islam di kawasan ini. gagasan modernisme Islam pada lapangan pendidikan direalisasikan dengan pembentukan lembaga-lembaga pendidikan modern yang mengadopsi sistem pendidikan kolonial belanda. Pemrakarsa pertama dalam hal ini adalah organisasi-organisasi “modernis” Islam seperti Jami’at Khair, al-Irsyad, Muhammadiyah dan lain-lain.
Menurutnya sistem lembaga pendidikan tinggi Islam harus diperbaharui, kurikulum harus ditingkatkan dengan memasukkan topik-topik beragam dan menarik. Beberapa aspek ajaran dan warisan Islam dapat dipandang sebagai cabang pokok ilmu-ilmu humaniora yang wilayah studinya mencakup agama, falsafah, etika, spiritualitas, satra, seni, arkeologi, sejarah. Adalah mungkin untuk mengembangkan bidang studi Islam kepada bidang ilmu-ilmu sosial lainnya.
Kerangka dasar modernisasi pendidikan Islam secara keseluruhan adalah bahwa modernisasi pemikiran dan kelembagaan Islam, merupakan prasyarat bagi kebangkitan kaum muslim dimasa modern.
Bertahannya pesantren sampai saat ini mengisyaratkan bahwa dunia Islam tradisi dalam segi-segi tertentu masih tetap relevan ditengah deru modernisasi.[32] Dengan kata lain beliau mengungkapkan bahwa pesantren mampu bertahan bukan hanya karena kemampuannya untuk melakukan adjusment dan reajdusment, tetapi juga karena karakter essensialnya, sebagai lembaga yang tidak hanya identik dengan makna keIslaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous). Namun gelombang santrinisasi yang terus berlangsung mengakibatkan harapan kepada pesantren semakin meningkat.
Sebuah diskursus tentang eksisitensi perguruan tinggi Islam (dalam perspektif ini IAIN). Sebagai sebuah lembaga yang diasumsi sebagai pencetak kaum intelektual Islam, hingga saat ini masih banyak kekurangan dan kelemahan.
Selain itu sistem pendidikan dan perkuliahan yang berlangsung kebanyakan masih menggunakan the banking concept of education (pendidikan ala bank), bukan problem posing education (pendidikan yang kritis).[33] Selanjutnya, pentingnya studi Islam. IAIN  sebagai perguruan tinggi khusus agama yang terpisah dari universitas umum, sangat tidak berlebihan jika IAIN memposisikan dirinya sebagai pusat studi Islam yang memadukan kajian keIslaman pada ketiga kawasan (Barat Eropa, Timur Tengah dan Asia), yang memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Meski hal itu adalah upaya berat, tetapi amat baik untuk menciptakan pakar-pakar muslim yang benar-benar mumpuni dalam melihat, memahami dan menjelaskan Islam dengan berbagai aspeknya guna menjawab kebutuhan dunia modern.



















BAB IV
KESIMPULAN

Pendapat Azyumardi Azra hakikat pemikiran pendidikan Islam adalah suatu proses pembentukan individu berdasarkan ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, agar dapat mencapai derajat yang tinggi supaya ia mampu menunaikan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi, dan berhasil mewujudkan kebahagiaan di Dunia dan Akhirat. Dan pendidikan bukan hanya proses transfer ilmu pengetahuan dari orang yang tidak tahu menjadi tahu saja namun pendidikan juga di identikan dengan bimbingan serta penanaman nilai-nilai karakter yang ada di dalam setiap mata pelajaran.
Sumber-sumber pendidikan Islam menurut Azyumardi Azra adalah adalah Al-quran, Sunnah Nabi, Ijtihad sahabat, Kemaslahatan Masyarakat, Nilai- nilai adat istiadat dan kebiasaan sosial, dan hasil pemikiran pemikir Islam. Pendapat Azymumardi Azra tentang modernisasi adalah Islam merupakan upaya untuk mengaktualisasikan ajaran Islam agar sesuai dengan perkembangan sosial yang terjadi.















[1]  Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Cet. IV; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), hal 43.
[2] Fazlur Rahman, Islam (Cet. III; Bandung: Pustaka, 1997), hal 84.       
[3] Ngainum Naim Dan Ahmad Sauqi, Pendidikan Multikultural; Konsep Dan Aplikasi,
(Yogyakarta : Ar-ruzz, 2008). hal, 13.
[4] E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002). hal, 4.
[5] Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis,  (Jakarta : Prenada Media, 2004), hal, 1.
[6] Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif (Cet. I; Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara Yogyakarta, 2008), hal 6-7.

[7] Ibid, hal 48.
[8] Azyumardi Azra,  Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1998), h. 5.
[9] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III (Cet. I; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), h. 323.
[10] Siti Napsiyah Ariefuzzaman, Pemikir Pendidikan Islam, (Jakarta : PT. Pena Citasatria, 2007), hal 45.
[11] Azyumardi Azra, Op. Cit, hal 8.
[12] Ibid, hal 9.
[13] Mahmud, Op. Cit, hal 139.
[14] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. III; Jakarta: Balai Pustaka, 2003), h. 617.
[15] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. IX; Jakarta: Kalam Mulia, 2011), h. 149.
[16] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, 2012, h. 9.
[17] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam (Cet. III; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), h. 70.
[18] Mahmud, Op. Cit., hal 141.
[19] Azyumardi Azra, Op. Cit, hal 66.
[20]  Ramayulis, Op. Cit, hal 334
[21]Azyumardi Azra, Op. Cit, hal 31.
[22]Siti Napsiyah Ariefuzzaman, Op. Cit, hal 69.
[23]Azyumardi Azra, Op. Cit, hal 32.
[24] Ibid, hal 35-36.
[25] Ibid, hal 10.
[26] Ibid, 16-19.
[27] Siti Napsiyah Ariefuzzaman, Op. Cit, hal 46.
[28]M. Arifin,, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), Jakarta : Bumi Aksara, 1991. hal 28.
[29] Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, (Jakarta : Erlangga, 2008). Hal, 17.
[30]Siti Napsiyah Ariefuzzaman, Op. Cit, hal 69.
[31] Moh . Yamin , Menggugat Pendidikan Indonesia, (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2009), 140.
[32] Ibid, hal 107.
[33] Ibid, hal 163.

1 comment: