Wikipedia

Search results

Friday, November 20, 2015

MAKALAH KONSTITUSI INDONESIA

KONSTITUSI
A. Pendahuluan 
memahami konstitusi yang merupakan seperangkat aturan main dalam kehidupan bernegara dan yang mengatur hak dan kewajiban warga negara dan negara. Pemahaman ini menjadi landasan dalam mengembangkan materi otonomi daerah pada paket berikutnya.

1. KONSTITUSI
A. Hakikat, Tujuan, dan Fungsi Konstitusi

    Hakikat Konstitusi Setiap negara modern dewasa ini senantiasa memerlukan suatu sistem pengaturan yang dijabarkan dalam suatu konstitusi. Oleh karena itu konstitusionalisme mengacu pada pengertian sistem institusionalisasi secara efektif dan terhadap suatu pelaksanaan pemeritahan. Dengan lain perkataan menurut Hamilton untuk menciptakan suatu tertib pemerintahan diperlukan pengaturan sedemikian rupa, sehingga dinamika kekuasaan dalam proses pemerintahan dapat dibatasi dan dikendalikan. (H. Kaelan dan Ahmad Zubaidi, 2007). 
Pembatasan dan pengendalian tersebut hanya dapat dilakukan melalui konstitusi. Istilah konstitusi dari sudut sejarah telah lama dikenal yaitu sejak zaman Yunani Kuno. Diduga Konstitusi Athena (abad 425 S.M.) merupakan konstitusi pertama yang ada di dunia dan dipandang sebagai alat demokrasi yang sempuna. Hal ini dikarenakan bahwa pemahaman orang tentang konstitusi sejalan pemikiran orang-orang Yunani Kuno tentang negara. Hal ini dapat diketahui dari paham Socrates yang telah dikembangkan oleh muridnya Plato, dalam bukunya politea atau negara yang memuat ajaran-ajaran Plato tentang negara dan hukum, dan bukunya Nomoi atau undang-undang.
 Dalam masyarakat Yunani kuno dikatakan bahwa politea diartikan sebagai konstitusi, sedangkan nomoi adalah undang-undang biasa. Perbedaan dari istilah tersebut adalah politea mengandung kekuasaan lebih tinggi daripada nomoi, karena mempunyai kekuataan membentuk agar tidak bercerai berai. Dalam kebudayaan Yunani, istilah konstitusi berhubungan erat engan ucapan respublica constitiere, sehingga lahirlah semboyan yang berbunyi pricep legibus solutus est, salus publica suprema lex, yang berarti rajalah yang berhak menentukan organisasi/struktur daripada negara, oleh karena itu raja adalah satu-satunya pembuat undang-undang. 
Dengan demikian, istilah konstitusi pada zaman Yunani Kuno diartikan hanya sebatas materiil saja karena konstitusi pada saat itu belum diletakkan dalam suatu naskah yang tertulis (Trianto dan Titik Triwulan, 2007). Berkaitan dengan istilah konstitusi, Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa Istilah konstitusi berasal dari kata kerja constitutuer (Prancis) yang berarti membentuk, yaitu membentuk suatu negara. Sehingga konstitusi mengandung pengertian permulaan dari segala peraturan mengenai suatu negara, dengan demikian suatu konstitusi memuat peraturan pokok (fundamental) mengenai sendi-sendi pertama untuk menegakkan bangunan besar yaitu negara (Trianto dan Titik Triwulan, 2007).
Menurut Sri Sumantri : Istilah konstitusi berasal dari perkataan constitution, yang dalam bahasa Indonesia dijumpai istilah hukum yang lain, yaitu undang-undang dasar dan atau hukum dasar. Dalam perkembangannnya istilah konstitusi mempunyai dua pengertian yaitu pengertian yang luas dan pengertian yang sempit (Trianto dan Titik Triwulan, 2007). Sedangkan Moh. Kusnardi dan Harmaili Ibrahim berpendapat bahwa : Konstitusi yang berasal dari istilah constitution (Bahasa Inggris dan Prancis) atau verfasung (Belanda) memiliki perbedaan dari undang-undang dasar atau goundgesetz. Jika ada kesamaan, itu merupakan kekhilafan pandangan dinegara-negara modern, yang disebabkan oleh pengaruh paham kodifikasi yang menghendaki setiap peraturan harus tertulis, demi mencapai kesatuan hukum dan kepastian hukum. Berangkat dari pendapat para ahli di atas tentang konstitusi, maka dapat kita lihat bahwa istilah konstitusi ini terjadi perbedaan pendapat, ada yang berpendapat bahwa konstitusi sama dengan undang-undang dasar dan ada yang berpendapat konstitusi tidak sama dengan undang-undang dasar. Penyamaan arti konstitusi dan UUD inilah yang sesuai dengan praktik
ketatanegaraan di Indonesia. Terlapas dari pandangan dua kelompok di atas, istilah konstitusi dalam
perkembangannya mempunyai dua pengertian yaitu : pertama, dalam pengertian yang luas, konstitusi berarti keseluruhan dari ketentuan-ketentuan dasar atau hukum dasar baik yang tertulis ataupun tidak tertulis ataupun campuran keduanya; kedua, dalam pengerian sempit, konstitusi berarti piagam dasar atau undang-undang dasar ialah suatu dokumen lengkap mengenai peraturan-peraturan dasar negara. Dalam terminologi hukum Islam, istilah konstitusi dikenal dengan sebutan dustur, yang berarti kumpulan kaidah yang mengatur dasar dan hubungan kerjasama antar sesama anggota masyarakat dalam sebuah negara, baik yang tidak tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam perkembangannya ada beberapa pendapat yang membedakan antara konstitusi dengan Undang-undang dasar, seperti Herman Heller (dalam A. Ubaidillah, 2006) berpandangan bahwa konstitusi lebih luas daripada undang-undang dasar. Konstitusi tidak hanya bersifat yuridis melainkan juga bersifat sosiologis dan politis, sedangkan undang-undang dasar hanya merupakan sebagian dari pengertian konstitusi yakni konstitusi tertulis. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh F. Laselle (dalam A. Ubaidillah, dkk., 2006: 63) yang membagi pengertian konstitusi menjadi dua.

1. Sosiologis dan yuridis yaitu sintesa faktor-faktor kekuatan yang nyata dalam masyarakat (hubungan antara kekuasaan-kekuasaan dalam suatu negara), seperti raja, parlemen, kabinet, partai politik, dan lain-lain).

2. Yuridis ialah suatu naskah yang memuat semua bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan. Berbeda halnya dengan C.F Strong yang menyamakan konstitusi dengan undang-undang dasar, ia mendefinisikan konstitusi sebagi suatu kerangka masyarakat politik (negara) yang diorganisir dengan dan melalui hukum.

Dengan kata lain konstitusi dapat pula dikatakan sebagai kumpulan prinsipprinsip yang mengatur kekuasaan pemerintahan, hak-hak yang diperintah (rakyat) dan hubungan diantara keduanya. Dengan demikian hakikat dari konstitusi adalah suatu kumpulan kaidah yang memberikan pembatasan-pembatasan kekuasaan kepada para penguasa yang berbentuk suatu dokumen tentang pembagian tugas sekaligus petugasnya dari suatu sistem politik dan juga berisi hak-hak asasi manusia (Ubaidillah, dkk., 2006: 64 Tujuan dan Fungsi Konstitusi Secara garis besar, tujuan konstitusi adalah membatasi tindakan sewenangwenang pemerintah, menjamin hak-hak rakyat yang diperintah, menetapkanpelaksanaan kekuasaan yang berdaulat. Menurut Bagir Manan (2005), hakikat tujuan konstitusi merupakan perwujudan paham tentang konstitusi atau konstitusionalisme yaitu pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah di satu pihak dan jaminan terhadap hak-hak warga negara maupun setiap penduduk dipihak lain. Sedangkan fungsi konstitusi adalah sebagai sarana dasar untuk mengawasi proses-proses kekuasaan atau bisa juga befungsi sebagai dokumen nasional dan alat untuk membentuk sistem politik dan sistemm hukum negara. Karena itu ruang lingkup isi undang-undang dasar sebagai konstitusi tertulis sebagaimana dinyatakan oleh Struycken memuat tentang: a) hasil perjuangan politik bangsa diwaktu yang lampau; b) tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa; c) pandangan tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang; d) suatu keinginan dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin (Ubaidillah, dkk., 2006: 64).

B. Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Konstitusi
Dalam praktik ketatanegaraan, seringkali sebuah konstitusi yang tertulis tidak dapat berlaku atau berjalan sesuai yang dikehendaki, hal ini disebabkan karena salah satu atau beberapa isi dari konstitusi tidak dijalankan oleh penguasa atau sekelompok golongan penguasa. Sehubungan dengan hal itu, Karl Loewenstein mengadakan penyelidikan mengenai arti konstitusi tertulis dalam suatu lingkungan nasional, Hasil penyelidikannya menyimpulkan adanya 3 (tiga) nilai suatu konstitusi (Trianto dan Titik Triwulan, 2007).

Nilai Normatif

Nilai normatif diperoleh apabila penerimaan segenap rakyat suatu negara terhadap konstitusi benar-benar secara murni dan konsekuen. Konstitusi ditata dan dijunjung tinggi tanpa adanya penyelewengan sedikit pun. Dengan kata lain bahwa konstitusi telah dapat dilaksanakan sesuai dengan isi dan jiwanya baik dalam produk hukum maupun dalam bentuk kebijaksanaan
pemerintah.
Nilai Nominal
Nilai nominal diperoleh apabila ada kenyataan sama dalam batas-batas berlakunya. Nilai yang terkait dengan batas-batas berlakunya itulah yang dimaksudkan dengan nilai nominal konstitusi. Contoh ketentuan pasal 1 Aturan Peralihan UUD 1945 sebelum amandemen dinyatakan tidak berlaku lagi karena Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tugasnya hanya dalam masa peralihan dan badan itu sendiri tidak berlaku lagi sekarang. Meskipun ketentuan itu tidak dicabut tidak berarti masih berlaku secara efektif.

Nilai Semantik

Dalam hal ini konstitusi hanya sekedar istilah saja. Meskipun secara hukum konstitusi tetap berlaku, tetapi dalam kenyataannya hanya sekedar untuk memberi bentuk dari tempat yang telah ada dan untuk melaksanakan kekuasaan politik, pelaksanaannya selalu dikaitkan denan kepentingan pihak
yang berkuasa (dalam arti negatif).
C.Klasifikasi atau Pembagian Konstitusi

Menurut K. C Wheare (dalam Ubaidillah, dkk., 2006), pada intinya konstitusi dapat diklasifikasikan menjadi lima kategori berikut. Konstitusi Tertulis dan Tidak Tertulis. Konstitusi tertulis adalah konstitusi dalam bentuk dokumen yang memiliki kesakralan khusus dalam proses perumusannya. Konstitusi tertulis merupakan suatu instrument yang oleh para penyususunnya disusun untuk segala kemungkinan yang dirasa terjadi dalam pelaksanaannya. Pada kasus lain, konstitusi tertulis dijumpai pada sejumlah hukum dasar yang diadopsi atau dirancang oleh para penyusun konstitusi dengan tujuan untuk memberikan ruang lingkup seluas mungkin bagi proses undang-undang biasa mengembangkan konstitusi itu dalam aturan-aturan yang sudah disiapkan. Sedangkan konstitusi tidak tertulis adalah konstitusi yang lebih berkembang atas dasar adat istiadat daripada hukum tertulis. Konstitusi tidak tertulis dalam perumusannya tidak membutuhkan proses yang panjang, misalnya penentuan quarum, model perubahan (amandemen atau pembaruan) dan prosedur perubahannya.
Konstitusi Fleksible dan Konstitusi Kaku. Konstitusi yang dapat diubah atau diamandemen tanpa adanya prosedur khusus dinyatakan sebagai konstitusi fleksibel. Sebaliknya konstitusi yang mensyaratkan prosedur khusus untuk perubahan atau amandemennya adalah konstitusi kaku. Menurut James Bryce, terdapat ciri-ciri khusus pada konstitusi fleksibel yaitu a) elastis, b) diumumkan dan diubah dengan cara yang sama seperti undang-undang. Sedangkan konstitusi kaku memiliki kekhususan sendir yaitu : a) mempunyai kedudukan dan derajat yang lebih tinggi dari peraturan
perundang-undangan yang lain, dan b) hanya dapat diubah dengan cara yang khusus atau istimewa atau dengan persyaratan yang berat.
Konstitusi Derajat Tinggi dan Tidak Derajat Tinggi

Konstitusi derajat tinggi ialah suatu konstitusi yang mempunyai kedudukan tertinggi dalam negara. Jika dilihat dari segi bentuknya, konstitusi ini berada di atas peraturan perundang-undangan yang lain. Demikian juga syarat-syarat untuk mengubahnya sangatlah berat. Sedangkan konstitusi tidak sederajat ialah suatu konstitusi yang tidak mempunyai kedudukan. Persyaratan yang diperlukan untuk mengubah konstitusi ini sama dengan persyaratan yang diperlukan untuk mengubah peraturan-peraturan yang lain setingkat undangundang. Konstitusi Serikat dan Konstitusi Kesatuan Bentuk ini berkaitan dengan bentuk suatu negara, jika bentuk suatu negara itu serikat, maka akan didapatkan sistem pembagian kekuasaan antara pemerintah negara serikat dengan pemerintah negara bagian. Sistem pembagian kekuasaan ini diatur dalam konstitusi. Dalam negara kesatuan pembagian kekuasaan ini tidak dijumpai, karena seluruh kekuasaan terpusat pada pemerintah pusat sebagaimana diatur dalam konstitusi.
Konstitusi Sistem Parlementer dan Konstitusi Presidensial
Bentuk ini berkaitan dengan bentuk suatu negara, jika bentuk suatu negara itu serikat, maka akan didapatkan sistem pembagian kekuasaan antara pemerintah negara serikat dengan pemerintah negara bagian. Sistem pembagian kekuasaan ini diatur dalam konstitusi. Dalam negara kesatuan pembagian kekuasaan ini tidak dijumpai, karena seluruh kekuasaan terpusat pada pemerintah pusat sebagaimana diatur dalam konstitusi.

D. Sejarah Konstitusi di Indonesia dan Perubahannya
Dalam sistem ketatanegaraan modern dewasa ini, terdapat 2 (dua) model perubahan konstitusi yaitu: pertama, melalui renewel adalah sistem perubahan konstitusi dengan model perubahan konstitusi secara keseluruhan sehingga yang diberlakukan adalah konstitusi yang baru secara keseluruhan; kedua, melalui amandeman adalah perubahan konstitusi yang apabila suatu konstitusi dirubah konstitusi yang asli tetap berlaku. Dengan kata lain, perubahan pada model amandemen tidak terjadi secara keseluruhan bagian dalam konstitusi asli sehingga hasil amandemen tersebut merupakan bagian atau lampiran yang menyertai konstitusi awal.
Berkaitan dengan perubahan konstitusi di atas, menurut Miriam Budiarjo (A. Ubaidillah, dkk., 2006: 72) ada 4 (empat) macam prosedur dalam perubahan konstitusi baik dalam model renewel maupun amandemen yaitu : i) sidang badan legislatif dengan ditambah beberapa syarat, misalnya dapat diterapkan quorum untuk disidang yang membicarakan usul perubahanundang-undang dasar dan jumlah minimum anggota badan legislatif untuk menerimanya; ii) referendum (pengambilan keputusan dengan cara menerima atau menolak usulan perubahan undang-undang); iii) negara-negara bagian dalam negara federal (misal negara Amerika Serikat : ¾ % dari 50 negara bagian harus
menyetujui; iv) perubahan yang dilakukan dalam suatu konvensi atau dilakukan oleh suatu lembaga khusus yang dibentuk hanya untuk keperluan perubahan. Perubahan konstitusi merupakan suatu keharusan dalam sistem ketatanegaraan suatu negara, karena bagaimanapun konstitusi haruslah sesuai dengan realita kondisi bangsa dan warganegaranya. Dengan kata lain sifat dinamis suatu bangsa dapat terlihat dari adanya sebuah perubahan peradaban yang dapat diakomodasi dalam konstitusi negara tersebut. Indonesia sebagai negara hukum, memiliki konstitusi saat ini adalah UUD 1945. Dalam perjalanan sejarahnya, konstitusi Indonesia telah mengalami beberapa pergantian maupun perubahan, baik nama maupun substansinya, (Ubaidillah, dkk., 2006: 74).  
    1.     Undang-Undang Dasar 1945 yang masa berlakunya sejak 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949.
    2.    Konstitusi Republik Indonesia Serikat yang lazim dikenal dengan sebutan Konstitusi RIS dengan masa berlakunya sejak 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950.
   3.    Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) Republik Indonesia 1950 yang masa berlakunya sejak 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959.
     4.    Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan pemberlakuan kembali konstitusi pertama Indonesia berlaku mulai 5 Juli 1959 sampai 19 Oktober 1999.
    5.    Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahan I (19 Oktober 1999 sampai 18 Agustus 2000).
    6.    Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahan I dan II ( 18 Agustus 2000 sampai 9 Nopember 2000).
     7.    Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahan I, II dan III (9 Nopember 2000 sampai 10 Agustus 2002).
    8.    Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahan I, II, III dan IV (10 Agustus 2002 sampai sekarang). Dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945 karena ruh dan pelaksanaan konstitusi jauh dari paham konstitusi itu sendiri yang oleh Adnan Buyung Nasution (dalam Ubaidillah, dkk., 2006) dinyatakan bahwa pemerintahan yang konstitusional itu bukanlah pemerintahan yang sekedar sesuai dengan bunyi pasal-pasal konstitusi, melainkan pemerintahan yang sesuai dengan bunyi konstitusi yang memang menurut esensi-esensi konstitusionalisme. Dengan adanya amandemen UUD 1945 maka secara langsung lembaga kenegaraan di Indonesia mengalami perubahan pula. Secara umum sistem kenegaraan di negara modern dewasa ini mengikuti pola pembagian kekuasaan dalam pemerintahan sebagaimana yang dikemukakan oleh Montesqiue dengan teorinya yaitu Trias Politica. Menurutnya, dalam setiap pemerintahan terdaat 3 (tiga) jenis kekuasaan yaitu : legislatif, eksekutif dan yudikatif. Ketiga kekuasaan tersebut terpisah satu sama lainnya, baik mengenai tugas maupiun alat perlengkapan yang melakukannya. Indonesia dalam sistem ketatanegaraannya menganut teori Trias Politicanya Montesqiue, hanya dalam pelakanaannya, sistem ketatanegaraan Indonesia tidak terpisah namun terapat pembagian kekuasan antara eksekutif, legislatif dan yudikatif. 
    Dalam perjalanannya, sistem ketatanegaraan Indonesia telah mengalami perubahan yang sangat mendasar terutama sejak adanya amandemen UUD 1945 yang dilakukan MPR hingga 4 (empat) kali perubahan. Perubahan tersebut oleh Mahfud MD dilatarbelakangi : i) Kehendak untuk membangun pemerintahan yang demokratis dengan sistem chek and balance yang seimbang dan setara diantara pemegang kekuasaan; ii) Mewujudkan supremasi hukum dan keadilan serta menjamin hak-hak asasi manusia; iii). Adanya pasal-pasal yan multi tafsir; iv). Terlalu banyaknya atribusi kewenangan (Mahfud MD, 2003). Menurut Ubaidillah (2006), hasil amandemen yang berkaitan dengan kelembagaan negara dengan jelas dapat dilihat pada perubahan pertama UUD 1945 yang memuat pengendalian kekuasaan presiden, tugas serta wewenang DPR dan presiden alam hal pembentukan UU. Perubahan kedua UUD 1945 berfokus pada penataan ulang keanggotaan, fungsi, hak maupun cara pengisiannya. Perubahan ketiga UUD 1945 menitikberatkan pada penataan ulang kedudukan dan kekuasaan MPR, jabatan presiden yang berkaitan dengan tatacara pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, pembentukan lembaga negarabaru yang meliputi Mahkamah Konstitusi, Dewan Perwakilan Daerah dan Komisi Yudisial serta aturan tambahan untuk Badan Pemeriksa Keuangan. Sedangkan perubahan
keempat mencakupmateri tentang keanggotaan MPR, pemilihan presiden dan wakil presiden berhalangan tetap serta kewenangan presiden. Lebih rinci, oleh Ubaidillah menjelaskan reformasi ketatanegaraan di Indonesia terkait dengan lembaga kenegaraan dijelaskan sebagai berikut.

Lembaga Legislatif

Dalam ketatanegaraan Indonesia, lembaga legislatif dipresentasikan pada 3 (tiga) lembaga, yakni DPR, DPD dan MPR. Dari ketiga lembaga tersebut posisi MPR merupakan lembaga yang bersifat khas Indonesia.Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Repbulik Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan rakyat dan memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang. DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Dalam menjalankan fungsinya, anggota DPR memiliki hak interpelasi (hak meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang berdampakpada kehidupan bermasyarakat dan bernegara), hak angket (hak untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang diduga bertetangan dengan peratran perundang-undangan), dan hak menyatakan pendapat. Di luar institusi, anggota DPR juga memiliki hak mengajukan RUU, mengajukan pertanyaan, menyampaikanusul dan pedapat, membela diri, hak imunitas dan hak protokoler. Sedangkan DPD merupakan lembaga baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Berdasarkan perubahan ketiga UUD 1945, gagasan pembentukan DPD adalah dalam rangka restrukturisasi parlemen di Indonesia menjadi dua kamar. Dengan demikian resmilah pengertian Dewan perwakilan di Indonesia mencakup DPR dan DPD, yang kedua-duanya secara bersama-sama disebut MPR. Perbedaan keduanya terletak pada hakikat kepentingan yang diwakili masing-masing. DPR dimaksudkan untuk mewakili rakyat, sedangkan DPD dimaksudkan untuk mewakili daerah-daerah. DPD adalah lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan RI yang merupakan wakil-wakil propinsi dan dipilih melalui pemilihan umum yang memiliki fungsi : a) pengajuan usul, ikut dalam pembahasan an memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu; b) pengawasan atau pelaksanaan undang-undang
tertentu. Sedangkan DPR mempunyai tugas dan wewenang : a) Membentuk undang-undang yang dibahas dengan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama; b) Membahas dan memberikan persetujuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c) Menerima dan membahas usulan RUU yang diajukan DPD yang berkaitan dengan bidang tertentu dan mengikutsertakannya dalam pembahasan; d) Menetapkan APBN bersama presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD; e) Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan UU, APBN serta kebijakan pemerintah; f) Membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan negara yang disampaikan oleh BPK).

Lembaga Eksekutif

Dalam ketatanegaraan Indonesia, sebagaimana pada UUD 1945 bahwa kekuasaan eksekutf dilakukan oleh presiden yang dibantu oleh wakil presiden yang dalam menjalankan kewajiban negara, hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 UUD 1945, presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Menurut perubahan keiga UUD 1945 Pasal 6A, presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat, sedangkan sebelum amandemen UUD 1945, presiden dan wakl presiden dipilih oleh MPR. Dengan adanya perubahan (amandemen) UUD 1945, presiden tidak lagi bertanggungjawab kepada MPR dan kedudukan antara MPR dan presiden adalah setara.

Lembaga Yudikatif

Sesuai dengan prinsip pemisahan kekuasaan maka fungsi-fungsi legislatif, ekseutif dan yudikatif dikembangkan sebagai pembagian kekuasaan yang terpisah satu sama lainnya. Jika kekuasaan legislatif berpuncak pada MPR yang terdiri dari dua kamar yakni DPD dan DPR, maka kekuasaan yudikatif berpuncak pada kekuasaan kehakiman yang juga dipahami mempunyai 2 (dua) pintu, yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Amandemen UUD 1945 telah membawa perubahan kehidupan ketatanegaraan dalam pelaksanaan kehakiman. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh : i) Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada dibaahnya dalam lingkungan peradilan umm, agama, militer dan lingkungan peradilan tata
usaha negara. ii) Mahkamah Konstitusi. Di samping perubahan mengenai penyelenggaraan kekasaan kehakiman, UUD 1945 yang telah diamandemen juga mengintrodksi suatu lembaga baru yang bekaitan dengan penyelenggaraan kekuasaa kehakiman yaitu komisi yudisial. Komisi yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta prilaku hakim.

Mahkamah Agung adalah salah satu kekuasaan kehakiman di Indonesia, dan sesuai dengan perubahan ketiga UUD 1945, kewajiban dan wewenang MA adalah : a) Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang; b) Mengajukan 3 orang anggota hakim konstitusi; c) Memberikan pertimbangan dalam hal presiden memberi grasi dan rehabilitasi. Sedangkan Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga baru yang diperkenalkan oleh perubahan ketiga UUD 1945, yang mempunyai kewajiban dan kewenangan adalah sebagai berikut : a) Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannnya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik dan memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum; b) Memberi putusan atas penapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden menurut UUD 1945.

D. Konstitusi Sebagai Pengatur Kehidupan Kenegaraan yang Demokratis
Konstitusi merupakan sarana bagi terciptanya kehdupan kenegaraan yang demokratis bagi seluruh warga negara. Hal ini dikarenakan bila negara mempunyai konstitiusi yang demokratis, maka konstitusi yang demokratis tersebut dapat dijadikan aturan yang dapat menjamin terwujudnya demokrasi di negara tersebut. Jika konstitusi dipahami sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka konstitusi memiliki kaitan yang cukup erat dengan penyelenggaraan pemerintahan dalam sebuah negara. Dengan demikian konstitusi merupakan media bagi terciptanya kehidupan yang demokratis bagi seluruh warga negara. Dengan kata lain, negara yang memilih demokrasi sebagai pilihannya, maka konstitusi demkratis merupakan aturan yang dapat menjamin terwujudnya demokrasi di negara tersebut sehingga melahirkan kekuasaan atau pemerintahan yang demokratis pula. Kekuasaan yang demokratis dalam menjalankan prinsip-prinsip demokrasi perlu dikawal agar nilai-nilai demokrasi yang diperjuangkan tidak diselewengkan, maka partisipasi warga negara perlu ditetapkan di dalam kosntitusi untuk ikut berpartisipasi dan mengawal proses demokratisasi pada sebuah bangsa.

Karenana konstitusi menjadi piranti yang sangat penting bagi sebuah negara demokrasi, yang selanjutnya secara langsung konstitusi menjadi daya ikat yang berarti bagi penyelenggara negara dan warga negara bagi terbentuknya negara demokrasi, maka setiap konstitusi yang digolongkan sebagai
konstitusi yang demokratis haruslah memiliki prinsip-prinsip dasar demokrasi itu sendiri, yang terdiri atas :


1.     menempatkan warga negara sebagai sumber utama kedaulatan; 
2.    mayoritas berkuasa dan terjaminnya hak minoritas;
3.    adanya jaminan pengharaan terhadap hak-hak individu warga negara dan penduduk negara.
4.    pembaasan pemerintahan; 
5.    adanya jaminan keterlibatan rakyat dalam proses bernegara melalui pemilihan umum yang bebas;
6.    adanya jaminan berlakunya hukm dan keadilan melalui proses peradilan yang independen, dan
7.    adanya pembatasan dan pembagian kekuasaan negara.

Rangkuman
1.     Konstitusi dapat dikatakan sebagai kumpulan prinsip-prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintahan, hak-hak pihak yang diperintah dan hubungan di antara keduanya.
2.    Tujuan konstitusi adalah membatasi kesewenang-wenangan pemerintah, menjamin hak-hak rakyat yang diperintah dan menetapkan pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat, sedangkan fungsi konstitusi adalah sebagai dokumen nasional dan alat untuk membentuk sistem politik dan sistem hukum negaranya.
3.    Konstiitusi demokratis adalah konstitusi yang mempunyai atau mengandung prinsip-prinsip menempatkan warga negara sebagai sumber utama kedaulatan; mayoritas berkuasa dan terjaminnya hak minoritas; adanya jaminan pengharaan terhadap hak-hak individu warga negara dan penduduk negara; pembaasan pemerintahan; adanya jaminan keterlibatan rakyat dalam proses bernegara melalui pemilihan umum yang bebas; adanya jaminan berlakunya hukum dan keadilan melalui proses peradilan yang bebas; adanya pembatasan dan pembagian kekuasaan negara.
4.    Terdapat dua model konstitusi yaitu renewel dan amandemen.
5.    Kosntitusi merupakan media bagi terciptanya kehidupan yang demokratis bagi seluruh warga negara.


Daftar Pustaka


v  Kaelan dan H. Achmad Zubaidi. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Paradigma.

v  Kansil, C.S.T. dan Cristine S.T. Kansil. 2005. Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta : Bumi Aksara.

v  Rosyada, Dede, dkk. 2004. Buku Panduan Dosen Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani. Jakarta: Kencana.

v  Rozak, Abdul, dkk. 2006. Buku Suplemen Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani. Jakarta:Kencana.

v  Sindhunata (Ed.). 2000. Mengagas Paradigma Baru Pendidikan: Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi. Jakarta: Kanisius.

v  Sumarno, 2005. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.H.

v  Trianto dan Titik Triwula Tutik, 2007. Falsafah Negara dan pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta : Prestasi Pusataka.

v  Ubaidillah, A., dkk.. 2006. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah bekerjasasama dengan The Asia Foundation.


v  Winarno. 2008. Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan Panduan Kuliah di Perguruan Tinggi. Jakarta: Bumi Aksara. 

1 comment: